Salah satu kekayaan terbesar bangsa Indonesia adalah corak masyarakat yang suka hidup dalam kelompok atau berkomunitas. Dalam hidup berkelompok tersebut kerumunan sudah menjadi penampakan umum. Ada banyak momen atau event-event tertentu yang secara tidak langsung menciptakan kerumunan. Seperti konser akbar, ritual agama di jalanan, pertandingan sepak bola, iklan atau pameran produk-produk tertentu dan lain sebagainya.
Semua event tersebut sangat membutuhkan kerumunan atau kumpulan orang banyak. Sebab begitulah adanya, sama-sama saling membutuhkan. Relasi mutualisme sangat dimungkinkan terjadi.Â
Mana mungkin iklan atau pameran produk terbaru tidak memerlukan orang banyak (konsumen). Atau pertandingan sepak bola kalau tidak ditonton orang banyak itu ibarat pisang yang tumbuh di daerah gurun. Dan contoh-contoh lainnya. hendak membuktikan bahwa kerumunan sejatinya sebuah fenomena logis dari corak hidup berkelompok.
Terlepas dari fenomena kerumunan tersebut di atas yang sangat kental dengan konteks urban (perkotaan), di kampung pun ternyata mengalami cerita atau hal yang serupa namun beda narasi. Masyarakat kampung (orang pinggiran) sejatinya sangat tak bisa lepas dengan yang namanya fenomena kerumunan. Atau saling berkerumun.Â
Seperti: berkerumun di tempat jaringan (yang bisa berinternet), berkerumun ketika ada ritual adat atau seremoni tarian adat. Berkerumun ketika ada hajatan syukuran keluarga, pesta sekolah (mendukung anak sekolah yang hendak ke perguruan tinggi), berkerumun ketika ada turnamen bola voli atau bola kaki (biasanya dalam rangka memeriahkan hari raya agama atau hari raya Nasional) dan kerumunan-kerumunan lainnya.
Secara kasat mata, fenomena kerumunan ini ibarat ada gula ada semut. Di mana ada kerumunan di situ pasti ada sesuatu yang menarik. Akan tetapi dari hal atau sesuatu yang menarik ini justru bisa mendatangkan hal sebaliknya yang membuatnya tidak menarik lagi. Beberapa penyebab yang bisa ditilik secara langsung terkait hal-hal buruk yang terjadi seperti:
Pertama, yang namanya masyarakat kampung, di mana terjadi atau ada perkumpulan di situ pasti ada rokok dan sopi. Kenapa rokok dan tuak atau sopi? Yah barang-barang 'haram' ini sejatinya berdaya magnetis dalam setiap perkumpulan atau kerumunan orang banyak. Dan memang keduanya dalam konteks adat memiliki nilai magis tersendiri. Seperti sebagai sarana penyampaian adat, sebagai simbol pengungkap persatuan dan kebersamaan dalam konteks budaya.Â
Misalnya ketika ada seremoni adat perkawinan yang mengundang banyak massa. Massa yang dimaksudkan adalah dua buah kubu keluarga sebagaimana dalam relasi adat Manggarai yaitu: anak rona (keluarga besar dari pihak wanita) dan anak wina (keluarga besar dari pihak laki-laki). Untuk diketahui seremoni ini hampir terjadi setiap tahun. Bahkan ketika pandemi kemarin, perkumpulan dalam bingkai seremoni adat ini terus dilakukan.
Mulai dari akomodasi pengangkutan biasanya menggunakan oto kol (truk kayu) semua keluarga yang datang dari jauh bahkan melintasi dua kabupaten (Manggarai Barat dan Manggarai Timur) semuanya membludak memenuhi setiap sisi oto kol tersebut.Â
Ada yang duduk hingga berdesak-desakkan di bagian dalam, berdiri gantung di bagian bokong oto juga duduk manis dan berdesakkan di bagian atas oto kol tersebut.Â