Awal tahun 2022 ini, saya berkesempatan untuk pergi ke Cirebon, saya terakhir kali ke kota udang ini pada tahun 2018 menjelang saya masuk SMA. Saya selalu bersemangat diajak ke Cirebon, tidak lain tidak bukan adalah karena kulinernya yang begitu menggugah selera, eits, tapi saya akan simpan itu untuk postingan selanjutnya.Â
Kali ini saya berkunjung ke Goa Sunyaragi, ini adalah kali pertama saya kesini. Saya selalu ingin mengunjungi Goa Sunyaragi, selain karena cerita sejarahnya, namun juga bentuk bangunannya yang menurut saya unik. Seperti gundukan karang, jauh dari kata 'goa' yang ada di kepala saya.Â
Nama Sunyaragi berasal dari bahasa Sanskerta 'sunya' yang berarti sepi/sunyi, dan 'ragi' yang berarti raga. Bukan tanpa alasan, penamaan ini memang sudah sesuai dengan peruntukannya, yaitu sebagai tempat sultan Cirebon bersamedi dan juga sebagai tempat para prajurit berguru kepada sang Sultan.Â
Ada beberapa bangunan goa dan bangsal, mereka pun memiliki nama-nama dan peruntukannya sendiri. Saya hanya mengingat beberapa, yaitu Goa Langse, Goa Pawon dan Goa Peteng, goa yang paling besar.Â
Menurut informasi yang saya gali, Goa Langse ini fungsinya adalah sebagai tempat bersantai, Goa Pawon, seperti namanya, adalah untuk dapur tempat penyimpanan makanan.Â
Goa Peteng ini menurut saya sangat menarik, sebab ditengahnya ada sebuah danau kecil yang bisa dilewati dengan melompati bebatuan. Goa ini sangat besar, di bagian atasnya terdapat seperti pendopo namun tertutup dengan atap khas arsitektur Hindu. Goa Peteng yang berarti 'gelap' ini memiliki fungsi sebagai tempat menyepi untuk kekebalan tubuh.Â
Ada dua versi mengenai sejarah berdirinya Goa Sunyaragi, yaitu versi Carub Kanda (sejarah lisan) dan versi Caruban Nagari, yang merupakan tulisan tangan Pangeran Kararangen, Pangeran Arya Cirebon tahun 1720. Menurut Carub Kanda, dan beberapa catatan dari Kraton Kasepuhan, Tamansari Sunyaragi ini dibangin karena Giri Nur Sapta Rengga berubah menjadi tempat pemakaman raja-raja Cirebon, yang kini menjadi Astana Gunung Jati.Â
Fungsi dari Tamansari Sunyaragi ini adalah sebagai perluasan wilayah dan sebagai tempat samedi sultan dan didirikan pada sekitar tahun 1530an. Versi Caruban Nagari, Goa Sunyaragi ini didirkan pada 1703 oleh Pangeran Kararangen, cicit Sinan Gunung Jati, fungsinya pun mengalami perubahan seiring berjalannya waktu.
Kesan yang saya dapatkan ketika pertama kali menginjakkan kaki ke Goa Sunyaragi ini adalah 'sakral', karena ada banyak bangunan yang tampak sengaja dibuat 'gelap'. Tamansari yang airnya mulai mengering dengan tanaman-tanaman liar di sekelilingnya membuat suasana nampak semakin misterius. Namun hal ini menarik bagi saya, sebab saya pun akhirnya belajar mengenai salah satu peninggalan Kerajaan Cirebon yang begitu penting dan magis.Â
Apabila dilihat dari gundukan bukit yang cukup tinggi, maka anda akan melihat Goa Sunyaragi ini dengan latar belakang Gunung Ciremai yang begitu gagah. Pemugaran terbaru dari Goa Sunyaragi ini menambahkan panggung seni dan tribun, serta tulisan 'Goa Sunyaragi' dengan font dan warna-warni yang seolah kontra dengan kesan Goa yang 'misterius', in another word: sangat ceria. Ketika saya bertanya kepada bapak-bapak penjaga, sesekali ada pagelaran seni yang dilaksanakan disini.
Entah mengapa Goa Sunyaragi ini cukup sepi, padahal fasilitas penunjangnya, seperti toilet dan kantin sangat baik, tiket masuknya pun hanya Rp. 10.000. Saya berharap Goa Sunyaragi mendapat perhatian lebih dari pemerintah dan pemerhati budaya di Jawa Barat pada khususnya, baik dari pengelolaan tempat maupun awareness masyarakat.Â
Dibangunnya tribun dan panggung seni ini sangat visioner, semoga saja kedepannya bisa ramai pagelaran seni khas Cirebon, dan masyarakat bisa mendapatkan manfaat dari pariwisata ini.
Sampai jumpa di plesiran selanjutnya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H