Dengan demikian, doa Rosario sebagai sebuah instrumen manusiawi yang mengandung nilai solidaritas dalam kesederhanaan.Â
Ihwalnya bahwa, semua anggota kelompok yang ada di setiap KBG khususnya di kampung, adalah kaum sederhana dan bersahaja.Â
Dalam rumah yang seadanya dan penerangan yang secukupnya, semua berhimpun dan menyatu dalam suasana kasih persaudaraan yang terpancar dari kasih sang Bunda.Â
Setelah doa selesai juga biasanya tuan rumah wajib menyuguhkan mamiri khas kampung yaitu ubi rebus atau pisang rebus dan semacamnya ditemani dengan kopi khas ala kampung.Â
Kedua, sebagai momen penumpahan pengalaman ataupun cerita-cerita renyah lainnya. Semunya saling bercengkrama ria dalam suasana yang gembira dan kecakapan yang sederhana.Â
Mulai dari anak-anak hingga para sesepuh semuanya turut berceloteh ria tanpa terkecuali.Â
Hingga giliran malam berikutnya, kebiasaan seperti ini selalu bergulir dari rumah ke rumah hingga sampai di akhir bulan.
Walaupun terkadang ketika keluar dari rumah waktu pulang kadang ada kisah ironis muncul yaitu, kadang sandal tukeran atau hilang sebelah bahkan hilang sama sekali. (Hmm! )Â
Sekalipun demikian, warga kampung sudah mengetahui hal ini dan terkadang sudah menjadi lumrah.Â
Itulah makna laten dari seremoni sembahyang giliran khususnya doa Rosario di kampung. Adalah sebagai instrumen perekat relasi dengan tetangga juga sebagai kesempatan pembumian rasa solidaritas terhadap satu sama lain.**
Sungguh indah dan menarik bukan.Â