Dalam tradisi Kristiani setiap bulan Mei dan Oktober dinobatkan sebagai bulan Rosario sebagai penghormatan khusus kepada Bunda Maria sebagai Bunda Yesus Kristus.Â
Mengenai sejarah kapan dan bagaimana Doa Rosario berawal dan bermula sobat K bisa cek saja di laman Katolik lainnya. Saya cukup mensharingkan bagaimana pengalaman kami di kampung dalam berdoa Rosario bersama.Â
Untuk diketahui bahwa, dalam tradisi Katolik di NTT khususnya di pulau Flores ketika menyambut bulan Rosario (Mei dan Oktober) sangat terkenal dengan kebiasaan doa bergilir atau disebut sembahyang giliran. Saya kurang tahu di daerah teman-teman K lainnya.Â
Kebiasaan ini sudah sejak dahulu dan menjadi rutinitas iman yang wajib dilaksanakan ketika bulan Rosario tiba.Â
Dalam praktiknya biasanya dilakukan dalam kelompok-kelompok basis Gereja yang tersebar dalam sebuah paroki.Â
Melalui pimpinan seorang ketua kelompok, doa Rosario bergilir dilakukan secara rutin setiap malam dari awal hingga akhir bulan.Â
Sebagaimana dalam kebiasaan umat Katolik di NTT bahwa setiap Bulan Rosario bergulir maka wajib dilakukan doa bergilir dari rumah ke rumah di waktu malam hari atau yang biasa sebut dengan doa giliran. Sembahyang ini wajib diikuti oleh semua anggota keluarga yang bernaung dibawah sebuah KBG (Kelompok Basis Gerejawi).Â
Kemudian saat suasana doa, semua orang yang hadir wajib mengucapkan doa salam Maria satu persatu. Mulai dari anak-anak yang belum sekolah hingga kaum sesepuh kampung, semuanya turut mendaraskan doa salam Maria. Entah dengan bahasa Indonesia pun dengan bahasa ibu (Bahasa Manggarai) suasananya sangat khusyuk dan damai. Kebanyakan orang tua yang berstatus kakek dan nenek lebih terbiasa mengucapkannya dengan bahasa Manggarai.Â
Doa Rosario bersama (baca kelompok) selain sebagai momen iman sebagai devosi khusus kepada Bunda Maria juga memiliki makna laten lainnya yaitu:
Pertama, sebagai momen perjumpaan dengan sesama. Melalui devosi bersama kepada Bunda Maria, semua anggota kelompok dari tiap-tiap keluarga hadir dan mengunjungi keluarga satu sama lain.Â
Dengan demikian, doa Rosario sebagai sebuah instrumen manusiawi yang mengandung nilai solidaritas dalam kesederhanaan.Â
Ihwalnya bahwa, semua anggota kelompok yang ada di setiap KBG khususnya di kampung, adalah kaum sederhana dan bersahaja.Â
Dalam rumah yang seadanya dan penerangan yang secukupnya, semua berhimpun dan menyatu dalam suasana kasih persaudaraan yang terpancar dari kasih sang Bunda.Â
Setelah doa selesai juga biasanya tuan rumah wajib menyuguhkan mamiri khas kampung yaitu ubi rebus atau pisang rebus dan semacamnya ditemani dengan kopi khas ala kampung.Â
Kedua, sebagai momen penumpahan pengalaman ataupun cerita-cerita renyah lainnya. Semunya saling bercengkrama ria dalam suasana yang gembira dan kecakapan yang sederhana.Â
Mulai dari anak-anak hingga para sesepuh semuanya turut berceloteh ria tanpa terkecuali.Â
Hingga giliran malam berikutnya, kebiasaan seperti ini selalu bergulir dari rumah ke rumah hingga sampai di akhir bulan.
Walaupun terkadang ketika keluar dari rumah waktu pulang kadang ada kisah ironis muncul yaitu, kadang sandal tukeran atau hilang sebelah bahkan hilang sama sekali. (Hmm! )Â
Sekalipun demikian, warga kampung sudah mengetahui hal ini dan terkadang sudah menjadi lumrah.Â
Itulah makna laten dari seremoni sembahyang giliran khususnya doa Rosario di kampung. Adalah sebagai instrumen perekat relasi dengan tetangga juga sebagai kesempatan pembumian rasa solidaritas terhadap satu sama lain.**
Sungguh indah dan menarik bukan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H