Dalam beberapa dekade terakhir perhatian penuh dari pemerintah ataupun dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat sangat menggeliat di masyarakat. Misi utama yang mereka wartakan adalah membawa masyarakat kepada hal-hal baru atau yang inovatif demi mengangkat paradigma masyarakat dari yang tradisional ke yang modern atau yang lebih progresif sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
Berbagai pelatihan, seminar dan diskusi dihadirkan dengan menghadirkan semua tokoh masyarakat. Mulai dari pemerintah desa, agama, pendidikan, gender (perempuan) dan warga biasa lainnya.
Sebut saja yang sedang berlangsung sampai dengan sekarang adalah, pelatihan tentang desa wisata, UMKM dalam bidang pertanian dalam hal ini khusus untuk petani cabe dan vanili.
Yang menjadi pelopor utama dari setiap kegiatan tersebut adalah pemerintah, sebut saja dari dinas pariwisata terkait dengan desa wisata, Dinas pertanian terkait dengan budidaya cabe atau lombok, dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam hal ini Yayasan Dharma Bhakti Astra -- Indonesia.
Sampai dengan saat ini beberapa kegiatan telah seara massif dilakukan bersama dengan masyarakat setempat. Tentu dengan komitmen yang tinggi, mereka mendambakan perubahan dan kemajuan secara perlahan-lahan membumi di tengah masyarakat.
Tentu apa yang menjadi tujuan utama dari misi tersebut tak semudah yang dibayangkan. Yang paling pertama yang harus dituntaskan terlebih dahulu adalah ketertarikan masyarakat untuk menyambut perubahan yang dimaksud kemudian partisipasi mereka dalam mendukung semua program yang digelontorkan. Dalam hal ini prinsip tawar menawar berlaku, namun porsinya hanya di awal-awal saja.
Sebagai pemantik perhatian, di setiap sela-sela kegiatan entah itu berupa seminar atau pelatihan pembuatan pupuk dan lain sebagainya selalu dilengkapi dengan fee 'uang duduk', nasi bungkus dan beberapa mamiri lainnya.
Hal ini pun sontak meluapkan animo masyarakat untuk mengikuti keseluruhan rangkaian kegiatan. Mereka tampak sabarMulai dari awal sampai selesai
Ruangan pun jadi sesak dipenuhi oleh lautan warga kampung yang ada. Mereka rela jeda sejenak dengan aktivitas masing-masing demi mengikuti seminar atau kegiatan lainnya. Mulai dari materi tentang mentalitas hingga materi tentang agribisnis diikuti secara alot oleh semua peserta.
Kira-kira beberapa bulan berselang, setelah sekian materi seminar atau istilah kerennya workshop berlalu, terlihat jumlah anggota yang hadir untuk mengikuti kegiatan serupa tampak mengerucut bahkan hanya bisa dihitung dengan jari.
Kira-kira kemana mereka yang lainnya? Atau mungkin ada kesibukan lain yang tidak bisa ditunda?
Padahal mentor yang hadir saat itu adalah dari Jakarta dengan kapasitas yang mumpuni bahkan sekelas profesor.
Setelah dicari-cari alasan dari balik ketidakhadiran mereka adalah ihwal kegiatan hari itu tidak dilengkapi dengan nasi bungkus dan juga uang duduk.
Aneh bin ajaib tapi begitulah kenyataannya, misi perubahan ternyata bisa dibatalkan hanya oleh ketiadaan nasi bungkus dan juga uang duduk.
Ataupun sebaliknya, jangan terlalu banyak basa-basi lewat seminar atau pelatihan apapun itu, sebab yang dibutuhkan adalah makan dan makan. Kenapa harus berbelit-belit
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H