Kita pasti telah mendengar atau membaca frasa lama di atas yakni survival of the fittest; yang kalau diterjemahkan secara bebas berarti yang kuat yang menang (kira-kira begitu). Pencetusnya adalah Herbert Spencer seorang pemikir asal Inggris (1820-1903). Terkait siapa dan bagaimana pemikirannya saya merasa Prof. Apollolah ahlinya. (Maaf prof.)Â
Akan tetapi alangkah menariknya bila frasa ini saya sandingkan dalam konteks kehidupan masyarakat lokal tampaknya memiliki chemistri tersendiri alias ada kaitannya.Â
Ciri khas masyarakat yang komunal yang mengedepankan prinsip kebersamaan, kolektivitas adalah kunci utama dalam bereksistensi. Dan dari prinsip utama tersebut pula melahirkan keseharian hidup masyarakat yang sangat arif dan bersahaja.
Akan tetapi, seiring kemajuan zaman terutama dengan meruyaknya pengaruh pasar yang sarat akan cengkeraman kapitalisme menyebabkan definisi kesejahteraan tidak hanya secara kultural (budaya) melainkan secara struktural (ekonomi dan politik). Satu-satunya tolok ukur sebuah kemajuan dan kesejahteraan hanyalah ditilik dari sisi ekonomi saja.
Sehingga jelas sampai saat ini anggapan bahwa masyarakat pedesaan itu masih berada dalam lingkaran kemiskinan dan sangat terbelakang secara ekonomi masih sangat kuat. Atau masyarakat desa itu identik dengan cirinya yang miskin dan primitif. Pandangan ini jelas kuat dipengaruhi oleh pola pikir yang sangat kapitalis.
Namun, cara pandang demikian boleh saja diterima sebagai sebuah fakta yang tak terbantahkan. Lihat saja dengan aktivitas ekonomi warga kampung hingga sampai sekarang masih mengandalkan hasil pertanian atau perkebunan dengan pengolahan yang masih sangat tradisional.Â
Baik itu dari segi lahan, tenaga kerja dan permodalan sepenuhnya masih bergantung dengan keadaan alam dan mengandalkan sistem kolektif (berkelompok) dalam menuntaskan masalah tenaga dan permodalan. Dan hasilnya pun mentok untuk sekedar memenuhi isi perut sendiri. Tak pernah terpikirkan untuk tujuan lain misalnya untuk pembangunan dan untuk perubahan hidup.
Kemudian pertanyaannya, apakah pola seperti ini masih juga harus dipertahankan sedangkan gemuruh kapitalisme pasar kian mengancam sendi-sendi kehidupan setiap orang khususnya di pedesaan.Â
Menanggapi persoalan ini tentu pihak yang paling pertama berperan di sini tidak lain ialah pemerintah sebagai aktor pembangunan terdepan. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatasi kesenjangan paradigma kemajuan tersebut mesti tepat sasar atau benar-benar menyentuh langsung persoalan yang ada.
Sebagai perbandingan saja di negara China pada tahun 2000 mengalami angka kemiskinan penduduk terbanyak dibandingkan Indonesia yakni mencapai 49,8 persen penduduk dengan kategori miskin. Namun, angka tersebut menjadi turun drastis menjadi 0,6 persen di tahun 2019.