Pekerjaan rumah adalah tugas mandiri terstruktur yang diberikan guru untuk dikerjakan di rumah sebagai latihan tambahan akademis siswa.Â
Tujuan utamanya adalah agar siswa mampu membuat kilas balik dari semua materi pelajaran yang diterima di sekolah. Hal ini berlaku di setiap sekolah berdasarkan ketentuan dalam kurikulum yang diterapkan.
Akan tetapi akhir-akhir ini Pekerjaan Rumah sudah mulai diperdebatkan terutama terkait nilai outputnya bagi peserta didik.Â
Ada beragam landasan logis yang ditonjolkan seperti sekolah sebagai locus akademis utama bagi siswa sedangkan rumah adalah tempat siswa untuk menimba dan menanamkan pendidikan karakter.Â
Pemisahan ini pun semakin diperkuat melalui sentilan Presiden Joko Widodo bahwa Pekerjaan Rumah bagi para siswa dapat berupa kegiatan sosial.Â
Seperti menengok tetangga yang sakit atau menjenguk kawannya yang sakit. Bdk, diakses 31 Oktober 2022.
Larangan untuk memberikan PR kepada siswa juga telah resmi diaktualisasikan di setiap jenjang pendidikan di kabupaten Purwakarta, Jawa Barat melalui surat keputusan Bupati Purwarkarta.Â
Ihwalnya, bahwa materi materi akademis sebaiknya dituntaskan di sekolah bukan di rumah. Dan di rumah lebih kepada penerapan ilmu yang diajarkan di sekolah.Â
Termasuk yang paling urgen di dalamnya adalah menuntut agar siswa lebih mengedepankan penerapan karakter dan aplikatif dari materi yang didapat.Â
Dari kedua model pandangan di atas saya coba mengkajinya dengan membaca konteks atau situasi pendidikan yang terjadi di pelosok negeri terutama di kampung saya berasal.
Situasi persekolahan di kampung tentunya sangat jauh berbeda dengan yang di kota. Terutama dari segi kelengkapan sarana dan prasarana juga kesadaran masyarakat terkait proses pendidikan yang masih tradisional. Berangkat dari keterbatasan ini, maka PR sejatinya menjadi kunci utama bagi guru mata pelajaran untuk mengetahui motivasi dan kemampuan siswa dalam belajar.
Kemudian yang kedua, adanya persepsi tunggal tentang tanggung jawab. Adanya anggapan umum dari masyarakat kampung bahwa, sekolah adalah tempat bagi siswa menimba ilmu pengetahuan serentak sebagai tempat pembinaan karakter. Â
Sedangkan rumah tidak ada hubungan sama sekali dengan hal-hal yang berkaitan dengan sekolah. Atau singkatnya kewajiban sekolah adalah memanusiakan para peserta didik sedangkan kewajiban orang tua semata-mata melunasi SPP saja.Â
Atau masa depan anak-anak adalah tanggung jawab sekolah sedangkan di rumah anak-anak di tuntut untuk membantu pekerjaan di rumah seperti memasak, timba air, menjaga adik, cari kayu bakar dan lain sebagainya.
Pandangan ini tentunya sangat menggelisahkan terutama bagi aktor pendidikan yang tengah mengabdi dan berjuang pada lingkup pendidikan di kampung atau pelosok. Juga sekaligus dapat dijadikan sebagai sarana otokritik bagi para pendidik itu sendiri.
Pertama, memunculkan dilematis yang mendalam terutama dalam hal memotivasi dan mengevaluasi kemampuan para peserta didik.Â
Satu-satunya instrumen yang sampai saat ini masih berlaku diterapkan dalam menakar perkembangan aspek akademis siswa itu adalah dengan cara memberikan tugas rumah yang masif.
Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa siswa atau para peserta didik memiliki waktu sendiri dalam mengembangkan kemampuan akademis mereka di rumah.Â
Kemudian, terkait dengan penanaman nilai karakter siswa di sekolah juga selalu berhadapan dengan situasi kelam.Â
Terutama mengenai kedisiplinan, tata krama dan sopan santun dalam diri para peserta didik.
Bahkan tak jarang metode main otot pun kerap digunakan, seperti dengan cara tempeleng ataupun dengan cara cambuk dengan pakai lidi atau kayu.Â
Metode ini semacam sebagai alternatif bagi siswa yang memang belum bisa mengubah karakter sesuai dengan kriteria sekolah.Â
Walaupun kerap berujung pada efek jera siswa juga tak jarang orang tua murid menuntut balik atas tindakan kekerasan yang terjadi terhadap anak mereka. Namun ada pula orang tua murid lainnya yang sangat  mendukung dengan metode yang diterapkan.Â
Orang tua murid yang mengadu semata-mata karena tidak terima atas metode otot yang digunakan. Mereka menuntut upaya lain selain dengan cara kekerasan.Â
Sekalipun sebenarnya mereka tidak tahu perilaku dari anak mereka yang sudah kelewat batas.Â
Hal ini memang sangat kontroversial sekali bila dikaitkan dengan ketentuan hukum. Akan tetapi faktor alam (timur Indonesia) justru menuntut cara yang sebaliknya.Â
Sedangkan orang tua murid yang mendukung semata-mata karena pelimpahan tanggung jawab sepenuhnya dalam membina perilaku dan mental anak mereka adalah guru atau pihak sekolah sendiri.Â
Kesannya semacam mereka sudah tidak mau sibuk lagi dengan perkembangan mental atau karakter dari anak mereka sendiri.Â
Kedua fenomena ini selalu saja terjadi dan mewarnai selama proses persekolahan di kampung berlangsung.
Lagi-lagi hal ini erat kaitannya dengan usulan Pak Jokowi bahwa pemberian PR kepada siswa hendaknya lebih ke hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan atau penerapan karakter semata bukan akademis dan tempatnya ya di rumah. Hal ini memang sangat bagus sekali dan patut di aplikasikan.Â
Namun, ketika disandingkan dengan realitas tersebut di atas terutama dalam konteks sekolah di kampung maka penerapannya tak semudah lidah bersilat dengan kata-kata.Â
Karakter para peserta didik yang bersekolah di kampung sejatinya telah terpatri berdasarkan alam kehidupan di kampung itu sendiri seperti: membantu orang tua timba air, menjaga adik di rumah, mencari kayu bakar di hutan, menyusul orang tua ke kebun untuk pikul hasil kebun dan lain sebagainya.Â
Sekalipun juga beberapa temuan yang dilaporkan oleh Hallam (2004) dalam beberapa penelitiannya bahwa PR dapat menimbulkan ketegangan antara siswa dan orang tuanya serta dapat menimbulkan kebencian di antara siswa karena merasa kehilangan waktu bebasnya.Â
Saya yakin sekali bahwa temuan demikian hanya berpaut pada konteks di mana kesadaran publik tentang pendidikan itu sangat matang dan mapan.
Oleh karena itu, sebelum usulan penghapusan PR berwujud pada sebuah kebijakan maka kajian berikut perlu dipertimbangkan:
Pertama, kesadaran akan berpendidikan mesti disamaratakan terlebih dahulu mulai dari Sabang sampai Merauke.Â
Jadi, di dalamnya termaktub keseimbangan pola didik bagi peserta didik antara guru atau pihak sekolah dengan orang tua murid. Sebab cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa adalah cita-cita bersama.Â
Siapa yang paling berperan di sini ya tentu saja Para pemangku pendidikan itu sendiri mulai dari kebijakan umum dari pusat hingga penerapannya dalam lingkup praksis.Â
Dalam hal ini dialog yang masif menjadi kunci untuk membuka kedok kesadaran akan pendidikan itu sendri.Â
Bahasa dialog perlu dihindarkan dari relasi subyek-obyek atau Otoritas sebagai pemegang kendali melainkan dialog yang deliberatif tanpa tekanan. Sehingga kesadaran akan keberlangsungan pendidikan itu bangkit kembali.Â
Sebab persoalan krusial yang dihadapi oleh sekolah-sekolah yang tersebar di pelosok negeri ialah persoalan seputar tanggung jawab dan kesadaran terkait situasi pendidikan para peserta didik. Sedangkan persoalan PR itu hanyalah sebagai persoalan prosedural semata.
Kedua, pembenahan sarana atau fasilitas yang mendukung terutama dalam hal kemudahan para peserta didik dalam menimba ilmu pengetahuan mesti setara dan serasi mulai dari Sabang sampai Merauke. Mulai dari persekolahan di kota maupun yang ada di pedesaan atau di kampung.
Ketiga, sebagaimana PR masih merupakan pilihan alternatif dari para guru maka alangkah baiknya hal-hal berikut mesti diperhatikan yakni: selalu memberikan Feedback atau umpan balik, tidak menggunakan PR sebagai instrumen untuk menakutkan para peserta didik dan mesti selalu diintegrasikan dengan pelajaran atau topik yang dikaji.Â
Inilah beberapa pertimbangan yang seharusnya diperhatikan lagi oleh para pendidik dalam menerapkan program PR kepada para peserta didik.
Oleh karena itu, PR sebagai instrumen akademis tetap menjadi pilihan utama sekalipun berhadapan dengan kenyataan yang kontroversial.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI