Mohon tunggu...
Konstantinus Aman
Konstantinus Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Bijak Memilih Pemimpin Daerah

2 Desember 2020   23:33 Diperbarui: 2 Desember 2020   23:35 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: ajauanis.blogspot.com via Qureta.com

Perhelatan Pilkada di penghujung tahun 2020 tepatnya 9 Desember mendatang tinggal beberapa hari lagi. Sekalipun pesta demokrasi ini dilaksanan di tengah situasi Pandemi Virus Korona, akan tetapi tetap merupakan sebuah penentuan akan arah kemajuan daerah baik itu propinsi maupun kabupaten yang lebih bermartabat dan demokratis selama lima tahun mendatang.

Untuk itu, sebelum sampai pada pergelaran Pemilu pada 9 Desember mendatang, beberapa catatan kecil akan digoreskan sebagai bahan pertimbangan politik bagi kita sebagai warga pemilih agar kritis dan bijak dalam memilih para calon pemimpin kita saat ini.

Hingga saat ini masing-masing calon pemimpin entah itu gubernur dan wakil gubernur juga calon bupati/walikota bersama wakil sedang gencar dalam menjerat dukungan massa pemilih. 

Ada berbagai macam instrumen yang dipakai seperti: pemasangan poster, spanduk dan baliho politik, kampanye politik sekalipun dibatasi dan tetap mengikuti protokol kesehatan, sosialisasi politik dan lain sebagainya. Sejauh ini semuanya sangat wajar dan berdasarkan legalitas-normatif yang ditetapkan oleh lembaga hukum yang berperan mengawasi proses demokrasi di daerah itu sendiri. 

Akan tetapi selama proses berlangsung, terdapat begitu banyak kiat-kiat politik yang diperagakan oleh para calon pemimpin daerah. Seperti terlihat pemasangan spanduk dan poster di mana-mana. Tanpa terkecuali melalui media sosial yang kerap menjadi locus sentral tempat pelelangan gambar para calon beserta dengan visi dan misi masing-masing.

Gambar politisi memang ada di mana-mana akan tetapi kita tidak tahu di mana hati dan pikirannya. 

Lalu di sana terdapat semacam pemasaran visi dan misi serta saling beradu motto dan janji. Tak jarang kita temukan pada gambar-gambar tersebut terpampang janji dari para calon mengandaikan validitas akan pencalonan mereka.
Janji pada dasarnya adalah tolok ukur bagi pertanggungjawaban pelaksanaan kekuasaan yang demokratis. Kriterianya adalah berdasarkan keberakaran dalam realitas. Dan janji hendaknya direalisasikan agar tidak menimbulkan reaksi kekecawaan dari warga.

Namun, terdapat calon pemimpin tertentu yang secara ekstrim mengutarakan bahwa "kami tidak membuat janji". Pernyataan seperti ini memang terdengar tampan untuk menangkal kesan bahwa para calon biasanya terlalu rajin mengobral janji. 

Sebab janji politik memang identik dengan kebohongan. Maka, untuk meyakinkan para pemilih akan kejujuran sebagai bukti keluhuran akhlak dari para calon itu sendiri, bahwa mereka tidak akan mengecewakan rakyat pemilih sebagaimana telah terjadi sebelumnya. 

Namun, jika didalami lebih jauh lagi, pernyataan tersebut identis dengan 'kami tidak mengingkari janji". Bukankah pernyataan ini secara tidak langsung mau mengumbarkan juga sebuah janji politik?

Itulah jenis iklan politik yang dalam bahasa Undang-Undang sebagaimana yang diungkapkan oleh Budiman Tanuredjo dalam kolom politik, Kompas Sabtu 2/Maret/2019 disebut sebagai peraga kampanye. Dengan demikian, kampanye merupakan instrumen menjual janji dan harapan sekaligus sebagai sarana untuk memoles diri.

Terdapat sejumlah calon pemimpin politik tertentu lebih memilih diskusi (sosialisasi) sebagai kesempatan untuk tampil dan memperkenalkan diri kepada warga.

 Pemimpin memang harus bisa berdiskusi, mendengar gagasan dan menyampaikan argumentasinya. Forum diskusi dilihat sebagai peluang untuk mempertajam visi perjuangan mereka dan kesempatan untuk didengar oleh dan mendengar langsung sejumlah warga. Namun persoalannya, tak banyak warga yang hadir pada kesempatan ini. Bahkan bukan tidak mungkin instrumen ini juga menjadi kesempatan para calon pemimpin untuk mengumbar fitnah dan kebencian bagi para calon lainnya. (bdk. Paul Budi Kleden, Bukan Doping Politik (catatan tentang Pemilu) Ledalero, 2013). 

Realitas ini tentunya sangat tidak diharapkan terjadi karena berintensi untuk mengobok-obok emosi warga dan menciptakan konflik yang berlandaskan politik. Bahkan lebih dari itu praktik demikian sejatinya melunturkan nilai demokrasi dalam Pilkada. Cita-cita peningkatan derajat demokrasi yang diperjuangkan melalui proses Pemilu menjadi nihil.

Untuk itu kampanye harus dilaksanakan secara aman dan tenteram sembari mengedepankan nilai luhur demokrasi. Kampanye yang jujur dan transparan berarti tidak  sekedar menjual pencitraan politik semata atau pemasaran harapan semata melainkan mesti berangkat dari realitas masyarakat yang menjadi locus utama sehingga melahirkan visi dan misi yang sungguh-sungguh konfrontatif dengan situasi warga. Oleh karena itu kampanye politik hendaknya menjadi landasan bagi warga untuk mempertimbangkan secara jernih setiap calon pemimpin yang ada sebelum jatuh pada pilihan yang pasti, jujur dan demokratis.  

Oleh karena itu, beberapa kriteria yang dimaksudkan (bdk. Paul Budi Kleden, 2013) adalah:

Pertama, pemimpin yang tahu diri. Maksudnya orang yang memiliki kesadaran akan perannya sebagai pemimpin dalam sebuah demokrasi. Seorang pemimpin demokratis yang tahu diri tidak berperilaku dan bertindak sebagai penguasa feodal yang menentukan secara sewenang-wenang apa yang mesti terjadi di wilayahnya. Dalam hal ini, pengalaman seseorang sebagai pemimpin perlu digunakan untuk menilai kemampuan dan sikap demokratisnya.

Kedua, pemimpin yang jujur. Kejujuran adalah dasar moralitas kepemimpinan. Inti dari kejujuran politik terdapat dalam penggunaaan mekanisme yang legitim dalam mencapai satu tujuan. Kejujuran mestinya tampak dalam proses pencalonan. Apabila satu pasangan calon secara tidak jujur merebut dukungan dari pasangan lain, sangat dikhawatirkan bahwa pemimpin seperti ini bakal menggunakan berbagai cara tidak terpuji untuk merebut apa yang menjadi hak orang lain.

Ketiga, pemimpin yang mempunyai komitmen jelas terhadap usaha pemberantasan korupsi. Tidak salah apabila dikatakan bahwa masalah utama kemiskinan di daerah adalah salah urus atau  salah tata kelola. Seorang pemimpin hanya dapat memerangi korupsi, apabila dia sendiri cukup bersih dari dugaan korupsi. Dugaan korupsi akan menjadi semacam borgol yang menyulitkan seorang pemimpin untuk memberantas korupsi secara konsekuen.

Keempat, pemimpin yang mempunyai program pembangunan ekonomi yang mengandalkan kekuatan rakyat. Sebab yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat adalah program dan strategi perekonomian yang berbasis rakyat.

Kelima, pemimpin yang percaya diri. Seorang pemimpin yang percaya diri tidak menjual program yang terlampau banyak dan membingungkan, tetapi sanggup berkonsentrasi pada beberapa program yang sungguh mendesak bagi peningkatan mutu hidup rakyat. Kepercayaan diri pun diperlukan berhadapan dengan para pendukung dan pengusung. Ketergantungan yang terlampau kuat pada partai pendukung dapat berakibat pada pengalihan kendali kepemimpinan ke tangan pengurus partai.

Keenam, tahu kebudayaan dan adat istiadat sambil terbuka terhadap tantangan zaman. Untuk membangun rasa percaya diri dari seorang pemimpin, orientasi pada kebudayaan dan adat istiadat menjadi sangat penting. Kita butuhkan pemimpin yang tahu adat, yang mengenal dan mencintai kebudayaan bangsanya atau daerahnya. Namun pemimpin ini pun tidak terperangkap dalam kesempitan pandangan mengenai kebudayaan, melainkan serentak terbuka terhadap kekayaan peradaban dunia yang menjadi semakin dikenal luas.

Ketujuh,  pemimpin yang bersatu dan mempersatukan. Pemimpin yang kontroversial akan mengalihkan seluruh perhatian warga terhadap dirinya. Kalau seseorang sudah menjadi tokoh kontroversial karena berbagai dugaan, maka memilih tokoh seperti ini berarti membiarkan diri terjebak dalam perdebatan panjang tentang dirinya. Bersatu berarti adanya keharmonisan antara pemimpin utama dan wakilnya. Kita butuhkan pemimpin yang bersatu, sebab hanya pemimpin yang bersatu, akan sanggup pula mempersatukan.

Demikian beberapa kriteria pemimpin yang mestinya menjadi pertimbangan kritis warga  dalam memilih pemimpin yang tepat di daerah. Warga yang dewasa dan demokratis ditandai oleh kemampuannya untuk memilih seorang pemimpin yang berkualitas dalam Pemilu. Untuk itu jadilah pemilih yang bijak dan kritis agar cita-cita kesejahteraan dan kemajuan daerah dan bangsa terwujud dalam diri para pemimpin yang demokratis.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun