"Buset loe Ma... Cuma sebulan barang bawan loe macam mau pindah rumah aja." Celutuk Mirna kaget.
"Yeee... ini baru sedikit Mir, sebagian baju dah gw keluarin semalam." Jawabku santai. Gw peluk sahabatku yang sedang berdiri mematung dipintu. "Jagain rumah ya Mir, kalau ada telpon dari bokap bilang gw dah menuju kerumah Paman."
Dengan perlahan taxi keluar dari perkarangan rumah kos. Rumah yang aku tempati sementara selama kuliah di Jakarta "Antarin saya ke terminal **** ya pak, buruan pak, kalau perlu kebut aja."
****
Bus yang kutumpangi berhenti di sebuah persimpangan. Kulirik jam tanganku sudah menujukkan pukul 2 siang. Ugh... kenapa sih tidak ada kendaraan yang menuju ke desa ini? Busnya aja juga cuma berhenti di persimpangan. Dengan modal peta coretan papa ku telurusi jalanan di perkampungan ini. Dikanan dan kiri jalan terhampar persawahan hijau. Akh... Kulihat ada seorang pemuda yang sedang menggembalakan sapinya. Apa aku tanya dia aja ya..? Pikirku dalam hati.
Sudah hampir 20 menit aku berjalan kaki menelusuri jalan setapak. Penderitaanku semakin bertambah karena harus menyeret koper yang beratnya hampir 30 kg dengan ransel yang beratnya hampir 7 kiloan. Tak terhitung banyaknya tetesan keringat yang mengucur deras dari keningku. Argh... Perutku lapar...
"Mau kemana neng?" Sebuah suara terdengar menghampiriku. Kubalikkan tubuhku. Terkesima aku melihat petani itu. Dia terlalu tampan untuk menjadi seorang petani.
"Eum... anu... Saya mau ke rumah pak Kades."
"Eh... Serius neng mau kerumah pak Kades? Jalannya salah neng... seharusnya dipersimpangan tadi neng belok ke kanan."
"APA...?!" Sialan gw dikerjain sama si penggembala sapi.
"Dari persimpangan tempat neng turun dari Bis, rumah pak kades ga jauh lagi, kira-kira hanya 5 menit berjalan kaki."