Mohon tunggu...
Amanda SalmaFaiqa
Amanda SalmaFaiqa Mohon Tunggu... Jurnalis - Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

seorang mahasiswa jurnalistik semester 2

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tujuan Memahami Retorika Dakwah

2 Juli 2024   08:09 Diperbarui: 2 Juli 2024   08:13 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh: Syamsul Yakin dan Amanda Salma Faiqa

Dosen dan mahasiswa Retorika UIN Syarif  Hidayatullah Jakarta

Tujuan dakwah termaktub dalam makna ayat berikut ini, "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung" (QS. Ali Imran/3: 104).

Begiti juga, "Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, karena kalian menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka.Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik" (QS. Ali Imran/3: 110).

Teknik untuk mencapai tujuan dakwah itu, Nabi mengajari, "Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman" (HR. Muslim).

Dalam retorika, dari sisi isi pesan yang disampaikan ada tiga tujuan retorika, yakni informatif, persuasif, dan rekreatif. Dari sisi ini bisa ditambahkan lagi, yakni edukatif dan advokatif. Kelima ujuan retorika ini berkaitan dengan tujuan dakwah. Maksudnya amar makruf dan nahi mungkar itu bersifat informati, persuasif, rekreatif, edukatif, dan advokatif.

Dari sisi cara menyampaikan pesan, tujuan retorika minimal ada dua, yakni monologika dan dialogika. Monologika adalah gaya bicara monolog atau searah. Umumnya disampaikan saat pidato, ceramah, dan khutbah. Dialogika adalah gaya bicara dialogis atau dua arah.

Dalam dakwah Nabi, banyak riwayat yang memuat dakwah dialogis ini. Pertama, dalam kitab Fathush Shamad mengutip satu hadits Nabi yang bersumber dari Ibnu Umar. Ibnu Umar bercerita, "Dalam satu perjalanan, kami bersama Rasulullah. Sekonyong-konyong seorang Arab pedalaman mendekat. 

Nabi meresponsnya dengan bertanya, "Wahai kisanak, kamu hendak kemana?" Orang itu menjawab, "Hendak pulang ke keluargaku". "Apakah kisanak menginginkan kebaikan?", seloroh Nabi. Orang itu menjawab, "Apakah itu?"

Nabi menjelaskan, "Kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan (kamu bersaksi) bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya". Namun orang itu malah berkata, "Siapa saja yang akan bersaksi kepadamu untuk (membenarkan) ucapan tersebut?" Secara tangkas Nabi menjawab pertanyaan orang Arab pedalaman itu, "Pohon ini atau buah ini". 

Pohon tersebut berada di tepi jurang. Karena bumi mendekatkannya, seketika pohon tersebut ada di hadapan Nabi untuk menghadap beliau. Setelah itu, Nabi bersyahadat tiga kali. Pohon itupun bersyahadat seperti halnya Nabi. Kemudian pohon itu meninggalkan Nabi untuk kembali ke tempat asalnya".

Kedua, dalam kitab al-Mawaidz al-Ushfuriyah, Syaikh Muhammad bin Abi Bakar menuliskan keislaman Abu Bakar yang diawali dari mimpi. Ketika berada di Syam (kini Syiria), dia bermimpi melihat matahari dan bulan di dalam kamarnya. 

Lalu matahari dan bulan itu direngkuh dengan kedua tangannya. Dia mendekap keduaya erat-erat. Tak hanya itu, dengan surbannya, matahari dan bulan diikat agar tidak pergi. Tatkala Abu Bakar terbangun, dia buru-buru pergi untuk mendatangai seorang pendeta Nasrani yang masih beriman dengan agama tauhid untuk bertanya ihwal mimpinya.

Di hadapan sang pendeta, Abu Bakar menceritakan secara lengkap mimpi yang dialaminya. Kemudian Abu Bakar memintanya untuk memberikan tafsir mimpi tersebut. Abu Bakar ditanya, "Kamu dari mana?" Abu Bakar menjawab, "Mekah". Pendeta itu bertanya lagi, "Dari suku apa?" Abu Bakar menjawab, "Dari suku Taymin". 

Tak hanya itu, sang pendeta kembali bertanya kepada Abu Bakar, "Apa pekerjaanmu?". Abu Bakar menyahut, "Berdagang". Usai melancarkan sekian pertanyaan, pendeta itu berujar, "Pada masamu ini akan datang seorang seorang laki-laki keturunan Bani Hasyim yang bernama Muhammad al-Amin. Ia bermarga Hasyim dan akan menjadi nabi akhir zaman".

"Kalau tidak ada beliau, niscaya Allah tidak akan menciptakan langit dan bumi. Termasuk apa saja yang ada pada keduanya. Tanpanya, Allah juga tidak akan pernah menciptakan Nabi Adam, para nabi dan rasul. Muhammad itu pemimpin para nabi dan rasul. Ia adalah nabi terakhir. Kamu akan masuk agama Islam yang dibawanya".

"Kelak kamu akan menjadi orang kepercayaannya sekaligus bakal menjadi pengganti kepemimpinannya. Inilah makna mimpimu itu", pungkas sang pendeta. "Aku mendapatkan informasi ihwa ciri-ciri dan sifat-sifat Muhammad di dalam kitab Taurat, Injil, dan Zabur. Sungguh, aku sendiri sudah mengikuti agamanya.Hanya saja aku menyembunyikannya".

Usai mendengar penjelasan sang pendeta tentang sifat-sifat Nabi, Abu Bakar luluh hatinya dan merasa rindu untuk bertemu dengan Nabi di Mekah. Sesampainya di Mekah, Abu Bakar tak membuang waktu, ia langsung mencari Nabi dan ia berhasil bertemu. Sejak pertemuan itu, Abu Bakar jadi kian cinta kepada Nabi dan tidak pernah ingin berpisah.

Kondisi hati Abu Bakar seperti itu berlangsung cukup lama, hingga suatu hari Nabi bertanya kepada Abu Bakar, "Wahai Abu Bakar setiap hari kamu mengunjungiku. Seringkali juga kamu duduk bersamaku. Namun mengapa kamu tidak masuk Islam?" Abu Bakar menjawab, "Jika kamu benar seorang nabi, tentu kamu memiliki suatu mukjizat".

"Apakah belum cukup untukmu mukjizat yang kamu alami dalam mimpimu ketika kamu berada di Syam.

Kemudian mimpimu itu ditafsirkan oleh seorang pendeta Nasrani yang juga sudah menyatakan keislamannya"?, desak Nabi. Lalu seusai mendengar sabda Nabi itu, Abu Bakar berikrar, "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan kamu adalah utusan Allah".

Ketiga, masih dalam kitab al-Mawaidz al-Usfuriyah, Syaikh Muhammad bin Abi Bakar mengutip sebuah hadits Nabi yang bersumber dari Abu Dzar al-Ghifari. Abu Dzar bertanya, "Ya Rasulullah ajarkan aku satu perbuatan yang mendekatkan aku ke surga dan menjauhkan aku dari neraka".

Nabi menjawab, "Jika kamu melakukan kejelekan, maka ikutilah dengan kebaikan". Abu Dzar bertanya lagi, "Apakah termasuk kebaikan kalimat "Laa Ilaaha Illaahu itu"? Lalu Nabi menjawab, "Benar, bahkan kalimat itu adalah yang terbaik di antara yang baik".

Keempat, bersumber dari Abu Hurairah, dia mengaku mendengar Nabi bersabda, "Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga". Para sahabat bertanya, "Engkau juga tidak wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah" (HR. Bukhari).

Dari sisi pedagogik, diperkenalkan empat tujuan retorika, yakni korektif, instruktif, sugestif, dan defensif. Keempatnya bisa digunakan untuk mencpai tujuan dakwah di atas.

Kalau disimpulkan tujuan retorika dapat dibagi ke dalam tiga sisi, yakni berdasar isi, cara, dan pedagogik. Semuanya dipandang mampu menghantarkan pada tujuan dakwah, yakni amar makruf dan nahi mungkar.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun