Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di negara ini sudah seperti makanan sehari-hari untuk dikonsumsi oleh publik. Dikutip dari laman Kemdikbud.go.id, kekerasan seksual merupakan perbuatan yang bisa merendahkan, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh yang merupakan bagian reproduksi seseorang yang disebabkan oleh adanya ketimpangan gender dan dapat mengakibatkan sang korban mengalami hilang kesempatan dalam hidup atau mengampu pendidikan dengan aman dan optimal. Berdasarkan jenisnya, kekerasan seksual dibedakan menjadi empat jenis, yaitu dapat melalui verbal, non-fisik, fisik, hingga melalui teknologi.
Kekerasan seksual dapat dialami oleh siapa saja, namun seringkali korban yang dijumpai adalah seorang perempuan. Perempuan yang notabennya dianggap sebagai makhluk tuhan yang mempunyai kehormatan nan kesucian malah menjadi bumerang bagi mereka. Perempuan yang mengalami kekerasan seksual kemudian dipandang sebagai aib ketika kehormatan dan kesucian mereka dinodai. Namun seringpula masyarakat justru menyalahkan korban atas kekerasan seksual. Hal tersebut menjadi pemicu mengapa perempuan yang merupakan korban cenderung bungkam dibandingkan mereka harus mengambil tindakan untuk melapor.
Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Â dilihat dari data yang telah diinput per 1 Januari 2022 hingga sekarang total sebanyak 24.157 korban kekerasan seksual, 20.574 korban diantaranya merupakan perempuan. Bentuk kejahatan ini tidak memandang tempat untuk mengeksekusi korban, dimana saja bisa terjadi tidak terkecuali di ruang lingkup pendidikan. TK, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Jenjang pendidikan yang menjadi juara dalam maraknya kasus ini dipegang oleh perguruan tinggi dengan mengantongi kasus kekerasan seksual terbanyak antara tahun 2015 hingga 2021. Sehingga makin sempit pula ruang yang aman bagi perempuan untuk terhindar dari kekerasan seksual.Â
Kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi yang dialami oleh sejumlah mahasiswi puncaknya terjadi pada tahun 2021 lalu. Kasus tersebut terus bermunculan seiring dengan banyaknya korban yang mulai berani untuk melapor. Berikut beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi yang sempat menggegerkan media:
1. Universitas Riau
Kasus yang terjadi di salah satu universitas ternama di Indonesia ini terjadi tepatnya pada awal November 2021 lalu. Hal itu bermula saat ada mahasiswi yang melapor adanya bentuk kekerasan seksual berupa pelecehan saat bimbingan skripsi. Pelaku yang merupakan dosen dan dekan itu dengan nafsu hewaninya ingin mencium pipi dan kening sang korban. Bahkan sempat untuk mencium bibir korban, namun korban melawan. Namun sayang sekali tersangka divonis bebas. Hingga kini dosen, dekan, sekaligus tersangka tersebut hanya mendapatkan sanksi administratif, yaitu diberhentikan untuk mengajar.
2. Universitas Sriwijaya
Kasus yang terjadi di Universitas Sriwijaya bermula adanya laporan oleh salah satu mahasiswi melalui laman instagram unsrifess. Tersangka berinisial R yang merupakan seorang dosen di universitas tersebut diduga melecehkan korban-korbannya melalui via chat (daring). Diduga sudah ada setidaknya lima mahasiswi korban pelecehan oleh dosen tersebut, yakni berinisial C, F, D, D, dan R. Dosen R yang merupakan seorang pelaku dijatuhi hukuman delapan tahun kurungan penjara dan denda sebanyak Rp 500 juta.
3. Universitas Negeri Jakarta
Seorang berinisial DA yang juga merupakan salah satu  seorang dosen di Universitas Negeri Jakarta diduga telah melakukan bentuk pelecehan seksual terhadap beberapa mahasiswinya sendiri dengan mengirimkan chat bernada merayu atau disebut dengan sexting. Pelaku biasanya menjadikan korban yang hendak meminta bimbingan kepadanya. Bahkan tak sungkan dosen mesum tersebut mengajak korban untuk menikah dengannya.
Menurut pandangan Foucault (dalam Gordon, 2018), penyebab terjadinya kekerasan seksual dapat dikarenakan oleh beberapa variabel penting, seperti kekuasaan, konstruksi sosial, dan ketimpangan gender. Jika ketiga variabel penting tersebut menjadi satu, maka dapat menimbulkan suatu kemungkinan kasus kekerasan seksual dapat terjadi. Jika salah satu dari ketiga variabel tersebut ada yang tidak terpenuhi, maka kekerasan seksual pun tidak akan terjadi. Maka dari itu, berikut ini merupakan penyebab yang dapat memicu terjadinya kekerasan seksual di perguruan tinggi, antara lain: budaya patriarki yang masih menjamur, terdapat ketimpangan relasi kuasa antara sang pelaku dan korban, mahasiswa masih kurang serius menghadapi konsep kekerasan seksual.
Jika penyebab terjadinya dari kasus kekerasan seksual dianalisis dengan menggunakan kacamata antropologi melalui teori konvergensi. Teori konvergensi mengatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan manusia dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu bakat atau pembawaan dari lingkungan dan sekolah. Teori ini mengakui bahwa manusia sejak lahir telah mempunyai bakat atau potensi-potensi dasar yang dapat dikembangkan. Kemudian bakat-bakat tersebut berkembang bergantung pada dimana lingkungan masyarakat dan sekolah individu tersebut berada. Sebagai makhluk sosial, proses perkembangan suatu individu dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, entah itu faktor yang berasal dari luar individu maupun dari dalam individu.
Dengan begitu, dapat dikatakan seorang pelaku dari tindak kekerasan seksual dapat dipengaruhi dimana lingkungan mereka berada yang kemudian menimbulkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang tak jarang dapat membahayakan orang lain pula. Budaya patriarki yang masih menjamur di negara kita masih memegang kendali yang kuat menjadi salah satu penyebab perempuan seringkali menjadi santapan empuk bagi pelaku-pelaku kekerasan seksual. Melekatnya budaya patriarki di kalangan masyarakat indonesia secara tak langsung telah melahirkan stereotip tertentu terhadap perempuan. Adanya budaya patriarki menempatkan adanya ketimpangan kuasa antara perempuan dan laki-laki yang tidak setara dalam tatanan masyarakat. Mahasiswi yang sebagai seorang perempuan sekaligus sedang mengampu pendidikan di perguruan tinggi tidak mendapatkan tempat yang aman bagi mereka. Sehingga sudah menjadi seharusnya kita mendampingi korban hingga terbukti sebaliknya.
Daftar Pustaka
Â
Gordon, Harriet. (2018). A Foucauldian-Feminist Understanding of Patterns of Sexual Violence in Conflict. The Philosophical Journal of Conflict and Violence. DOI: 10.22618/TP.PJCV.20182.1.171002.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H