Mohon tunggu...
Konstantinus Aman
Konstantinus Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Prinsip "Survival of The Fittest" sebagai Alternatif Bertahan Hidup bagi Warga Kampung

23 Januari 2023   05:37 Diperbarui: 23 Januari 2023   16:58 1174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita pasti telah mendengar atau membaca frasa lama di atas yakni survival of the fittest; yang kalau diterjemahkan secara bebas berarti yang kuat yang menang (kira-kira begitu). Pencetusnya adalah Herbert Spencer seorang pemikir asal Inggris (1820-1903). Terkait siapa dan bagaimana pemikirannya saya merasa Prof. Apollolah ahlinya. (Maaf prof.) 

Akan tetapi alangkah menariknya bila frasa ini saya sandingkan dalam konteks kehidupan masyarakat lokal tampaknya memiliki chemistri tersendiri alias ada kaitannya. 

Ciri khas masyarakat yang komunal yang mengedepankan prinsip kebersamaan, kolektivitas adalah kunci utama dalam bereksistensi. Dan dari prinsip utama tersebut pula melahirkan keseharian hidup masyarakat yang sangat arif dan bersahaja.

Akan tetapi, seiring kemajuan zaman terutama dengan meruyaknya pengaruh pasar yang sarat akan cengkeraman kapitalisme menyebabkan definisi kesejahteraan tidak hanya secara kultural (budaya) melainkan secara struktural (ekonomi dan politik). Satu-satunya tolok ukur sebuah kemajuan dan kesejahteraan hanyalah ditilik dari sisi ekonomi saja.

Sehingga jelas sampai saat ini anggapan bahwa masyarakat pedesaan itu masih berada dalam lingkaran kemiskinan dan sangat terbelakang secara ekonomi masih sangat kuat. Atau masyarakat desa itu identik dengan cirinya yang miskin dan primitif. Pandangan ini jelas kuat dipengaruhi oleh pola pikir yang sangat kapitalis.

Namun, cara pandang demikian boleh saja diterima sebagai sebuah fakta yang tak terbantahkan. Lihat saja dengan aktivitas ekonomi warga kampung hingga sampai sekarang masih mengandalkan hasil pertanian atau perkebunan dengan pengolahan yang masih sangat tradisional. 

Baik itu dari segi lahan, tenaga kerja dan permodalan sepenuhnya masih bergantung dengan keadaan alam dan mengandalkan sistem kolektif (berkelompok) dalam menuntaskan masalah tenaga dan permodalan. Dan hasilnya pun mentok untuk sekedar memenuhi isi perut sendiri. Tak pernah terpikirkan untuk tujuan lain misalnya untuk pembangunan dan untuk perubahan hidup.

Kemudian pertanyaannya, apakah pola seperti ini masih juga harus dipertahankan sedangkan gemuruh kapitalisme pasar kian mengancam sendi-sendi kehidupan setiap orang khususnya di pedesaan. 

Menanggapi persoalan ini tentu pihak yang paling pertama berperan di sini tidak lain ialah pemerintah sebagai aktor pembangunan terdepan. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatasi kesenjangan paradigma kemajuan tersebut mesti tepat sasar atau benar-benar menyentuh langsung persoalan yang ada.

Sebagai perbandingan saja di negara China pada tahun 2000 mengalami angka kemiskinan penduduk terbanyak dibandingkan Indonesia yakni mencapai 49,8 persen penduduk dengan kategori miskin. Namun, angka tersebut menjadi turun drastis menjadi 0,6 persen di tahun 2019.

Sedangkan di Indonesia sejak era presiden sebelumnya hingga Jokowi sekarang, jumlah angka kemiskinan penduduk sangat fluktuasi. Terutama sejak tahun 2000 waktu Gusdur sebagai pemimpin negara, angka kemiskinan hanya berkisar 19,14 persen. Sangat sedikit bila dibandingkan dengan China pada tahun yang sama.

Kemudian pada era presiden berikutnya angka tersebut hanya turun berapa persen saja dan tidak pernah stabil atau turun drastis layaknya di China.

Terakhir, BPS mencatat Persentase penduduk miskin pada September 2022 tercatat 9,57 persen atau senilai 26,36 juta orang. Dan 14,38 juta orang diantaranya adalah berada di pedesaan.

Dari sekedar perbandingan angka tersebut patut dikatakan bahwa China sangat berhasil dalam upaya pengentasan angka kemiskinan di negaranya. Dan keberhasilan itu pun patut ditiru oleh Indonesia sendiri 

Jika ditilik secara mendalam bahwa sebagian besar angka kemiskinan yang ada di Indonesia itu bersumber dari penduduk pedesaan.

Oleh karena itu, pemerintah hendaknya menyikapi ini secara komprehensif terkait akar masalahnya sehingga apa pun bentuk kebijakan yang diambil sungguh-sungguh menyentuh sasarannya.

Misalnya membaca konteks sumber perekonomian andalan masyarakat desa ialah pertanian dan perkebunan. Kira-kira apa-apa saja yang sifatnya mendesak yang dibutuhkan untuk mendongkrak sektor pertanian di pedesaan sehingga dapat bergerak maju dan sangat transformatif. 

Tidak berarti bahwa pemerintah sama sekali belum memperhatikan pembangunan di pedesaan. Hanya saja semua kebijakan yang ada selama ini belum dan masih jauh dari kata maksimal. Misalnya pembuatan irigasi dengan kualitas yang rendah. Memberikan bantuan benih atau bibit-bibit unggul dan lain sebagainya.

Namun, semua jenis program-program tersebut justru masih bersifat pragmatis dan bisa jadi sarat akan 'permainan bawah tanah'. Karena faktanya, hampir seluruh masyarakat pedesaan sebagaimana di desa saya, kehidupan ekonominya masih jauh di bawah rata-rata. Atau tidak perubahan sama sekali setelah semua program atau kebijakan yang diterapkan pemerintah berlangsung.

Potret Sawah mengalami kekeringan di Manggarai (kredit gambar: Viva) 
Potret Sawah mengalami kekeringan di Manggarai (kredit gambar: Viva) 

Baru-baru ini, para petani sawah di kampung saya sempat dirundung kecemasan lantaran curah hujan yang tak menentu di awal Januari tahun ini.  Nasib dari pola persawahan tadahan yang ada memang sangat bergantung dengan hujan sebagai sumber air utama. 

Prediksi BMKG selama awal tahun 2023 kemarin menyatakan sebagian besar wilayah Indonesia akan turun hujan deras termasuk NTT sendiri.

Namun yang terjadi di kampung saya, guyuran hujan hanya mentok pada tanggal 1 Januari saja. dan tepat pada saat itu juga semua warga tani sudah beramai-ramai membajak sawah dan sibuk menanam padi. 

Aka tetapi, selang sehari setelah hujan, cuaca tiba-tiba berubah cerah. Bahkan cerahnya hampir tidak jauh beda dengan cuaca cerah di bulan Juli.

Dan ini ibarat petaka di siang bolong. Semua petani menjadi cemas dan serba bingung. Bagaimana tidak, petak-petak sawah kembali mengering bahkan ada yang sampai retak-retak dan mengeras tak berair. 

Padi yang sudah terlanjur ditanam semuanya langsung mengering tak berair. Semua petani termasuk ayah saya mulai mengeluh. Bahwasanya bencana kelaparan akibat gagal panen siap terjadi di tahun ini. 

Kemudian ada yang berupaya mengisap air dengan mesin namun tak jarang menyebabkan pertengkaran gara-gara saling merebut air dari kali yang sama. Masyarakat petani sudah terperosok dalam situasi kecemasan yang akut. 

Sudah begitu, anehnya para pemangku kebijakan dalam hal ini sekurang-kurangnya petugas PPL untuk sekedar merasakan setiap keluhan yang ada sungguh tak tampak. Artinya, pemerintah masih belum sepenuhnya menjamah masyarakat pedesaan dalam hal pembangunan.

Mari belajar dari China. Bahwa sebelumnya, angka terbesar kemiskinan di China itu bersumber dari pedesaan. Namun berkat kecekatan dan kelihaian pemimpin dalam membaca persoalan, maka kebijakan dalam bidang pertanian pun segera diambil dan diterapkan. Salah satunya adalah dengan membangun infrastruktur secara modern yang dapat meningkatkan produksi dan menekan harga.

Oleh karena itu, kegagalan dari para pemangku kebijakan dalam menerapkan pembangunan terutama yang berdampak transformatif bagi masyarakat pedesaan maka yang terjadi Indonesia tidak akan pernah berhasil dalam hal penekanan jumlah penduduk miskin di Indonesia.

 Di samping itu, masyarakat kampung yang kaya akan nilai komunal dan kolektif akan tetap mengandalkan prinsip Survival Of The Fittest dalam mengarungi hidup.

Rujukan:

1. kumparan.com
2. bisnis.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun