Mohon tunggu...
Amaranggana Ratih Mradipta
Amaranggana Ratih Mradipta Mohon Tunggu... Lainnya - history graduates, bachelor of literature

culture, culinary, events and travel enthusiast.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Mandiri Berdikari, Jalan-Jalan Juga Sendiri

1 Oktober 2022   09:00 Diperbarui: 1 Oktober 2022   09:08 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak cara untuk mengatasi kejenuhan terhadap rutinitas sehari-hari. Cara orang untuk mengatasi kejenuhan pun beragam dan sangat personal. Bagi saya, cara saya mengatasi kejenuhan, atau bahasa sekarang 'healing' adalah dengan jalan-jalan. Maka tidak heran, jika laman Kompasiana saya rata-rata memuat cerita perjalanan saya. Saya lahir dan tinggal di Yogyakarta, kota pendidikan, kota budaya dan kota pariwisata. Kadang saya pun juga suka ditanya oleh kerabat maupun teman-teman saya dari luar kota, "orang luar kalau liburan ke Jogja atau Bali, kira-kira orang Jogja dan orang Bali kalau liburan kemana?". 

Tentu saya sendiri belum selesai mengeksplor Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, terlalu banyak pantai eksotis dan restoran bertema alam yang selalu muncul di laman instagram saya, "wah apalagi ini?", sampai-sampai orang pun juga mengatakan kepada saya, "masa orang Jogja nggak tau ada wisata ini?". Percayalah, saya sendiri juga belum selesai dengan kota saya.

Lalu kembali ke pertanyaan tadi, saya, sebagai orang Jogja, kalau liburan kemana ya? Kalau di kampung sendiri, apabila saya ingin eksplor tempat-tempat baru, seringkali saya bersama teman-teman atau keluarga. Karena saya pun tidak mau resiko kalau-kalau saya 'hilang' atau kehabisan budget. Namun ada beberapa tempat yang hampir sering saya kunjungi apabila saya hendak 'healing' di kota sendiri, yaitu Candi Ijo. Candi Ijo terletak di kawasan Berbah, saya memang lebih menyukai pegunungan dan dataran tinggi dibandingkan pantai. Saya hampir selalu ke Candi Ijo pada siang menjelang sore hari sampai waktu tutup. Kalau saya ada uang lebih, saya mampir ke Watu Langit, restoran yang harganya cukup affordable, dan hanya sekitar 5 menit dari Candi Ijo. 

Kalau saya sedang berada di luar kota, ada dua kota yang sebenarnya kerap saya kunjungi. Kota pertama adalah kota saudara, Surakarta. Saya memiliki beberapa teman dekat di Surakarta yang bisa saya jadikan guide, ditambah, ada banyak acara kebudayaan dan kesenian yang kerap diadakan di kota Surakarta. Tentu saja saya menggunakan moda transportasi publik, dulu adalah kereta Prameks, dan saat ini KRL Jogja-Solo, yang sama-sama hanya seharga Rp.8.000 saja. Ditambah, terakhir saya ke Surakarta, bus Batik Solo Trans (BST) masih gratis.

Kota kedua adalah Jakarta. Saya memang kerap pergi ke Jakarta (Jabodetabek, sebenarnya), karena ada banyak keluarga besar dari kedua orangtua saya yang tinggal disana. Tahun ini saja saya sudah ke Jakarta sebanyak dua kali. Namun yang baru bagi saya adalah menjelajahi Jakarta sendiri, menggunakan transportasi umum, utamanya KRL dan MRT. Awalnya saya berani berkeliling Ibukota dengan moda transportasi umum ini sebenarnya modal nekat. Saat itu, bulan Januari, posisi saya di Cirebon bersama ibu saya, dan saya memutuskan untuk ke Arsip Nasional (ANRI) dan Perpustakaan Nasional (Pusnas) untuk mencari sumber skripsi. Sebagai anak perempuan tunggal, tentu sangat sulit meyakinkan ibu saya, dan ayah saya (yang saat itu di Jogja), kalau saya mau sendiri, tidak perlu diantar oleh kerabat saya. Saya tidak ingin merepotkan, namun saya sendiri juga memahami mengapa kedua orangtua saya sempat tidak yakin. 

Setelah Januari, saya pergi ke Jakarta lagi bulan Juli (seperti postingan sebelumnya). Saya lebih memberanikan diri untuk eksplor sampai Jakarta Kota (dari Depok). Modal saya hanya google maps (dan pengetahuan tentang aplikasi tersebut), karena ada fitur public transportation yang membantu saya untuk mengetahui KRL apa yang harus saya gunakan, untungnya dari Depok sampai ke Jakarta Kota saya hanya menggunakan satu jalur, Jakarta Kota saja. Kalaupun waktu itu saya mampir ke Blok M untuk kulineran, dan mampir ke Dukuh Atas untuk menyaksikan Citayam Fashion Show, rute MRT hanya satu jalur, saya tinggal menghafalkan saya harus turun dimana untuk bisa catch ke KRL, dan kemudian transit di Manggarai untuk kembali menggunakan rute Jakarta Kota.

Modal kedua adalah uang. Apabila saya sedang jalan-jalan sendiri, dan masih harus menggunakan moda transportasi ojek online apalagi akun saya ini tidak wangy sehingga jarang ada promo, maka biaya akan sangat membengkak. Dua kali saya jalan-jalan sendiri di Jakarta, saya harus keluar kurang lebih Rp. 200.000, mungkin masih cukup terjangkau untuk ukuran Jakarta, namun tentu saja tidak bagi saya. Memang kalau anda berencana untuk solo travel, anda harus merogoh kocek yang cukup dalam, untuk kepuasan anda sendiri, kenyamanan dan keselamatan anda. Pernah teman saya menulis tweet seperti ini, "uang bisa dicari lagi, namun kesempatan hanya datang sekali.", saya rasa saya setuju. Budgeting memang sangat penting ada rencanakan dalam solo trip anda selanjutnya, baik di dalam kota maupun di luar kota.

Modal ketiga adalah, entah bagaimana caranya, anda tidak boleh terlihat linglung. Mudah bagi seseorang yang memiliki niat jahat kepada anda untuk mencelakai anda, apalagi dalam keadaan sendiri. Saya selalu berjalan cepat dan fokus kepada tujuan saya, meskipun saya juga scanning potential danger di sekitar saya, seperti dalam film-film action. Selalu letakkan dompet dan ponsel di bagian terdalam tas, dan meletakan tas di dada, adalah dua pesan yang selalu disampaikan ibu saya. Jika suasana moda transportasi umum yang saya gunakan sedang lenggang, saya biasanya menyetel musik dengan headset atau membaca buku, namun apabila sedang rush hour, saya menyimpan ponsel saya dan fokus pada keadaan sekitar.

Saya bisa simpulkan bahwa solo trip memang adalah suatu pengalaman yang berharga. Anda bisa mendapat pengalaman yang maksimal karena tidak ada yang mengganggu anda. Pengalaman maksimal inipun juga tidak selalu menyenangkan, sebenarnya, misalnya pulang disaat jam rush hour, atau ketinggalan kereta. Semua itu tentu saja menjadi pembelajaran bagi diri sendiri, bahwa kebiasaan orang di setiap daerah berbeda, dan semakin banyak anda belajar semakin handal anda mengendalikan diri pada berbagai kondisi.

Sampai jumpa di plesiran selanjutnya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun