Berbicara tentang guru apalagi untuk konteks Indonesia ini selalu saja menjadi topik yang sangat renyah untuk diperbincangkan bahkan kerap menjadi headline dalam setiap liputan media.
Entah itu yang bernarasi positif adanya semisal menyangkut kenaikan upah ataupun yang berbau negatif semisal upah yang rendah, semuanya semacam menjadi 'lauk' renyah bagi pencitraan media-media yang ada.
Hal ini tentu patut untuk diapresiasi sekaligus memunculkan rasa prihatin yang mendalam, tidak hanya dari pihak pemerintah, masyarakat juga bagi para guru itu sendiri.Â
Bagi pemerintah misalnya, ketika berhadapan dengan situasi ini, coba berkontemplasi dan bertanya 'ada apa dengan guru di republik ini?', atau bagi guru itu sendiri melalui sikap reflektif seperti ' apa yang salah dengan profesi saya sebagai guru?' ataupun sejenis pertanyaan-pertanyaan reflektif lainnya.
Sebagaimana yang hendak saya bagikan kali ini adalah realitas kedilemaan (kesangsian )yang dialami oleh hampir semua guru yang ada khususnya mengenai guru dengan predikat bersertifikasi.
Secara esensi, julukan bersertifikasi pada guru merupakan sebuah pemberian khusus bagi guru yang telah memenuhi syarat dan standar keprofesionalan dalam kegiatan belajar dan mengajar di sekolah.
Untuk mencapai level keprofesionalan tersebut sejatinya harus melalui berbagai macam kualifikasi ketat.Â
Sehingga, bukan tidak mungkin outputnya banyak yang gagal dan sedikit yang berhasil.Â
Mereka yang berhasil tentunya diliputi juga dengan beranekaragam tuntutan yang harus dituntaskan dalam pengabdian dan juga diimbangi dengan hak berupa tambahan penghasilan.
Di sekolah yang saya abdi saat ini memiliki beberapa orang guru dengan predikat bersertifikasi. Sedangkan yang lainnya masih berstatus honorer.