Menyikapi kondisi ini semua penduduk kampung tampak panik satu sama lain terutama para orang tua dari anak-anak yang sudah terserang. Hampir sepanjang hari anak-anak mereka menangis dan tidak bisa bermain, karena semua permukaan kaki dan tangan penuh dengan bintik-bintik bernanah.
Model penyembuhannya pun bermacam-macam, dan yang paling banyak dilakukan itu adalah pengobatan tradisional.Â
Ketika semua ramuan tradisional gagal baru ke Puskesmas sebagai alternatif.
Begitulah realitas warga kampung ketika dihadapkan pada sebuah sakit atau penyakit, rumah sakit masih dipandang sebagai alternatif, setelah pengobatan tradisional.
Ada banyak sumber ramuan yang diracik yakni dari semua jenis dedaunan hingga rempah-rempah seperti kunyit, bawang merah dan bawang putih dan masih banyak jenis lainnya yang dipercaya sangat manjur.Â
Alhasil ada yang berhasil dan ada pula yang tidak berdampak sama sekali bahkan bertambah parah.
Tidak hanya berhenti pada pengobatan fisik saja tetapi juga secara ritus adat seperti melalui ritus teing hang (persembahan) kepada Tuhan melalui leluhur dengan intensi utamanya adalah memohon penyembuhan.
Sampai dengan saat ini, penyakit Scabies ini terus saja meresahkan masyarakat kampung.
Bahkan semenjak menjadi 'viral', banyak warga dari daerah lain muncul dan menjelma menjadi pedagang obat-obatan keliling. Sambil beriklan yang terkadang terlalu lebay, mereka berhasil mendulang rupiah dari keluarga pasien Scabies di kampung.
Sedangkan sebagai alternatif ke Puskesmas terdekat, tetap hasilnya serupa, belum ada obat yang benar-benar manjur. Biasanya yang didapatkan itu berupa salep dan seabrek pil lainnya yang terkadang hanya manjur sesaat lalu muncul kembali.
Di tengah situasi yang kalang kabut ini, warga hanya berpasrah, dan menantikan keajaiban sampai penyakit tersebut benar-benar hilang dengan sendirinya.
Miris sekali.