Mohon tunggu...
Konstantinus Aman
Konstantinus Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keganasan Menu Hidangan

22 Februari 2020   13:01 Diperbarui: 22 Februari 2020   13:03 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kejatuhan manusia berawal dari kekeliruan dalam menafsir diri sebagai makhluk yang bebas

Suatu malam. Di rumah kepala desa. Ada pesta pernikahan puteri tunggalnya. Ratusan orang berjubel di sana. Dari kaos oblong sampai berdasi. Dari bertumit tinggi sampai tak bersandal. Semuanya ada di sana. Fenomena sosial yang lumrah di kampung itu bila ada hajatan. Ada yang di dalam dan ada yang di luar tenda. Semua ramai di sana. 

Acara makan dimulai. Orang tak perlu antre sebab di semua sudut disiapkan meja hidangan. Aparat desa selalu siaga melayani. Di atas meja hidangan, ada sayur lodeh, sate, sup telur puyuh, sayur lalap dicampur sedikit minyak zaitun. 

Ada kerupuk, jengkol, kuah asam, daging rendang, ikan bakar, babi guling, buah-buahan, nasi kuning, air, anggur dan sari buah pun tak ketinggalan. Undangan bersorak gembira. Semua makanan diambil tanpa ampun. Semua puas, semua kenyang.

Meja hidangan sudah kosong melompong. Undangan mulai sibuk mencungkil sisa makanan yang menempel di gigi. Suasana jadi hiruk pikuk. Semua orang merasa mules dan berhamburan mencari toilet sambil memegang perut yang mulai menceret. Toilet hanya satu. Yang sedang di dalam toilet sibuk membongkar, dan di luar pun mulai panik sebab celana sudah mulai basah.        

Semua undangan berebutan toilet tunggal. Undangan berdasi tak kelihatan. Ibu-ibu berkonde juga tak nampak. Di mana mereka? Oh... mereka sedang duduk di sudut lapangan yang agak tersembunyi sambil menahan perut dengan wajah memelas. Pantatnya tampak basah dan bau amis. Air berwarna kuning mulai mengalir dari selangkangan menuju betis kemudian tumpah di rerumputan. 

Sudut lapangan dan lantai itu mulai dipenuhi kotoran busuk. Apa yang terjadi seterusnya? Orang-orang itu ramai-ramai 'membuang kotoran' di celana masing-masing. Celana tak bisa lagi menampungnya, lalu 'sisa'nya meleleh ke lantai dan rerumputan. Apa yang terjadi selanjutnya? Kita bisa bayangkan sendiri. 

Kecelakaan manusia bisa berawal dari hal-hal yang dianggap sepele atau kecil. Manusia dalam segala hal boleh saja dikatakan sebagai makhluk yang bebas untuk bertingkah dan berbuat. Namun bebas bukan berarti mutlak untuk berbuat semaunya tanpa dibendungi dengan batasan-batasan tertentu. 

Barangkali benar yang Sartre katakan bahwa "manusia adalah kebebasan". Dengan mengatakan ini Sartre mau memberikan sebuah penjelasan kepada manusia bahwa dirinya adalah kebebasan itu sendiri. 

Manusia bebas menentukan sebuah pilihan dari sekian banyak pilihan yang lain. Salah atau keliru dalam menentukan pilihan-pilihan tentunya sangat berdampak terhadap eksistensinya sendiri.

Kebebasan tak selamanya mutlak dalam arti lepas sama sekali dari kewajiban dan beban. Kejatuhan manusia justru berawal dari kesalahan dalam menafsir dan mengejawantahkan kebebasan itu persis lewat hal-hal yang sepele. Dalam contoh kasus di atas, sangat jelas bahwa manusia terlarut dalam kebebasannya dan lupa akan tanggung jawabnya dalam menentukkan pilihan. 

Lagi-lagi menurut Sartre, kebebasan adalah sesuatu yang erat kaitannya dengan tanggung jawab, dan tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian Sartre sebenarnya mau mengatakan bahwa sebenarnya kebebasan yang dimiliki oleh manusia itu juga mengandaikan adanya suatu tanggungjawab. Kebebasan menuntut adanya suatu tanggungjawab yang sejatinya melekat pada kebebasan yang dimiliki oleh manusia.

Kebebasan yang ditunjukkan oleh para undangan dalam ilustrasi tersebut di atas adalah kebebasan yang terselubung dalam kepentingan diri. Semua tamu undangan menampilkan diri yang egois yang membuatnya menjadi rakus untuk mencicipi hidangan yang telah disediakan oleh tuan pesta. Persis di sini manusia menjadi obyek dari kebebasannya sendiri serta menjadi budak keegoisanya itu. 

Menu makanan yang telah disediakan itu sejatinya 'baik' adanya. Namun dianggap 'salah' setelah dikonsumsikan secara rakus tanpa ampun oleh manusia sebagai subyek yang bebas. Menu makanan sejatinya merupakan objek yang melaluinya manusia dapat menemukan nilai moral bagi dirinya sendiri. 

Makanan sebagai objek di mana manusia dapat mengadaptasikan dirinya untuk menemukan hal yang baik dan buruk. Baik dalam arti apabila makanan itu dapat membantunya untuk menyehatkan badan dan buruk apabila makanan itu dapat mendatangkan sakit dan kematian. Karena itu, lagi-lagi bukan makananlah yang membuat manusia itu menjadi obyek dalam hal benar dan salah, melainkan bagaimana ia sebagai subyek yang berakal memposisikan dirinya untuk memilih dan mencicipi makanan itu secara rasional.    

Rasa nikmat, asin, asam, pahit dan sebagainya yang timbul dari rupa-rupa jenis menu makanan itu tergantung lidah yang mengecapnya. Manusia sebagai subyek 'perasa' dengan indera pengecapnya dapat menentukan mana rasa yang paling cocok seturut dengan kebutuhan perut. Karena itu untuk menentukan pengaruh baik buruknya menu-menu itu hendaknya sejalan dengan pertimbangan nalar yang kuat dan penuh kritis dan sedapat mungkin nalar selalu mendahului semua pilihan--pilihan itu.            

Kebebasan selalu bersamaan dengan keinginan. Keinginan setiap orang bermacam-macam dan sifatnya kontinuitas seturut dengan kebutuhan. Namun, terkadang manusia dalam mengekspresikan kebebasannya justru menjadi rapuh karena dikekang oleh keinginan-keinginan liar yang tak terbendungi. 

Keinginan-keinginan yang liar ini muncul ketika manusia tidak lagi memandang dirinya sebagai makhluk yang berakal melainkan lebih pada diri yang buas layaknya 'binatang'. 

Manusia tidak lagi mampu untuk mengontrol diri, karena hawa nafsu telah terlanjur menguasainya lebih dulu. Manusia menjadi makhluk yang penguasa dan otoriter. Misalnya dalam ilustrasi menampilkan bahwa semua undangan asyik menikmati sate, daging rendang, ikan bakar dan babi guling. 

Menu yang disediakan ini sejatinya merupakan berasal dari daging yang diperoleh dari hewan atau binatang baik yang dipelihara maupun yang ditangkap dari hutan. Hewan-hewan ini dibantai secara masal demi menghasilkan daging yang lezat dan menarik perut tiap orang dalam tenda pesta. 

Barangkali dalam konteks ini jika dilihat secara lebih mendalam dapat disimpulkan bahwa manusia dan binatang adalah sama-sama makhluk ciptaan Tuhan yang saling berelasi satu sama lain. Namun, dalam menjalin hubungannya ini manusia justru menampilkan hubungan sama seperti hubungan antara Hitler dengan orang-orang Yahudi pada dekade 1933 sampai 1945 di Jerman. 

Singkat kata, manusia melakukan pembunuhan massal yang biadab pada jutaan hewan setiap harinya, demi memuaskan nafsunya sendiri atas daging dan kenikmatan sesaat semata. Inilah ironi kebebasan manusia yang sangat tragis dan penuh dengan nafsu kuasa yang membelenggu dan menyesatkan.          

Kemudian, 'semua makanan diambil tanpa ampun'. Ketika berhadapan dengan berbagai jenis menu hidangan yang telah disediakan, semua undangan tanpa berpikir panjang lagi untuk langsung menyerbu dan menyantapnya. Bisa saja karena penasaran akan cita rasa dari tiap-tiap jenis menu makanan ataupun karena daya tarik menu makanan yang mampu 'menjinakkan mata dan memanjakan perut'. 

Bisa juga karena memang perut sudah tak mampu lagi menahan rasa lapar. Hal ini mau menunjukkan bahwa manusia sedang dikuasai oleh hasratnya untuk menguasai semua menu hidangan. Manusia menjadi makhluk yang perakus yang ingin menguasai semua jenis hidangan itu. Lalu kemudian, manusia menjadi semakin 'buas' dan liar dalam kerakusannya itu. 

Lagi-lagi kebebasan yang diekspresikan di sini adalah kebebasan yang lepas dari pertimbangan etis dan bersifat irasional. Manusia tidak lagi menampilkan diri sebagai makhluk yang 'rationale' melainkan lebih pada sisi 'animale'nya.

Oleh karena itu keinginan yang liar pada hakikatnya merupakan awal dari kejatuhan manusia itu sendiri sebagai makhluk yang berakal. Dalam ilustrasi di atas, menceret dan sakit perut bukanlah semata-mata karena makanan yang dicicipi melainkan pertama-tama karena nafsu untuk menguasai setiap jenis hidangan yang disediakan. Akibat daripadanya adalah semua para undangan menjadi panik seketika dan langsung kumat dengan gejala sakit perut hingga menceret lalu akhirnya membuang kotoran secara tak teratur tanpa adanya rasa malu. Nilai moral kemanusiaan telah terdegradasi oleh hal-hal yang mestinya tidak perlu.

Sebagai titik temu dari persoalan pokok yang dibahas tersebut yakni, hendaknya konsep kebebasan perlu dibangunkan kembali. Memang dalam praktisnya kebebasan selalu ditantang oleh beragam pilihan dan keinginan. Namun menghadapi semuanya itu, pertimbangan rasio hendaknya selalu dinomorsatukan. Nalar sejatinya bertindak sebelum hasrat menguasai seluruh jiwa dan badan manusia. Ia hendaknya hadir sebelum hasrat membuai oleh tatapan yang tersihir oleh kenikmatan. 

Nalar yang etis seyogianya mampu mengkomando tubuh manusia untuk tidak berbuat semaunya dan mampu mnegekang segala niat buruk yang timbul dari hasrat dan nafsu. Mungkin, seperti yang dinyatakan oleh Heidegger, bahwa manusia tidaklah memiliki kehendak jahat, melainkan hanya tidak berpikir.

Pribadi yang bebas sejatinya bertanggung jawab terhadap segala pilihan yang ada. Supaya ia tidak jatuh pada pilihan yang salah, ia hendaknya mampu membentengi diri dengan akal budinya untuk mengekang segala keinginan yang liar, dan nalar selalu mempersoalkan aspek baik dan buruknya sebuah pilihan. 

Oleh karena itu, manusia di sini harus selalu berhati-hati karena dalam situasi-situasi tertentu atau yang sifatnya mendadak akal terkadang tak mampu bertindak secara kritis dan dalam hal ini hasrat menjadi lebih dominan. Bisa saja akal dapat dipergunakan untuk membiarkan diri pasif sehingga mudah untuk dirasuki oleh keinginan-keinginan yang liar. 

Hal ini sering dijumpai lewat hal-hal yang sepele seperti dalam contoh kasus tersebut di atas. Karena itu, sebelum manusia jatuh dalam keserakahan hawa nafsu, manusia harus mampu untuk mengontrol diri, mampu untuk bermawas diri dan selalu berwaspada dalam menghayati kebebasannya secara bertanggungjawab dan bijak.

Semoga bermanfaat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun