Dalam rutinitas keseharian di sekolah sejatinya tidak terlalu muncul perbedaan yang signifikan. Mulai dari pelaksanaan tugas pokok belajar dan mengajar hingga tanggung jawab dalam melaksanakan tugas-tugas tambahan yang diembankan, semuanya hampir tidak mengandung perbedaan yang mencolok.
Meskipun demikian, yang bersertifikasi jelas diperlakukan agak 'lain' atau diprioritaskan terutama dalam hal administrasi, demi ter-lestarinya predikat sertifikasi dan juga yang tak kalah penting darinya adalah demi kelancaran upah tambahan yang didapat dari predikat tersebut.Â
Situasi DilematisÂ
Satu kebiasaan yang kerap mewarnai pandangan umum dari semua orang terkait sertifikasi adalah terkait nilai gocek rupiah yang didapat setiap bulannya. Upah yang diterima tersebut diperoleh di luar dari gaji pokok.
Sehingga hampir tidak keliru bahwa penilaian umum terkait 'harga diri' dari seorang guru selain berstatus pegawai negeri juga yang bersertifikasi. Penilaian ini tentu diukur dari sejumlah gocekan rupiah yang diperoleh jauh lebih tinggi dari guru lainnya yang berstatus 'honorer'.
Kenyataan ini semacam menciptakan sebuah hegemoni terselubung di dalam sebuah lembaga yang sejatinya syarat dengan prinsip egaliter.
Keadaan ini tentu semakin membenarkan apa yang dinyatakan oleh Rocky Gerung dalam sebuah ceramahnya yakni;
"Guru merupakan sebuah profesi yang sangat mulia, akan tetapi direndahkan oleh statusnya sebagai Honorer".
Akibatnya, dari sisi guru yang bersertifikasi, keadaan ini tentunya diterima sebagai sebuah pencapaian serentak menimbulkan beban baik secara sosial seperti relasi yang kaku terutama di lingkungan sekolah juga secara batin akibat dari 'manipulasi' administrasi yang kerap terjadi.
Sedangkan dari sisi guru non sertifikasi, kenyataan ini justru menimbulkan 'kecemburuan' profesi juga kepasrahan yang teguh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H