[caption id="attachment_91066" align="aligncenter" width="477" caption="Ilustrasi: gettyimages"][/caption] Ditengah semakin gencarnya arus modernisasi dan globalisasi, tak hanya gaya hidup seseorang saja yang berubah, tapi juga pencapaian dan pandangan hidup seseorang juga dapat berubah. Kalau dulu kita pernah mempunyai cita-cita untuk menjadi pengacara, dokter, atau guru, masa sekarang keinginan tersebut telah jauh bergeser. Anak muda zaman sekarang lebih memilih untuk menjadi penyanyi, bintang film/sinetron, model, atau bintang ikan yang terkenal dan selalu tampil di TV dan media cetak. Hal ini telah menyebabkan munculnya ‘virus’ global baru yang mengancam generasi muda, ‘virus’ baru ini saya namakan “Celebrity Wannabe”.
Sesuai namanya, ‘celebrity wannabe’ ini identik dengan orang-orang yang terobsesi menjadi populer dan bergelimangan materi dan ketenaran. Gaya hidup glamour yang di pertontokan oleh selebritis dunia dan tanah air tak pelak telah menjadi model (trendsetter) dan contoh nyata yang sangat digemari dan ditiru oleh remaja masa kini. Dari gaya hidup mereka yang hedonis, sampai pergaulan dan penampilan mereka yang identik dengan pesta, glamour, dan kemewahan. Sikap dan perilaku meniru selebritis tersebut telah menyebar bagai virus yang dapat merusak pencitraan dan harga diri seseorang. Orang yang terkena virus tersebut dengan sendirinya terobsesi untuk mengikuti selebritis kegemarannya untuk menjadi terkenal dan populer. Fantasi-fantasi mereka dapat menjadikan mereka kehilangan identitas dan jati dirinya.
Media juga berperan besar dalam menyebarkan virus tersebut. Lihat saja majalah-majalah remaja berorientasi showbiz dan infotainment (gossip) dan acara infotainment di station-station TV yang bak jamur di musim hujan. Padahal berita yang ditayangkan kadang ga penting dan diulang-ulang. Kenyataannya, acara-acara show biz dan infotainment tersebut paling dinanti dan ditunggu-tunggu oleh remaja dan ibu-ibu. Hal ini secara tidak langsung telah menjadikan mereka sebagai budak infotaiment.
Fenomena-fenomena tersebut baik disadari atau tidak telah merubah pandangan remaja dan anak muda. Mereka cenderung berfikir dan termotivasi untuk mengikuti jejak idolanya. Akibatnya, banyak diantara mereka yang terobsesi menjadi selebritis dengan iming-iming ketenaran atau popularitas dan kekayaan. Terlebih lagi karena stereotype yang telah tertanam dibenak mereka, menjadi terkenal berarti memiliki banyak uang. Lihat saja penghasilan artis perepisodenya dan penyanyi disetiap manggungnya, bandingkan dengan gaji PNS, guru, dokter, dan pengacara.
Fenomena virus celebrity wannabe juga terlihat dengan makin menjamurnya kompetisi mencari bakat dari menyanyi seperti Indonesian Idol, Indonesia Mencari Bakat dan Mamamia, sampai bakat ke acting dan komedi. Lihat saja jumlah peserta yang mendaftar untuk unjuk gigi atau sekedar numpang tenar di televisi yang berjibun meskipun dengan gaya ‘ancur-ancuran’ atau bakat ‘pas-pasan’.
Berkembangnya teknologi komunikasi khususnya internet juga berpengaruh dalam penyebaran ‘virus’ celebrity wannabe ini. Masih segar dalam ingatan kehebohan video lip sync controversial ShinJo, dan Ririn Dumin di Youtube beberapa waktu yang lalu yang telah memicu banyaknya remaja yang mengikuti langkah mereka dengan motif pingin terkenal dan pingin jadi artis juga.
Pergeseran pola pikir dan pandangan remaja masa kini merupakan masalah global baru yang mengancam. Dr. Strenger (dailymail, 15 February 2011) dari universitas Tel Aviv telah melakukan serangkaian penelitian menyangkut fenomena ini selama 10 tahun terakhir. Dalam temuannya, ia menyatakan bahwa dampak dari global infotainment telah melahirkan spesies manusia baru yaitu : homo globalis – Manusia global – yang didefinisikan sebagai manusia yang mempunyai hubungan mendalam dengan global infotaiment network sehingga terobsesi dengan kekayaan dan kepopuleran.
Sebagai manusia, secara alami kita membandingkan diri kita dengan orang-orang disekeliling kita. Tapi sekarang, kita hidup di kawasan ‘global village’ yang membandingkan kita dengan orang-orang terkenal di dunia yang kadang membuat kita selalu merasa kekurangan. Kalau dulu profesi dokter atau pengacara adalah pekerjaaan bereputasi tinggi, kini orang-orang yang bekerja di profesi tersebut merasa diri mereka marjinal dan terkucilkan jika dibandingkan dengan cerita-cerita suksess di media dan infotainment. Hal tersebut telah menyebabkan ketidakstabilan emosi, self-esteem dan masyaratakat.
Oleh karena itu saya sangat menyarankan untuk berhenti menilai seseorang dari tingkatan kekayaan dan popularitas karena kedua hal tersebut tidak dapat memenuhi kepuasan, kebahagiaan, apalagi patokan dalam hidup. Terlebih kepada pemuda yang merupakan agent of change yang nantinya akan membawa perubahan dan pengaruh besar bagi bangsa. Mereka juga diharapkan untuk terus mengembangkan cakrawala ilmu dan pengetahuan dan tak mudah terpengaruh dengan godaan ketenaran dan popularitas yang bersifat sementara. Sebaliknya, fokuslah pada penggalian bakat dan potensi diri. Sebagaimana dulu Henri Matisse pernah berkata “ There are always flowers for those who want to see them ”
Semoga bermanfaat dan selamat beraktivitas
Salam hangat selalu
Ama Atiby (16/02/2011)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H