“Aku adalah diriku....dan Aku tidak akan pernah berhenti menantangmu Dunia!!”
Langit malam itu penuh kemintang, di barat laut Rembulan hampir tenggelam, hari pertama dibulann April ketika Cukla amannusa menuliskan kalimat itu dibuku catatanya pikiranya melompat jauh kemasa belasan tahun lalu dimana hampir seluruh hidupnya di dominasi oleh ketatnya aturan keluarga.......Ia Cuma seorang anak keciL, pukul setengah 3 sore hari ia sudah harus mandi, mengenakan baju koko warna krem brplisir kuning gading dengan clana kuning tua, mengenakan peci hitam turun-temurun yang entah sudah berapa generasi....untuk kemudian segera berangkat mengaji di TPQ tunas melati. Itu adalah waktu dimana ia baru saja bangun dari tidur siang wajib sepanjang masa-masa itu...semuanya serba teratur, kapan harus tidur, berangkat sekolah, makan bahkan sampai model sempongan rambutnya....tidak boleh main ini, ga boleh itu, harus pulang jam segini....Muak! terkadang sebagai anak yang hiper aktif ia merasa muak! Pada segala bentuk pembatasan gerak seperti itu.
Seringkali Ia iri pada anak-anak lain sebayanya yang bebas mengekspresikan dirinya untuk bermain apa saja, dimana saja...perasaan itu membuatnya memberontak...ia mulai mencuri waktu, melakukan apa saja yang ia suka tanpa peduli, bercanda dengan angin, menghirup aroma padi dan lumpur sawah, belajar pada burung-burung, berenang dikali-kali berbatu..kemewahan alami anugerah Tuhan yang berat untuk ia lewatkan...kemudian pulang kerumah menjelang magrib dengan badan belepotan, kadang basah kuyup, kulit bersisik, rambut dan mata sama merahnya, bau matahari dan perasaan takut..., takut untuk masuk pintu rumah, melewati ayahnya yang pasti sudah berdiri dimuka pintu dengan mata nyalang dan tarikan muka berang.
Cukla amannusa kecil sedikit gentar,..Tapi dengan sejuta keberanian yang dipaksakan ia tetap melangkah masuk sambil menundukan wajah, sekedar untuk menghindari sorot mata ayahnya yang dalam seperti menembus jiwa. Ia tau ia salah, seperti yang sudah-sudah..kemudian tanpa komando Ia berjalan gundah menuju kamarnya, berhenti dipinggir ranjang tidurnya, membuka celananya kemudian nungging untuk menikmati cambukan rotan sebesar jari kelingking sepanjang satu meter yang ujungnya terbelah dua sampai bertubi-tubi, cetarrr! cetarRR!!..sudah biasa, sampai hafal harus bagaimana prosedurnya, setiap kali ia melakukan kesalahan hukumanya ya begitu. Ini adalah masa-masa paling dramatis yang membuatnya semakin keras kepala...ia tak mampu menahan rasa sakit di punggung hingga pantatnya saat itu tanpa menangis..tapi hatinya selalu merasa menang...menang telah melakukan apa saja yang ia suka, beraudensi dengan langit dan bumi, bercengkrama dengan alam... Beberapa saat kemudian setelah sabetan demi sabetan kian pedas sang ibu datang membelanya...dan Ia merasa lebih menang. Saat itu Ibunya adalah seorang dewi penyelamat, jelmaan malaikat yang kebijakan ultimatumnya melebihi Grasi dari seorang presiden untuk narapidana....”dan aku bebaaaaas!!” teriak hatinya. Ibunya menunntun cukla amannusa ke sumur, mengguyur tubuh kedcilnya dengan bergalon-galon air, membiarkanya mandi sambill sesenggukan...sementara mulutnya terus mengomel tentang aturan dan pasal-pasal larangan yang membuatnya sampai dalam keadaan divonis bersalah dan hukuman seperti itu.
Beberapa saat kemudian dengan segala kelembutan sang ibu menghidanginya sepiring nasi melihatnya makan dengan lahap, menyuruhnya sembahyang magrib... lalu cukla amannusa diantarnya berbaring tengkurap di kamar sementara sang ibu mengolesi punggungnya yang biru lebam bekas cambukan demi cambukan dengan minyak telon. Celoteh tentang segala aturan dan larangan belum juga selesai..tapi cukla amannusa sudah tidak mendengarnya lagi, atau mungkin malas mendengarnya, toh semua rangkaian kejadian diatas selalu berulang sedikitnya 3 kali seminggu, pidato ibunya toh masih tetap sama.......ia tertidur, tertidur dengan tetap tersenyum bahagia.....
Itu sudah bertahun-tahun yang lalu,..sekarang ia masih tetap seorang pemberontak, senyum kemenangannya tidak pernah berubah..terkesan merendahkan dan angkuh. Sejauh ini Ia tidak pernah menyesalinya...Bahkan ia semakin yakin bahwa orang tuanya bertindak benar, karakter seperti dirinya cenderung liar dan labil bila tidak dikendalikan...ia hanya tak pernah suka dikalahkan oleh apapun,rasa ingin tahu, kehidupan dan segala isinya. Ia hanya ingin menjadi apa saja yang ia inginkan, menjalani dengan caranya, dengan sedikit keangkuhan..harga diri dan prinsip.
Langit masih berbintang, sementara Rembulan sudah tenggelam...Cukla Amannusa kembali menulis di buku cataannya, “Aku lelaki hebaT..menjalani hidup dengan caraku, dan menang dengan caraku!” Ia yakin dengan dirinya, sangat yakin, baginya tidak ada kekuatan paling besar didunia ini setelah Gusti Alloh selain keyakinannya sendiri, lalu perlahan Ia menutup buku catatanya, menatap langit malam sejenak sembari tersenyum...... Menerbitkan matahari di hatinya.
PokycaY, Purwokerto Dini Hari 25 Agustus 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H