Mohon tunggu...
Konstantinus Aman
Konstantinus Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berikan Kami Kail untuk Menangkap Kesuksesan

16 Maret 2022   10:52 Diperbarui: 16 Maret 2022   10:58 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin saya berbagi tulisan terkait situasi pendidikan yang terjadi di sekolah-sekolah kampung. Apa yang saya sharekan itu, alhamdulilah mengundang reaksi dari para K dari berbagai kalangan. Sepintas saya bergeming bahwa kita (Indonesia) sejatinya tengah bermimpi kesejahteraan namun kerap tersandung dalam ketidamerataan pembangunan. Tulisan kemarin sejatinya telah mewakili beragam emosi negatif dari sekian para pejuang pendidikan di kampung (jauh dari kesejahteraan). Harapannya ya, semoga berhasil menampar 'nurani' pemerintah.

Kali ini saya kembali berbagi terkait dengan situasi para petani di kampung saat ini. Sebab selain sebagai pendidik saya juga adalah seorang petani tulen. Maklumlah, namanya di kampung DNA menjadi petani adalah panggilan yang terwaris. Di luar itu hanyalah profesi tambahan. Tapi apa pun itu kemauan dan focus menjadi tuntutan dasar agar tidak saling kontraproduktif.

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa, realitas umum dari para petani yang tinggal di kampung cenderung tradisional. memiliki kebun yang luas namun tak sebanding dengan hasil yang didapat. Mengenai hal ini telah silahkan baca: Di Kampung, Semuanya Serba Kebersamaan. 

Setelah beberapa bulan belakangan, warga kampung (petani) kedatangan tamu. Mereka datang dari sebuah yayasan yang memiliki kepedulian khusus dalam bidang pertanian. Saya tidak menyebutkan nama dari yayasan terkait, takut terkesan bahwa saya sedang berkampanye. Yang pasti bahwa mereka datang semata-mata karena mempunyai kepedulian yang besar dalam membawa perubahan menyangkut system pertanian kami di kampung. Ini menurut perkiraan batin saya.

Semua mereka yang datang berasal dari profesi dan kota yang berbeda. Ada yang sebagai dosen, pengusaha dan beberapa yang mendaku sebagai volunteer, yang berpassion khusus dalam bidang pertanian. Ada yang berasal dari Pulau Jawa. Namun sebagian besar lainnya berasal dari daratan Flores sendiri.

Pada awal perjumpaan, pembicara pertama yang berasal dari pulau Jawa diberikan panggung untuk memperkenalkan visi dan misi dari yayasan tersebut. Salah satu pernyataan 'filosofis' yang berhasil membuat saya angguk-anggukan yakni: "kami (yayasan) datang untuk membawa kail bukan ikan". Sembari toleh ke belakang, ternyata banyak juga yang turut manggut-manggutan. Apalagi ketika Mbak itu menerangkan maksudnya yang menurut saya mudah ketebak. Bahwa mereka datang untuk berbagi ilmu dan pengalaman terkait pertanian yang sebenarnya, bukan berbagi uang atau bantuan lainnya.

Foto si Mbak lagi berceramah di depan petani kampung. (Dokpri.) 
Foto si Mbak lagi berceramah di depan petani kampung. (Dokpri.) 

 Mulai dari bapa desa hingga separuh warga lainnya kembali manggut-manggut dalam diam. Barangkali ada semacam harapan perubahan yang muncul dari dalam diri.

Untuk diketahui bahwa, kampanye pertanian yang diwartakan oleh yayasan itu adalah mau menghidupkan kembali entitas tanaman vanili yang menjadi komoditas 'unggulan. Tanaman ini memang selalu menjanjikan dalam pasaran global. Ia dicap sebagai emas hijau. Apalagi menurut survey mereka (entah kapan?) bahwa secara geografis kontur tanah dan letak wilayah perkampungan sangat cocok untuk membudidayakan tanaman tersebut. Jadi tunggu apa lagi selain untuk memulainya.

Untuk mencoba mencari tahu keadaan atau situasi petani di kampung, Mbak coba bertanya ke salah satu pak tani yang duduknya paling depan. Ia menanyakan luas areal perkebunan vanili dan hasil yang didapat dari areal itu. Sontak si Mbak kaget, bahwa rata-rata luas kebun yang ada sekitar 2 hektare, namun hasil yang didapat dari kebun itu hanya 5 kiloan vanili. "kan lucu sekali ya pak, kebun seluas itu, kok Cuma menghasilkan 5 kg saja tanaman vanili", imbuh si Mbak. Mendengar itu sesaat ruangan menjadi sesak dengan suara ketawa.

Kok lucu? Bukannya ini sesuatu yang sangat miris. Demikian batin saya mengusik. Saya yakin, dari latar belakang asalnya, si Mbak mungkin baru menemukan kondisi pertanian yang demikian. Ia mungkin membandingkannya dengan system pertanian di tempatnya. Bagaimana para petani dengan lahan sempit mampu memetik hasil yang berlimpah-limpah. Bukan malah sebaliknya.

Sekejap batin saya bergejolak. Ada sekian pertanyaan yang muncul. Menyangkut persoalan pertanian ini sebenarnya siapa yang paling bertanggung jawab? Di manakah fungsi tugas para petugas pertanian lapangan? Apa yang membedakan para petani kampung dan petani di tempat lainnya di Indonesia ini, sementara kita ini terkenal sebagai negara agraris? Siapa yang berani menyerahkan pipinya ditampar demi penyamarataan system pertanian di Negara ini? Lalu Siapa yang mau disalahkan oleh si Mbak mengenai pola pertanian tradisional di kampung?

Para petani kampung hanya bisa menertawakan keadaannya, sembari membungkus harapan yang banyak pada yayasan itu, demi suatu pencerahan dan perubahan.

Dalam agenda yang dibeberkan, mereka akan terus mendampingi warga, mulai dari A-Z terkait budidaya tanaman vanili tersebut. Mulai dari berbagi ilmu dasar kemudian dilanjutkan dengan praktek hingga benar-benar tuntas. Akan tetap mesti dibarengi dengan doa agar harapan itu tersampai. 

Akhirnya, tolong bagikan kami kail untuk menangkap kesuksesan kami sendiri. Sekaligus obat racun untuk membasmi predator yang telah "memangsa ikan milik kami" selama ini. Begitu kira-kira pesan di balik tertawa warga yang hadir saat itu.

Salam pertanian kampung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun