Belis atau maskawin sebagaimana yang ditayangkan dalam pembicaraan kita saat ini merupakan sebuah fenomena aktual dan faktual diperbincangkan oleh sebagian besar manusia yang bernaung dalam rumah kebudayaan yang mana di dalamnya terkandung warna dan filosofi adat-istiadatnya masing-masing.Â
Belis Manggarai dalam setiap khazanah pembicaraan selalu menuai problem yang mesti dituntaskan seiring dengan berjalannya waktu. Sampai di sini kita mesti akui bahwa kebudayaan tak pernah statis dalam alunan sang waktu melainkan ia dinamis dan mengalami progres in se seiring waktu melahirkan banyak peradaban baru. Singkatnya bahwa waktu berubah dan kita ikut berubah di dalamnya (tempora mutantur et mutamur illis). Â
Oleh karena itu, untuk menyikapi atau menerima tawaran perkembangan yang terjadi kita mesti melihat kembali substansi dari belis itu sendiri. G. Wilken seorang atropolog (1847-1891) dalam tulisan-tulisannya pernah memuat tentang belis sebagai survival dari masa peralihan antara masyarakat yang matriarkat ke yang patriarkat.
Perlu diketahui bahwa G. A. Wilken adalah penganut pandangan yang mengatakan bahwa dalam sejarah perkembangan masyarakat manusia telah terjadi evolusi, yakni perubahan dari tingkat promiskuitas, dari matriarkat ke patriarkat dan parental sebagai tingkat tertinggi. Dalam pandangannya ini beliau mencamkan bahwa istilah patriarkat, matriarkat sudah ditinggalkan, dan lebih banyak menggunakan istilah patrilineal dan matrilineal.
Bruidschat atau maskawin adalah sejumlah harta yang oleh pihak lelaki diberikan kepada kaum kerabat gadis dengan tujuan untuk memuaskan hati mereka dan meredamkan rasa dendam, karena salah seorang gadis di antara mereka dilarikan atau bruidchaking (melarikan anak gadis).Â
Jika tidak demikian, setiap lelaki yang hendak menjadikan seorang gadis sebagai calon isterinya harus mendatangi dan berdiam di rumah keluarga gadis itu.Â
Kenyataan ini tentu tidak disenangi dan menjengkelkan sehingga dirasa perlu untuk melarikannya ke rumah lelaki. Atas dasar pertimbangan ini, Â Wilken berpendapat bahwa maskawin adalah suatu zoengave atau silih dan bukan suatu leoopprijs atau harga pembelian (Bdk. Hans J. Daeng: 2008).
Setelah mengikuti jalan pikiran Wilken tersebut dapat dikemukakan bahwa maskawin itu adalah keseluruhan prosedur penyerahan barang yang oleh adat telah ditentukan sesuai dengan lapisan dan kedudukan sosial masing-masing sebelum seorang pria secara resmi mengambil seorang gadis sebagai isterinya.Â
Namun, pandangan spekulatif Wilken tidak sepenuhnya diterima, karena di balik maskawin itu masih tersimpan sejumlah nilai lainnya. Nilai-nilai itu mencakup keseluruhan moral dan etika kebudayaan masyarakat yang menggambarkan jati diri pria dan wanita di dalamnya.
Entitas nilai yang paling tinggi di balik upacara pemberian maskawin di Manggarai adalah untuk menghadirkan kembali perkawinan yang sakral sebagaimana yang diwariskan sejak dahulu.Â