Mohon tunggu...
Amar Alfian
Amar Alfian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pasaman Barat

Amor Fati Fatum Brutum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kemiskinan Struktural dan Siklus Kejahatan: Mengapa Masyarakat Tak Lepas dari Jerat ?

4 Oktober 2024   08:45 Diperbarui: 4 Oktober 2024   09:25 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Teman-teman, pernahkah kita bertanya-tanya mengapa kasus pencurian semakin sering terjadi di lingkungan kita? Terutama di daerah pedesaan, fenomena ini seolah menjadi pemandangan yang "biasa" saja. Namun, jika kita melihat lebih dalam, di balik tindakan kriminal ini terdapat realitas sosial yang kompleks: kemiskinan, keterbatasan pendidikan, serta kecanduan judi online dan narkoba.

Beberapa minggu dan bulan terakhir, di daerah penulis terjadi peningkatan kasus pencurian komoditas seperti kelapa sawit, jagung, gabah, buah-buahan, bahkan apa saja yang bisa dijadikan uang. Hasil curian ini digunakan untuk memenuhi hasrat judi online dan narkoba. Di masyarakat, sudah muncul pameo baru: "depo, rungkad, maling barang orang, depo lagi," yang menggambarkan siklus berulang dari tindakan tersebut. Siklus ini terus terjadi, dan yang membuat miris, pelaku pencurian sering kali dengan mudah lolos dari jerat hukum meskipun tindakan mereka jelas merugikan masyarakat banyak.

Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apa penyebab dari maraknya pencurian ini? Penulis akan mencoba membahas topik ini dengan teori Lucifer Effect dari Philip Zimbardo, Teori Kesenjangan Sosial dari Pierre Bourdieu, Teori Disorganisasi Sosial dari Clifford Shaw dan Henry McKay, Gambler's Fallacy, serta kritik dari Rocky Gerung soal pemeliharaan kemiskinan dan kebodohan oleh penguasa sebagai pisau analisinya.

Kebodohan dan Kemiskinan: Alat Pelanggeng Kuasa Penguasa?

Rocky Gerung, seorang intelektual Indonesia, sering mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggapnya mempertahankan kebodohan dan kemiskinan. Dalam kritiknya, ia mengatakan bahwa kebijakan publik yang gagal menciptakan pendidikan berkualitas dan kesempatan kerja yang layak sama saja dengan "memelihara" kebodohan dan kemiskinan. Rocky Gerung percaya bahwa kebijakan yang tidak memperjuangkan kesejahteraan masyarakat justru memperpanjang penderitaan rakyat kecil.

Ketika pendidikan tidak diprioritaskan dan akses terhadap pekerjaan layak dibatasi, masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi cenderung terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan. Ini sejalan dengan kritik Rocky Gerung yang menegaskan bahwa pemerintah sering kali mengabaikan kebutuhan rakyat kecil dan membiarkan mereka berada dalam kebodohan, sehingga lebih mudah dikendalikan dan dipengaruhi.

Perkataan Rocky Gerung tentang bagaimana penguasa memelihara kebodohan dan kemiskinan menjadi sangat relevan dalam konteks ini. Ketika masyarakat dibiarkan dalam kondisi miskin tanpa akses terhadap pendidikan yang memadai, mereka kehilangan kemampuan untuk mengembangkan potensi diri. Tidak ada kesempatan untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan, terutama karena lapangan pekerjaan yang layak semakin sulit ditemukan. Pendidikan yang seharusnya menjadi pintu keluar dari kemiskinan malah menjadi barang mewah yang tidak terjangkau oleh mereka yang paling membutuhkan.

Akibatnya, masyarakat yang terjebak dalam kemiskinan ini terpaksa mengambil jalan pintas, seperti berjudi atau mencuri. Mereka merasa tidak memiliki pilihan lain. Penguasa yang tidak berusaha memperbaiki situasi ini justru mengambil keuntungan dari kondisi tersebut. Dengan masyarakat yang tidak teredukasi, kekuasaan menjadi lebih mudah dikendalikan. Sebab, rakyat yang bodoh dan miskin cenderung pasrah terhadap keadaan dan tidak mampu melakukan perlawanan yang berarti.

Kemiskinan Struktural: Lebih dari Sekadar Kekurangan Materi

Kemiskinan bukan hanya tentang kurangnya uang untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi juga tentang keterbatasan akses terhadap sumber daya, pendidikan, dan peluang kerja yang layak. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, tingkatkemiskinan di Indonesia mencapai 9,57%, dengan angka yang lebih tinggi di daerah pedesaan. Keterbatasan ini membuat masyarakat sulit untuk keluar dari siklus kemiskinan, karena kurangnya modal sosial dan budaya yang diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan.

Kemiskinan struktural menciptakan kondisi di mana individu merasa terjebak dan tidak memiliki banyak pilihan dalam hidup mereka. Dalam kondisi ini, pekerjaan yang layak menjadi langka. Hal ini menyebabkan orang-orang di daerah miskin sering kali beralih ke pekerjaan informal, yang kurang stabil dan tidak memberikan jaminan kesejahteraan jangka panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun