Mohon tunggu...
Amaranggana Ratih Mradipta
Amaranggana Ratih Mradipta Mohon Tunggu... Lainnya - history graduates, bachelor of literature

culture, culinary, events and travel enthusiast.

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar

Belajar dari Kampung Ketandan Yogyakarta

19 September 2022   09:32 Diperbarui: 19 September 2022   11:10 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Sabtu, 17 September kemarin, saya dan teman-teman saya berkesempatan untuk mengikuti acara yang diselenggarakan oleh laboratorium program studi saya, yaitu jelajah kampung Ketandan. Acara ini dibersamai oleh mas Erwin, anggota MalaMuseum. Start dari depan Benteng Vredeburg, mas Erwin memberikan kami intro mengenai 'biodata' dari bangsa Tionghoa ini, bagaimana mereka dari Tiongkok bisa sampai di Indonesia, masyarakat Tiongkok daerah mana yang sampai di Indonesia, bahasa yang mereka gunakan dan komoditas yang mereka cari di Indonesia. Apabila kita membayangkan Tiongkok yang begitu besar wilayahnya, apakah mereka semua melakukan perjalanan ke Indonesia? Tentu tidak, hanya masyarakat Tiongkok selatan seperti Shanghai dan Fujian yang melakukan perjalanan ke arah Selatan dan Tenggara (Asia Tenggara). Mereka melakukan perjalanan jalur laut dan sampai di kota-kota pelabuhan di Indonesia, kalau ruang lingkupnya di Jawa, maka mereka mendarat di kota-kota di Pantai Utara, seperti Jakarta, Semarang, Rembang, Pekalongan dan Surabaya.Mendengar nama-nama kota ini saja, saya dan teman saya langsung bergumam, "wah Tionghoa banget vibes-nya!". Mereka singgah di kota-kota di Pantai Utara Jawa ini untuk mencari 'sangu' yang akan mereka gunakan pada perjalanan mereka ke Timur untuk mencari rempah-rempah. Tidak saya sangka ternyata 'sangu' nya adalah beras! tentu saja, Pulau Jawa diberikan berkah oleh Tuhan berupa tanah yang subur, gemah ripah loh jinawi, dengan komoditas utama dan makanan pokok yaitu nasi. Orang Tionghoa pun sama, mereka juga makan nasi, sehingga mereka akan menukar komoditas beras dengan keramik-keramik mereka, dan mereka akan melanjutkan perjalanan ke Timur. Rempah-rempah Indonesia dahulu tidak mereka gunakan untuk bumbu masakan, belum, umumnya mereka menggunakan rempah-rempah sebagai pengobatan. 

Jika ada pertanyaan, bagaimana orang Tionghoa ini berkomunikasi dengan orang Jawa, kan dahulu kita juga tidak mengetahui bahasa mereka and vice versa. Jawabannya adalah bahasa Melayu, bahasa Melayu menjadi lingua franca sejak sekitar abad ke-7 Masehi. Namun seperti kita saja apabila berkunjung ke negara tetangga, dan hendak membeli sesuatu, maka kita akan menggunakan bahasa 'Tarzan' dengan menunjuk-nunjuk barang dan menanyakan harganya dengan angka, awalnya pun begitu. Kemudian kami berpindah dari depan Benteng Vredeburg menuju utara ke depan Pasar Beringharjo. Mas Erwin menceritakan mengenai awal mula bangsa Tionghoa sampai di Yogyakarta, dan kenapa Yogyakarta. Yogyakarta merupakan daerah pedalaman apabila mereka datang dari Semarang, maka mereka masih harus menempuh perjalanan darat sekitar 130km. Bangsa Tionghoa sudah berada di Yogyakarta sejak awal Yogyakarta sendiri terbentuk, yaitu mulai tahun 1755, setelah palihan nagari. Awal mula dari semua ini adalah peristiwa Geger Pecinan (1740) di kota Batavia, peristiwa traumatis pembantaian orang-orang Tionghoa oleh VOC. 

Orang-orang Tionghoa kemudian melarikan diri ke pedalaman dan bergabung dengan pasukan Mataram, orang-orang Tionghoa ini kemudian bersumpah akan bergabung dan bersama-sama melawan VOC. Namun Sunan Pakubuwana II, pimpinan pasukan Mataram pada saat itu, malah berbalik memihak kepada VOC karena ia melihat kekalahan Mataram sudah didepan mata. Pimpinan pasukan Mataram kemudian diserahkan kepada RM Garendri, atau Amangkurat V dengan julukan Sunan Kuning. Sunan Kuning kemudian memimpin juga pasukan Tionghoa untuk melakukan serangan balik ke Kraton Kartasura. Penyerangan ini berlanjut sampai Semarang, namun karena keadaan sudah semakin mendesak, pada akhirnya Sunan Kuning menyerahkan diri kepada VOC dan diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka). Singkatnya, seiring berjalanannya waktu, setelah meninggalnya Pakubuwana II, dan kemudian digantikan Pakubuwana III, ia lebih cenderung kepada VOC dan bangsa Belanda. 

Hal ini yang tidak disukai oleh Pangeran Mangkubumi, ia tidak membenci Pakubuwana III, namun membenci VOC karena selalu mengusik urusan istana. Kemudian, perjanjian Giyanti terjadi, dihadiri oleh Pakubuwana III, Pangeran Mangkubumi dan Nicholaas Hartingh, selaku perwakilan dari VOC. Nah, kita kembali ke bangsa Tionghoa, setelah terbentuknya Yogyakarta, bangsa Tionghoa diberikan tempat oleh Sultan Hamengkubuwana I di sebelah utara pasar gedhe (Pasar Beringharjo). Ada beberapa alasan dibalik mengapa bangsa Tionghoa ini ditempatkan di dekat pasar, yang pertama adalah sebagai penggerak perekonomian Yogyakarta yang baru lahir, dan sebagai pemungut pajak kepada orang yag hendak masuk dan berjualan di pasar gedhe. Itulah mengapa kampung pecinan disebut dengan kampung Ketandan, berasal dari 'tandha' atau cap, sebagai izin untuk berjualan di pasar gede, sehingga kerap disebut 'ke-thanda-n'.

Kami melanjutkan perjalanan ke tengah kampung Ketandan, disini, mas Erwin menjelaskan mengenai bangunan khas dari bangsa Tionghoa. Kita mengenal istilah ruko-rumah toko-bangunan hunian dan bangunan untuk berdagang menjadi satu. Ruko pada masa awal singgahnya bangsa Tionghoa di Yogyakarta memiliki dua jenis, yaitu bangunan satu lantai dan bangunan dua lantai. Pada zaman itu, pajak bangunan hanya dihitung dari lebar bangunan saja, sehingga untuk menghemat lahan dan pajak, bangunan Tionghoa cenderung sempit namun memanjang ke belakang, atau bertingkat, dengan atap pelana kuda. Pada bangunan satu lantai, 1/2 bagian depan bangunan akan menjadi area toko, dan 1/2 bagian belakang akan dijadikan hunian. Pada bangunan dua lantai, 2/3 bangunan lantai bawah akan dijadikan area toko, dan seuruh bangunan lantai 2 akan dijadikan hunian. Satu hal yang juga khas dari arsitektur Tionghoa selain atap pelana kuda, adalah celah 'sumur langit' di tengah bangunan, yang memiliki fungsi utama sebagai ventilasi dan pencahayaan, karena rumah-rumah bangsa Tionghoa ini cenderung berimpitan satu sama lain. Lalu bagaimana dengan warna? selama ini kita mengasosiasikan kebudayaan Tionghoa dengan warna merah dan kuning yang sangat vibrant. Pada kenyataannya warna ini lebih dekat dengan warna-warna Vihara, untuk warna bangunan cenderung warna putih saja. 

Kemudian kami berjalan lagi ke arah barat sampai di Jalan Malioboro, mas Erwin menjelaskan mengenai dua toko obat Tionghoa yang masih lestari sampai saat ini, yaitu toko obat Sumber Husodo (Tek An Tong) dan Enteng (Eng Njan Hoo) yang letaknya hanya berjarak sekitar 3 bangunan. Sebenarnya dulu ada banyak toko obat Tionghoa yang masih tradisional dengan racikannya, namun saat ini hanya tersisa Sumber Husodo saja. Berjalan ke selatan, masih ada toko obat Tay An Can, namun toko obat ini juga sudah tidak menerima racikan dan penerusnya pun sudah bukan dari bangsa Tionghoa yang dahulu disini. Berjalan sedikit ke selatan mendekati gerbang Kampung Ketandan, ada toko roti legendaris yang malah lebih terkenal sebagai roti sripah (roti yang disajikan kepada pelayat saat ada orang meninggal), yaitu adalah roti Djoen. Mas Erwin mengatakan bahwa ragi yang digunakan roti Djoen adalah ragi olahan sejak 1935! Sehingga setiap hari ketika mereka membuat ragi, mereka mengambil bibit dari ragi terdahulu, yang sudah dilakukan sejak pertama toko roti ini berdiri, sehingga rasanya selalu konsisten sejak hampir satu abad yang lalu. Nah lalu mengapa roti Djoen ini diasosiasikan sebagai roti sripahan? 

Dahulu, ketika Sri Sultan Hamengkubuwana IX mangkat (meninggal), warga Yogyakarta berbondong-bondong memberikan 'santunan', namun pemilik roti Djoen mengatakan bahwa mereka tidak memiliki uang, yang mereka miliki adalah roti, sehingga mereka menyajikan roti kepada para pelayat. Siapa sangka peristiwa ini malah terus dilakukan oleh warga Yogyakarta ketika ada sripah? Sehingga selalu ada kotak biru bertuliskan 'Roti Djoen Muda' dengan isi satu buah roti dan satu air mineral gelas setiap sripah.

Sungguh pengalaman yang sangat membukakan mata saya mengenai peran orang Tionghoa di Yogyakarta, dan mengapa mereka ada sampai sekarang, melakukan perdagangan seperti yang dilakukan nenek moyangnya. Terlepas dari berbagai konflik politik masa lalu, bangsa Tionghoa dan bangsa Jawa akan selalu bersatu di meja makan. Sudahkah Anda mengonsumsi hidangan yang tersentuh budaya Tionghoa hari ini? bakso, kecap, bakmi, dan bahkan oleh-oleh khas Yogyakarta yang selalu dicari, bakpia, tidak lain adalah hasil pengajaran bangsa Tionghoa kepada orang Jawa.

Sampai ketemu di plesiran selanjutnya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun