Dua hal umum ini paling tidak menguatkan argumen mengafirmasi pernyataan keharusan anak-anak untuk berbahasa Indonesia sejak dini di kampung.
Realitas yang Terjadi
Sedangkan terkait alasan khusus yang hendak saya tegaskan adalah berangkat dari realitas yang saya alami dan saksikan sendiri di kampung.
Gejala umum yang lumrah terjadi dan justru menciptakan persoalan terselubung bagi perkembangan sosial anak-anak di kampung yakni, ada penciptaan kompleks-kompleks tertentu. (Baca: pemukiman). Misalnya di sekitar lingkungan sekolah ada kompleks guru-guru. Atau di sekitar lingkungan rumah sakit (Puskesmas) ada kompleks bidan atau perawat. Jelas semua penghuninya adalah kaum-kaum 'bermerek' sama semua. Dan 'mereknya' itu sedikit tinggi dengan masyarakat luas yang ada di luar kompleks. Sekalipun semuanya sama-sama di kampung.Â
kenyataan ini sebenarnya memang sangat tidak mengandung masalah sama sekali.Â
Namun yang membuat saya sedikit gelisah dalam hal ini yaitu: kebiasaan dari kaum-kaum 'bermerek' tersebut terkesan 'mewajibkan' anak-anak mereka untuk selalu menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa keseharian.
 Entah itu di dalam kompleks tempat tinggal mereka sendiri juga ketika di luar kompleks alias ketika berbaur dengan anak-anak kampung kebanyakan. Boleh saja kebiasaan demikian merupakan hak dari masing-masing orang tua.Â
Apalagi tujuannya adalah sangat 'mulia' yaitu menanamkan benih nasionalisme sejak dini. Atau mungkin tujuan terselubung lainnya biar kelihatan beda dengan anak-anak luar kompleks. Atau menganggap bahasa lokal (ibu) sebagai bahasa yang kolot dan gak laku. Atau mungkin Biar identitas kebermerekkan selalu menonjol di mana-mana. Barangkali tujuan-tujuan terselubung ini hanyalah konstruksi dari pikiran subyektif saya semata.
Namun ketika disandingkan dengan kenyataan yang terjadi justru semua maksud terselubung tersebut telah menampakkan diri yakni ketika anak-anak dari dalam kompleks tersebut mencoba berbaur dengan anak-anak kampung tulen. Misalnya ketika berkesempatan untuk bermain bersama. Saat inilah persoalan jadi muncul.Â
Suatu kali saya pernah jumpai mereka ketika sedang bermain bola di lapangan mini di samping dapur rumah saya. Lalu tiba-tiba bola yang ditendang melambung dan menyangkut di atas pohon mangga. Lalu salah satu anak kompleks katakan" aduh, bolanya tersangkut di atas pohon". Â Anak-anak yang lain pun tiba-tiba saja bermuka linglung. Mereka tidak tahu "pohon" yang dimaksudkan oleh si anak tadi.Â
Lalu tiba-tiba saja mereka langsung membentak si anak tadi bahwa itu bukan pohon tapi haju (bahasa ibu: pohon atau kayu). Lalu si anak tadi pun langsung nangis dan malu dan seketika pulang ke rumahnya.