Mohon tunggu...
Amarfan Rasid
Amarfan Rasid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

INTJ

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Masa Depan Daerah dalam Bilik Suara

27 November 2024   03:12 Diperbarui: 27 November 2024   05:40 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Foto; Meme Pemilu 2024/suara.com)

Pemilihan kepala daerah yang digelar setiap lima tahun sekali selalu menjadi momen penting bagi suatu daerah. Ajang pemilukada diharapkan mampu menentukan arah masa depan, dengan harapan rakyat dapat memilih pemimpin yang membawa perubahan. Namun, di balik semaraknya pesta demokrasi ini, sering muncul tantangan seperti praktik politik uang, manipulasi suara, dan janji-janji yang tak kunjung ditepati. Pemilu sering disebut sebagai tonggak demokrasi. Tetapi, apakah setiap suara yang diberikan di bilik suara benar-benar mencerminkan masa depan daerah? Ataukah bilik suara sekadar menjadi panggung ilusi untuk memenuhi ambisi segelintir elite politik?

Demokrasi atau sekadar formalitas

Di berbagai wilayah, pemilukada sering kali hanya menjadi ritual lima tahunan yang sarat dengan janji manis. Para kandidat berlomba menyajikan visi yang terlihat menjanjikan, tetapi kenyataan pasca pemilukada kerap tidak sesuai ekspektasi. Infrastruktur yang terbengkalai, ketimpangan ekonomi, dan layanan publik yang minim masih mewarnai kehidupan sehari-hari. Menurut Joseph A. Schmeter dalam bukunya (Capitalisme, Socialisme And Democracy, 1994) demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Hal ini merupakan bentuk perjuangan satu suara yang diberikan bukan hanya pada bilik suara, melainkan berpartisipasi aktif selama proses berlangsung. Bagi Jurgen Habermas, ruang publik memiliki peran yang cukup berarti dalam proses berdemokrasi. Selain itu, ruang publik merupakan wadah yang mana warganegara dengan bebas dapat menyatakan sikap dan argumen mereka terhadap negara atau pemerintah.

Ajang demokrasi lima tahunan terasa seperti sekadar formalitas belaka. Rakyat diminta untuk memilih, namun opsi yang tersedia sering kali terbatas pada kandidat yang dipilih oleh elite politik, bukan yang benar-benar mencerminkan keinginan rakyat. Idealnya, demokrasi memberikan kesempatan bagi semua suara untuk didengar, tetapi kenyataannya, politik uang, manipulasi informasi, dan dominasi oligarki justru menjadikan pemilu sebagai alat mempertahankan kekuasaan. Bukannya mendorong perubahan, pemilu sering kali melahirkan pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Jika kondisi ini terus berlanjut, apakah demokrasi masih memiliki relevansi, ataukah bilik suara hanyalah panggung sandiwara untuk menutupi fakta bahwa kekuasaan tetap berada di tangan segelintir orang.

Kebenaran dan manipulasi

Kemenangan dalam perhitungan suara sering dianggap sebagai puncak legitimasi demokrasi, namun realitasnya kerap penuh kontroversi. Di balik euforia kemenangan, ada pertanyaan besar; apakah hasil ini benar-benar mencerminkan kehendak rakyat atau sekadar hasil dari manipulasi sistematis.

Kasus dugaan kecurangan, mulai dari penggelembungan suara hingga hilangnya surat suara, terus membayangi proses pemilu di berbagai daerah. Teknologi yang seharusnya menjamin transparansi sering kali menjadi alat bagi oknum untuk memanipulasi hasil, sementara rakyat hanya bisa menonton tanpa daya. Integritas pemilukada (electoral integrity), atau secara lebih lengkap integritas proses penyelenggaraan dan integritas, merupakan salah satu dari enam parameter proses penyelenggaraan pemilihan yang demokratik (democratic electoral processes). Tidak saja karena proses tersebut merupakan puncak dari proses penyelenggaraan pemilukada, tetapi juga karena tahapan itu menjadi obyek manipulasi dari pihak yang bernafsu mendapatkan kursi/jabatan dengan segala cara (Surbakti, 2011).

Lebih jauh, kemenangan sering kali lebih mencerminkan kekuatan modal dan jaringan politik ketimbang kualitas kandidat. Politik uang, intimidasi, dan propaganda menjadi senjata utama untuk memenangkan suara rakyat, merusak esensi demokrasi itu sendiri. Penelitian dari Umar, (2010) gaya berpolitik para pemilik modal yang menjadikan politik sebagai arena untuk mempertegas hegemoni bisnisnya.

 Jika kemenangan dalam perhitungan suara hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan tanpa moral, apa artinya suara rakyat? Demokrasi yang seharusnya menjadi harapan malah berubah menjadi panggung legitimasi para oligarki. Kini, tantangannya adalah mengembalikan kepercayaan publik bahwa kemenangan sejati adalah kemenangan rakyat, bukan elite.

Harapan dalam bilik suara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun