Cinta ibarat suatu turunan parsial terus menyambung menjadi suatu integrasi yang utuh. Differensiasi dua tubuh, merefleksikan satu jiwa. Ia hadir dalam betuk deret tak berhingga, dan barisan tak berbilang. Logika cinta mengalahkan logika matematika. Cinta adalah urutan teorema-teorema perasaan yang perlu di buktikan. Sering kita dengar bukan “Buktikan kalau kau mencintaiku.” Ah... Tentunya ada rumus-rumus cinta utuk membuktikannya.
Pembuktian Cinta
Namaku Aeva, umur 22 tahun, tiga bulan yang lalu aku diwisuda menjadi seorang sarjana muda. Spesifikasiku adalah Matematika. Aku berkulit kuning langsat dengan tinggi semampai 165 cm, berat 53 kg. Tak seperti stereotype yang kau pikirkan, aku tak berkamata tebal dan tak memakai rok panjang, aku tak memiliki rambut ikal dikepang, atau kawat gigi yang besar-besar.
Cowoku bilang aku cantik, Wajar saja karena dalam darahku mengalir darah blastran Indo-Belanda. Tapi aku tak bangga karena punya kakek yang mantan penjajah yang memperkosa nenekku sampai bunting. Ah... itu cerita masa lalu. Rambutku berwarna hitam, lurus, dan panjang, mirip rambutnya Sandra Dewi di iklan shampoo yang konon telah meluruhkan hampir sebagian mahkotaku. Ah... Iklan memang menyesatkan. Apa? Kau juga punya pengalaman yang sama? Hm... ga heran.
Aku memiliki kecantikan sang dewi, dan kesempurnaan bidadari. Aku selalu tampil modis dimanapun aku berada. Kata temanku, penampilanku ga kalah saing dengan Anne Hateway. di film “Devil Wears Prada”. Kalau kau pernah nonton filmnya, kamu pasti mengerti maksudku. Bedanya aku tidak pakai coat trendy karena di negaraku cuma ada dua musim. Tapi aku gemar memakai sepatu boot dengan rok mini dan kemeja berlengan pendek sepanggul. Aku pecinta kemeja, apalagi yang berkancing di depan. Hm... nanti kau juga tahu mengapa.
Hidupku sempurna. Papaku seorang kontraktor yang telah mengerjakan mega proyek di beberapa kota besar di Indonesia. Mamaku, walaupun cuma ibu rumah tangga, ia adalah wanita modern yang gemar bergaul. Dia adalah sosialita sejati, gemar pergi arisan dan belanja. Hidupnya memang hedonis. Ah... kupikir wajarlah, toh papa juga jarang dirumah. Dia sering keluar kota bahkan terkadang ke luar negeri. Tapi aku tak pernah kekurangan kasih sayang. Kedua orang tuaku itu selalu memperhatikan dan mendidik aku sehingga aku menjadi anak yang berprestasi. Di universitasku aku pernah menjadi runner-up mahasiswa terbaik yang berprestasi, nilai kelulusankku nyaris cum, jadi sah-sah saja kalau aku bilang otakku cemerlang.
Aku kehilangan keperawananku diusiaku yang masih remaja, 15 tahun, karena diperkosa oleh pamanku yang usianya 12 tahun lebih tua dariku. Ternyata darah si kakek bajingan masih mengalir kental dalam tubuh adik mamaku itu. Tapi apatah dayaku, waktu itu aku masih terlalu kecil sehingga takut pada ancamannya, Bukan sekali, tapi berkali-kali ia memperkosaku dirumah. Rumahku adalah Nerakaku. Dulu aku sangat membencinya. Aku membenci setiap perlaluannya kepadaku, setiap ia menyentuku, setiap ia menggauliku. Tapi itu dulu, hingga suatu hari...
Setahun yang lalu
Hampir saja anggur yang aku minum ini menyembur keluar dari mulutku.
“Oh... ternyata setan masih punya cinta juga.” Jawabku sinis sambil meletakkan kembali gelas berisi wine merah tua.
“Aku serius Va, aku ingin kau jadi milikku seutuhnya, aku ingin membuktikan keseriusanku. Aku ingin kita menikah”
“Lebih baik aku mati dari pada menikah denganmu.” Jawabku ketus.
“Jadi kamu mau hubungan kita begini-begini saja? Aku mau tobat, Va”
“Oh... sekarang kamu mau menjadi Tuhan yang ingin menasehatiku, begitu? Aku akan menikah... tapi tidak dengan bajingan sepertimu.”
“Bajingan yang kau cintai” Selanya cepat.
Kali ini aku tertegun mendengar perkataannya itu. Aku terdiam seribu bahas. Aku benci memiliki perasaan itu. Aku benci mendengar ia mengucapkan kata itu. Tapi aku tak punya daya saat ia dengan cepatnya meraih tubuhku dan memelukku dari belakang.
“Lepaskan... Aku mau pulang.”
“Aku takkan melepaskanmu, sampai kau berkata iya.” Dia mencumbui lagi tengkukku... begitu lihainya ia memperlakukanku dan menemukan titik lemahku. Tiba-tiba terdengar bunyi yang tidak asing dari telepon genggamku memecah keheningan diatara kami.
“Sudahlah sayang... jangan perdulikan telepon itu.”
Kurasakan bibirnya yang tak berhenti beraktivitas terus mencumbui leherku yang jenjang menghisapnya. Jari-jarinya terlihat sibuk membuka kaitan kemejaku satu persatu.
Dasar Iblis.
Sebelum akal sehatku menghilang, dengan cepat aku menahan serangan-serangannya dengan kedua tanganku.
“Itu telepon dari mama. Aku harus mengangkatnya, ini sudah tengah malam ia pasti khawatir.” Dengan susah payah aku berusaha melepaskan diri darinya dan meraih Handphone yang hampir berhenti berdering itu.
“Halo, Ma.”
“Kamu kemana aja sayang, mama mengkhawatirkanmu.”
“Aeva lagi sama Om Haris ma... sebentar lagi pulang.”
“Bilang sama om kamu, eyang minta dia segera pulang ke Bogor. Adik eyang meninggal tadi sore.”
“Iya, Ma”
“Aku mau pulang. Om berangkat malam ini juga kan?” tanyaku sesaat setelah mematikan ponsel. Dengan bergegas aku mengaitkan kembali kancing kemejaku dan menyapu compact powder tipis ke wajah dan leherku. Cupangan merah pada batang itu memberikan warna yang kontras sekali dengan kulitku yang putih. Kulepas ikatan rambutku untuk menyamarkannya.
“Sayang... kau belum menjawab pertanyaanku”
“Aku sudah menjawabnya... nikahi saja mayatku, kalau aku mati nanti.” Jawabku ketus sambil membereskan tas dan meraih kunci mobil dari atas meja kaca. Tak lupa aku mengeluarkan sebuah tablet dari tasku dan mencelupkannya ke botol minuman anggur yang tersisa diatas meja itu.
Kupandangi sekali lagi omku itu dan memberikan senyuman tipis yang sinis. Dalam hatiku bergeming “Kali ini buktikanlah kalau kau betul-betul mencintaiku.”
Dengan bergegas aku meninggalkan ruangan hotel bintang lima itu. Tak lupa kusapa petugas resepsionis yang memandangiku dengan heran. Mungkin karena aku keluar tengah malam, disaat tamu-tamu yang lain sedang check in. Ah... aku tak perduli, “Malam ini adalah malam kemenanganku.”
*****
“Aeva... sudahlah nak, jangan menangis, kamu yang tegar ya...”
“Iya ma... Aeva akan berusaha tegar.”
Kulihat wajah mamaku yang sedang dirundung malang itu... Bagaimana tak hancur hatinya hari ini mendapati adiknya yang tewas dikamar hotel, sesaat setelah acara pengkebumian Pamannya.
“Ayo kita pulang, nak”
“Iya, Ma..” Kuikuti langkah mama menuju parkiran... Kubalikkan tubuhku memandangi tanah yang masih basah itu.
“Makasih Om, ternyata kau benar-benar membuktikan cintamu untukku.” Ujarku lirih.
Kuusap air mataku dengan sapu tangan peninggalannya. Hatiku perih. Hari ini aku telah kehilangan cinta pertamaku. Cinta pertamaku telah mati...
Ah... hujan semoga kau menghapuskan kesedihan hatiku ini...
*****
Selanjutnya :
Wild - Rahasia Aeva - (#2. Ilusi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H