Kenyataan inilah justru berbenturan dengan situasi sosial masyarakat di kampung. Memasuki bulan Juni hingga September, masyarakat mulai sibuk dengan berbagai jenis hajatan adat.Â
Mulai dari adat perkawinan berupa tukar menukar belis, adat Wuat Wa'i sebagai hajatan khusus untuk meringankan studi ke perguruan tinggi, syukur panen, hajatan duka berupa kenduri dan perhentian jiwa dan lain sebagainya.
Kenyataan ini memang telah diwariskan sejak dahulu kala tanpa adanya perubahan.
Sehingga hampir sebagian besar keluarga yang ada telah membuat agenda khusus untuk melangsungkan salah satu hajatan yang ada dan tentunya juga membutuhkan partisipasi dari semua warga sekampung tanpa terkecuali. Semuanya dibawah tata aturan atau hukum adat yang mengikat.
Dengan demikian, semua aktivitas pertanian jadi terhambat khususnya dalam hal ini adalah petani cengkeh. Sehingga banyak pohon cengkeh yang batal dipetik dan mubazir.
Kedua, susahnya mendapatkan tenaga petik. Sebagaimana yang kita ketahui, cengkeh merupakan salah satu jenis komoditi berjenis pohon dengan ketinggian hampir belasan meter atau mencungkil langit. Memang demikianlah kenyataannya, semua petani cengkeh memiliki pohon cengkeh yang sangat menjulang, sehingga menuai resiko yang sangat tinggi dalam proses pemetikannya.
Salah satu kesulitan dalam hal ini adalah mendapatkan tenaga (orang) yang membantu petik. Sebab, hampir semua petani sekarang memiliki kebun cengkeh masing-masing. Syukur-syukur beberapa petani yang ada terpaksa mendatangkan tenaga dari luar jauh (luar daerah) tentu dengan pertimbangan upah yang lumayan besar juga.
Sehingga untuk sementara, para petani masih mengandalkan tenaga individual masing-masing dan tentunya sangat tidak efektif.Â
Itulah dua kenyataan yang justru membatalkan status miliarder dari para petani cengkeh di kampung.