Mohon tunggu...
Ai Maryati Solihah
Ai Maryati Solihah Mohon Tunggu... Human Resources - seorang Ibu dengan dua orang anak

Mengaji, mendidik, berdiskusi dan memasak indahnya dunia bila ada hamparan bunga tulip dan anak-anak bermain dengan riang gembira mari kita isi hidup ini dengan dzikir, fikir dan amal soleh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekolah Ramah Anak Hadir di Dalam Kelas

2 April 2017   14:09 Diperbarui: 4 April 2017   15:14 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masih ingat tawuran pelajar di Bunut Sukabumi yang menelan 9 orang meninggal?, kemudian meninggalnya pelajar di Bantul akibat pengeroyokan siswa antar sekolah dan kini terjadi pembunuhan di sekolah Taruna Magelang, yang merupakan salah satu sekolah terbaik di Indonesia. Sadistis. Semuanya terjadi kala mereka sedang menyandang pelajar dalam institusi pendidikan yang sedang mengajarkan cara menghargai jiwa, menghargai nyawa dan memanfaatkan hidup supaya lebih beradab. 

Masalah Tawuran sudah ada sejak dahulu kala. Geliatnya memperlihatkan betapa konflik sosial dapat tumbuh dimanapun dan kapanpun, masa kanak-kanak sekalipun. Hal ini mengharuskan sekolah memiliki strategi canggih dalam menemukan jalan bagaimana memutus matarantai masuknya eskalasi kekerasan dalam sekolah. Kekerasan yang mengakibatkan jiwa melayang dan puluhan anak terputus dari sekolah untuk menerima resiko karena masuk dalam elemen pelaku kekerasan.

Sekolah ramah anak saat ini sedang digadang-gadangkan supaya melakukan rancangan secara khusus menangkal kekerasan di sekolah. Sekolah ramah anak harus menjadi suatu gerakan yang mampu diadaptasi oleh seluruh unsur pendidikan, baik siswa Guru, orangtua siswa, karyawan bahkan penjaga kantin dan siapapun yang terlibat dalam sekolah. saat ini yang paling urgent adalah menanamkan cara berfikir pada anak agar sekolah memfasilitasi proses belajar mengajar yang melatih anak didik agar terbiasa berfikir kreatif dalam memecahkan masalah secara logis dan kritis agar meninggalkan  jalan pintas tatkala mereka punya masalah, baik di dalam keluarga, dalam sekolah atau di masyarakat. 

sebab, berkaca dari masalah kekerasan yang berujung maut di atas, jalan pintas dalam benak anak tatkala mendapat masalah adalah jalan pintas yang instan, menggunakan cara-cara yang mudah, lebih mengandalkan sarkasme dan kekerasan, heroisme, senioritas, bahkan mengutamakan kekuatan fisik sehingga mudah menganggap orang lain lebih lemah dan rendah. Tanpa sadar mereka sudah masuk dalam siklus kekerasan yang menawarkan  tujuan-tujuan kekuasaan (Gengster) dan berbagai kegiatan yang hanya mengutamakan kesenangan (hedonism).

Dalam keseharian alangkah pentingnya intervensi yang dilakukan guru dalam pengelolaan pembelajaran di dalam kelas menggunakan mainstream ramah anak. hal ini sebetulnya dapat ditilik dari karakter problem solving yang menjadi tujuan dalam Kurikulum 2013. Proses belajar mengajar menggunakan pembelajaran yang dikenal dengan sebutan 5 M. Di sinilah pengelolaan kelas yang terjadi setiap detik di sekolah diharuskan menggalang paradigma ramah anak yang mengajarkan dan membiasakan pentingnya saling menghargai sesama, mengasihi, bertoleransi, bekerja sama dan menjadi seorang pemecah masalah. 

 Pertama Mengamati, yakni proses melihat, mengobservasi, meneliti, mencerna sebuah objek, dalam memulai pembelajaran. Siswa yang melihat objek pembelajaran saat ini akan memiliki motivasi untuk terus bersemangat melanjutkan pembelajaran. Guru menyiapkan perangkat pembelajaran dengan kreatif agar pada tahap mengamati saja siswa memiliki ketertarikan dalam mengikuti pelajaran. Berikanlah fakta-fakta aktual yang mudah di dapat dan menjadi fenomena keseharian dalam kehidupan, sehingga hal demikian menumbuhkan keingin tahuan anak didik untuk masuk pada fase pembelajaran selanjutnya. Fenomena anti kekerasan dan penuh kerjasama dan saling asah asih dan asuh sangat mungkin selalu diamati dan diobservasi dalam mengawali proses belajar.

Kedua Menanya. Dalam hal ini Buku tidak lagi menjadi satu-satunya sumber belajar di kelas, melainkan pengalaman, diskusi dan sharing informasi merupakan rujukan-rujukan yang harus dikembangkan dalam proses belajar mengajar dalam kelas. Menanya dimaksudkan agar anak didik terbiasa menanyakan mengomentari menjelaskan bahkan menyampaikan pendapat meskipun berbeda dengan sesama siswa atau Guru sekalipun, sehingga terjalin relationship dan cara pandang dua arah antara siswa dan Guru dalam melihat sebuah fenomena. Bukan hanya pesan dan kesan Guru atau hanya pendapat Guru yang harus didengar saat pembelajaran sedang berlangsung. Pada fase ini anak merasa dihargai dan diberikan kepercayaan untuk bicara sesuai apa yang telah diamati.

Ketiga adalah Mencari informasi/mencoba. Artinya pada fase ini pembelajaran sudah mengkombinasi antara pengalaman dengan materi yang sedang diajarkan. Kombinasi diarahkan dalam menjawab persoalan-persoalan yang terjadi dalam sekitar. semua mata pelajaran sangat berinterelasi dengan fenomena. Saya sebagai Guru Agama sangat mudah menyambungkan anti kekerasan dengan materi pembelajaran, namun juga Guru eksak dan keterampilan pun harus ada upaya-upaya tetap menghubungkan hal itu. 

Sehingga Guru diharuskan mampu meleburkan tugasnya dengan situasi dan kondisi yang saat ini berlangsung. Pembelajaran di kelas bukanlah menara gading yang tercerabut dari fakta-fakta di lapangan sehingga membuat anak didik asing dan kurang memiliki sensitifitas dalam melihat fenomena sosial yang terkadang berbeda dengan teori-teori dalam ilmu yang sedang dipelajari. 

Konteks mencari informasi bisa diarahkan melalui buku-buku di perpustakaan, jurnal kelas yang menampilkan kliping buatan kelas atau bahkan seorang Guru membuat perangkat pembelajaran dari akses internet yang mampu menghubungkan konteks materi dengan kejadian saat itu di luar sana. Study kasus dan mendengar penjelasan pendapat anak dapat membantu situasi belajar menyenangkan dan menantang anak didik memikirkan kejadian atau kasus-kasus yang dapat dicarikan bagaimana cara menghadapi permasalahan tersebut.

Keempat adalah Menalar. Siswa merasakan energi positif dari proses belajar saat itu. mereka diarahkan mampu menghubungkan dan memberikan pendapat serta memahami apa yang sedang dipelajari dengan memiliki kepekaan sosial dan memiliki semangat dalam menjalankan karakter yang penting ditumbuhkan. Problem solving yang dimaksud dapat menjadi capaian-capaian bagi siswa saat itu dan masa yang akan datang. Menalar bukan hanya dalam mengerjakan tugas saat itu, melainkan juga pikiran-pikiran logis dalam menghadapi problematika di sekitarnya. Hal ini adalah capaian bagi proses belajar .

Terakhir adalah Mengkomunikasikan. Apa yang siswa rasakan saat itu harus dicroscheck melalui metode komunikasi. artinya Guru bisa melakukan evaluasi dengan sederhana yakni melalui cara mengkomunikasikan apa yang sudah didapatkan oleh siswa hari ini . Apa yang mereka dapatkan bisa diceritakan/dikomunikasikan/diusulkan/dideskripsikan atas kemampuan mereka yang kemudian akan ditanggapi ulang oleh rekan sebaya atau bahkan Guru sendiri dapat menanggapinya. Dengan demikian dapat terlihat adanya jangkauan perubahan dari setiap pembelajaran yang terjadi di dalam kelas. jika terjadi kontroversi dan melenceng dari basis pembelajaran pada tahap komunikasi inilah setiap siswa dapat diingatkan, dikoreksi dan dapat saling menguatkkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun