Kampanye tentang pertanian organik semakin gencar dilakukan akhir-akhir ini. Hal ini dilakukan seiring sulitnya akses petani untuk mendapatkan pupuk kimia sekalipun yang berkelas subsidi.
Kondisi ini tidak hanya sekali atau baru saja terjadi, melainkan berkali-kali bahkan ber musim-musim khususnya dikala musim menanam tiba. Khusus dalam hal ini adalah bagi petani sawah.
Menangkal situasi ini, maka secara khusus pihak Gereja sejak beberapa dekade yang lalu telah mengkampanyekan kepada masyarakat (umat) terkait pengalihan akan penggunaan pupuk yaitu dari yang kimia (pupuk pabrikan) dan kembali ke alam atau organik.
Akan tetapi, untuk menerapkan sesuatu yang baru tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Ia membutuhkan perjuangan yang panjang, proses demi proses hingga sebuah kesadaran baru khususnya tentang pentingnya pertanian organik agar benar-benar tumbuh dan mengakar dalam diri semua petani.
Untuk mewujudkan pengalihan tersebut maka Gereja tak henti-hentinya untuk mengubah paradigma umat (masyarakat) melalui jargon "Kembali ke Alam".Â
Jargon tersebut demikian kuat diperbincangkan dalam setiap agenda pertemuan tokoh-tokoh Gereja dan di setiap pelayanan karitatif Gereja di tengah umat/masyarakat, seperti lewat khotbah, katakese, seminar dan lain sebagainya.
Sebagaimana yang telah dan masih dicanangkan sejak awal tahun 2023 yang lalu bertemakan "Tahun Pastoral Ekonomi Berkelanjutan: Sejahtera, Adil dan Ekologis (Ekonomi SAE)".Â
Tema ini diusung sebagai wujud dari perhatian dan keberpihakan Gereja Lokal terhadap situasi dan kondisi umat setempat khususnya dari segi ekonomi.
Gereja hadir secara partisipatif serta mengumat. Artinya bersama umat (petani) untuk bangkit bersama demi tercapainya perekonomian yang berkelanjutan.