Mohon tunggu...
Konstantinus Aman
Konstantinus Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dilema Orangtua dalam Menentukan Nasib Anak

20 Februari 2020   00:54 Diperbarui: 21 Februari 2020   16:00 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi masa depan anak (Sumber: Shutterstock / Sunny studio)

Anak merupakan anugerah Ilahi yang sungguh mulia. Kehadirannya di tengah-tengah pasangan yang telah menikah merupakan sebuah kebahagiaan yang tiada taranya. Sebab demikianlah ukuran kebahagiaan sebuah keluarga adalah kehadiran sosok sang buah hati dari hasil perkawinan suami dan istri.

Kehadiran seorang anak terutama misalnya dari pasangan muda yang baru menikah sekitar satu tahun akan memunculkan banyak perubahan. Yang paling nampak misalnya suami dan istri mendapat panggilan baru sebagai ayah (papa) dan ibu (bunda) atau menjadi orangtua. 

Para tetangga, sahabat, rekan kerja dan lingkungan sekitar lebih akrab menyapa mereka dengan sebutan misalnya ayahnya Ani atau bundanya Ani (biasanya sapaan demikian berdasarkan nama anak sulung dari pasangan yang bersangkutan).

Orangtua dan anak sama-sama saling "menyandera"
Tentunya sebagai orangtua, membesarkan anak merupakan tanggung jawab yang paling besar. Perhatian utama mereka adalah menjaga, merawat, mendidik dan mengasuh anak. Kebebasan pribadi menjadi tersandera atau terbatas. Sebab anak selalu minta untuk diperhatikan dan diasuh secara seksama. 

Misalnya selama bulan-bulan pertama, seperti waktu tidur terus menerus diganggu oleh bayi kecil. Sebagian besar modal dikeluarkan untuk membiayai seluruh kebutuhan bayi kecil. 

Hal ini pun akan semakin terasa bila anak telah memasuki masa sekolah, orangtua pastilah ekstra keras berjuang, bahkan hingga berkorban di luar batas demi menyekolahkan anaknya, bahkan kalau bisa hingga ke luar negeri.

Ketika perhatian atau fokus utama dari semua orangtua adalah anak, maka secara tidak langsung mereka telah membiarkan dirinya untuk "disandera" oleh anak. Namun penyanderaan ini bukan dalam artian negatif yang membebankan atau merugikan melainkan justru menyenangkan.

Menyenangkan karena semua tanggung jawab, perhatian dan pengorbanan termasuk kasih sayang yang diberikan kepada anak-anak merupakan bukti manusia yang tidak egois. 

Sebab cukup banyak kejadian dari pasangan suami istri yang tidak menghendaki kehadiran anak dengan dalil biar karier tidak terganggu, supaya bebas bepergian kemana saja dan lain sebagainya. 

Sehingga bukan tidak mungkin metode kontrasepsi modern selalu menjadi pilihan utama mereka. Sebut saja seperti penjualan obat aborsi ilegal yang marak terjadi sekarang. Dengan begitu, pasangan demikian merupakan bukti manusia yang egoistis.

Namun, pasangan-pasangan semacam itu tidak banyak. Jauh lebih banyak pasangan yang membiarkan diri disandera oleh anak, dengan segala konsekuensinya. Dan fenomena ini tampak di segala zaman, di setiap tempat dan di semua kebudayaan.

Ilustrasi: Hyper parenting (Tirto.id)
Ilustrasi: Hyper parenting (Tirto.id)

Tanggung jawab mengasuh dan membesarkan anak bukan semata-mata karena alasan warisan biologis atau anak sebagai darah daging dari orangtua sendiri.

Seperti yang Hegel (sang filsuf abad ke-19) ungkapkan bahwa dalam diri anak orangtua mengakui dirinya sendiri. Atau anak merupakan orangtua, tetapi di luar dirinya atau dalam bentuk lain. 

Ini berarti orangtua mesti memahami sisi lain dari hubungan mereka dengan anak-anak mereka. Memang cukup pelik bila orangtua harus mengakui bahwa anak dilihat sebagai "orang lain".

Sebab pada dasarnya mereka tidak mau mengizinkan anaknya untuk menentukan nasibnya sendiri. Mereka tidak menghendaki untuk mendidik anaknya sebagai makhluk yang bebas yang memilih jalannya sendiri. Sehingga kalau sudah dewasa pun, masih ada orangtua yang turut mencampuri segala seluk beluk kehidupannya.

Dengan demikian, sampai di sini peran penyandera sudah bukan pada anak-anak lagi, melainkan orangtua yang menyandera hidup dan kehidupan anaknya. 

Lalu, bagaimana persisnya keadaan saling sandera dan menyandera yang dimaksudkan tersebut?

Jika sejak dari kelahiran hingga anak memasuki usia dewasa, orangtua tentu memusatkan seluruh perhatiannya hanya kepada mereka. Orangtua harus pandai mengatur waktu yakni: antara waktu pribadi, jam kerja dengan waktu bersama-sama dengan buah hati mereka. 

Beban pikiran semakin menumpuk. Singkatnya, segala aktivitas, pikiran dan waktu secara masif  terkendali demi penentuan nasib si buah hati. Artinya, dalam hal ini orangtua telah disandera oleh anak mereka sendiri.

Sebaliknya, ketika anak telah menginjak usia dewasa, sudah bisa mandiri atau sepatutnya telah mampu untuk memilih dan menentukan nasib hidupnya sendiri, orangtua malah mencampuri semua hal yang berkaitan dengan kebebasannya. 

Mulai dari penentuan soal jurusan pada saat kuliah, memilih pekerjaan yang dianggap bagus hingga kebebasan dalam memilih jodoh semuanya justru dikendalikan oleh orangtua. Sampai di sini, peran penyandera bukan lagi pada anak melainkan pada orangtua.

Hampir pasti bahwa, kedua keadaan tersebut yakni orangtua dan anak sama-sama saling menyandera telah menjadi fakta umum yang kerap tidak disadari oleh keduanya. 

Dan secara empirik, keadaan tersebut justru melahirkan chaos tersendiri baik bagi orangtua maupun anak. Sering terjadi konflik mulai dari ketidakcocokan dalam hal-hal sepele hingga memuncak pada aspek yang luas yakni terkait kebebasan dan pilihan pribadi.

Akibatnya, tak sedikit orangtua yang menderita penyakit psikologis seperti fobia yang berlebihan pada nasib anak. Sedangkan pada anak, sering depresi hingga stres karena merasa diri diisolasi oleh orangtua mereka.  

Konflik demikian, apabila ditelusuri secara komprehensif ternyata penyebabnya adalah kedua hal tadi yakni karena saling "penyanderaan"  yang tidak disadari baik pada orangtua maupun anak.

Dalam konteks ini seyogianya kita merenungkan kembali kata-kata termasyur Khalil Gibran yakni:

"Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah putra dan putri kehidupan yang mendambakan dirinya sendiri. Mereka datang melalui Anda tetapi bukan dari Anda, dan walaupun mereka besertamu, mereka tidak menjadi milikmu. Anda boleh memberi mereka cintamu tetapi bukan pikiranmu, karena mereka mempunya pikirannya sendiri. Anda boleh menyediakan tempat bagi tubuh mereka, tetapi bukan jiwanya, karena jiwanya mendiami rumah masa depan, yang tidak mungkin Anda kunjungi, bahkan tidak dalam mimpimu. Anda boleh berusaha menjadi seperti mereka, tetapi janganlah menjadikan mereka seperti Anda. Sebab, kehidupan tidak menuju ke belakang dan tidak pula tinggal pada hari kemarin. Anda adalah busur dari mana anakmu dilepaskan bagaikan panah hidup". (dikutip dari dari tulisan K. Bertens dalam buku Sketsa-Sketsa Moral).

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun