Mohon tunggu...
Konstantinus Aman
Konstantinus Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengkaji Fenomena Penculikan Anak dari Sisi Orangtua dan Pelaku

28 Desember 2023   22:34 Diperbarui: 30 Desember 2023   07:36 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Penculikan Anak (Sumber: Shutterstock via KOMPAS.com)

Mengulik topik tentang peristiwa penculikan anak yang semakin marak terjadi saat ini, saya memulainya dengan menyitir kembali sajak dari seorang penyair termasyhur asal Lebanon yakni Kahlil Gibran. 

Dalam bukunya The Prophet (1926), Gibran secara khusus menguraikan sajaknya tentang anak. Kurang lebih demikian: 

"Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah putra dan putri kehidupan yang mendambakan dirinya sendiri. Mereka datang melalui anda tetapi bukan dari anda, dan walaupun mereka besertamu, mereka tidak menjadi milikmu. dst-nya..." (Dikutip dari artikel K. Bertens dalam bukunya Sketsa-Sketsa Moral, 2004).

Tersirat sebagaimana yang ditafsir oleh K. Bertens sendiri dari sajak di atas ialah bagaimana kewajiban orang tua untuk mengakui otonomi anaknya sendiri.

Memiliki anak adalah hak asasi dari semua pasangan yang mengikrarkan diri melalui perkawinan. 

Anak tidak hanya sebagai penerus keturunan melainkan sebagai buah terdalam dari ungkapan cinta antara suami dan istri.

Dengan demikian, konsekuensinya ialah, orang tua mesti mengilhami sebuah kesadaran yang utuh yaitu, kehadiran seorang anak di tengah keluarga patut disyukuri sembari menyadari eksistensi anak sebagai seorang pribadi yang bermartabat dan otonom. 

Otonom berarti pribadi yang bermandiri seraya mampu mempertanggungjawabkan hidup secara utuh tanpa bergantung pada yang lainnya (termasuk terhadap orang tua dari anak itu sendiri)

Lalu bagaimana praktisnya sikap orang tua terhadap anak mereka sendiri?

Lagi-lagi, mengutip ungkapan dari seorang filsuf Jerman abad 19 yakni Hegel mengungkapkan bahwa:

Dalam diri anak, orang tua mengakui dirinya sendiri.

Dunia kehidupan anak-anak sejatinya lebih dikenal sebagai dunia bermain. Bermain dalam artian yang sesungguhnya ialah bekerja seturut kemampuan dan perkembangan akal budi yang dimiliki dalam diri anak-anak saat itu.

Dengan bermain, anak-anak menampilkan eksistensi mereka sebagai manusia yang memiliki akal budi. Juga untuk mengasah atau menstimulasi kemampuan mereka tidak hanya dari segi kognitif semata melainkan juga emosi dan sosial.

Apa yang diungkapkan oleh Hegel tersebut di atas sangatlah penting untuk refleksikan oleh para orang tua khususnya dalam tugas dan tanggung jawab membesarkan anak.

Terpanggil sebagai orang tua bagi anak-anak secara tidak langsung justru menciptakan sebuah kondisi yang sangat paradoksal untuk dihayati. 

Orang tua tidak hanya 'egois' dengan hidupnya sendiri melainkan juga rela berkorban demi kelangsungan hidup bagi anak-anak yang nota bene seorang manusia yang lain sekalipun secara biologis berasal dari darah daging suami dan istri itu sendiri.

Artinya, separuh dari perjalanan hidup dari orang tua telah 'tersandera' oleh anak-anak mereka sendiri. Separuh dari kebebasan hidup rela 'dicaplok' oleh kebutuhan hidup anak-anak hingga mereka nantinya mampu hidup mandiri atau otonom.

Lalu bagaimana kaitannya dengan penculikan anak?

Kembali ke topik awal ulasan bahwa penculikan anak merupakan sebuah peristiwa buruk yang patut dicegah atau dihindari oleh para orang tua.

1. Dari Sisi Pelaku

Motif utama dari adanya perilaku tersebut macam-macam, dan salah satu diantaranya adalah dari segi ekonomi, khususnya dari sisi pelaku atau penculik itu sendiri. 

Misalnya anak-anak yang berusia mulai dari balita hingga yang berusia Sekolah Dasar, setelah diculik lalu mempekerjakan mereka untuk menjadi tukang minta-minta di jalan, dijual ke pihak lain, untuk mengambil organ-organ tubuh lalu menjualnya dan sebagainya.

Jika akar persoalan khususnya dari sisi penculik atau pelaku penculikan itu sendiri terbongkar secara sistematis, maka selanjutnya adalah bagaimana pemerintah selaku promotor kesejahteraan sosial sesegera mungkin menuntaskannya. 

Seperti menangkap pelaku lalu mencari solusi yang tepat terhadap pelaku dengan memberikan lapangan pekerjaan yang halal dan layak.

Kebingungan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak serta meningkatnya tuntutan hidup khususnya di wilayah perkotaan memungkinkan setiap orang untuk menghalalkan segala pekerjaan yang ada termasuk menculik dan menjual sesama manusia dalam hal ini anak-anak semata-mata untuk bertahan hidup.

2. Dari Sisi Orang Tua

Lalu dari sisi orang tua, penting bahwa separuh dari kebebasan hidup ada dalam diri anak. Dua sikap yang patut dikedepankan adalah sikap rela 'disandera' (rela berkorban) demi kebahagiaan dan ketentraman hidup mereka sendiri dan anak-anak tentunya. 

Orang tua harus selalu keluar dari zona nyamannya sendiri demi anak-anak.

Dan sikap yang lainnya adalah selalu menunjukan sikap monoloyalitas total terhadap anak. 

Artinya mencintai dan mengasihi anak-anak selalu dihayati dan menjadi keutamaan sebagai orang tua. 

Dengan mengedepankan sikap ini, orang tua berani menangkal seluruh tawaran-tawaran yang lainnya yang justru membuatnya berjarak terhadap anak-anak.

Terkhusus di era yang serba digital ini, tantangan terkuat yang patut dilawan oleh orang tua adalah individualisme yang membuatnya kehilangan kepekaan dan tidak altruis terhadap sesama khususnya terhadap anak-anak.

Dengan demikian, terjadinya fenomena penculikan anak menurut hemat saya terjadi tersebab oleh hal-hal tersebut di atas, yakni dari sisi penculik itu sendiri karena tuntutan hidup yang semakin meningkat khususnya dari segi ekonomi, kemudian dari sisi orang tua, karena kurang menyadari dua sikap tersebut di atas yakni sikap rela berkorban dan sikap monoloyalitas total terhadap anak.

Oleh sebab itu, bila persoalan yang dihadapi oleh pelaku segera dituntaskan dan diimbangi dengan penghayatan panggilan hidup sebagai orang tua lewat dua sikap tersebut di atas, maka persoalan culik menculik anak dengan segera akan pamit.

Kembali ke nasehat dari penyair klasik Timur Tengah di atas bahwasanya orang tua agar mengasihi anak-anak layaknya panah hidup yang nantinya siap mencari sasarannya sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun