Mohon tunggu...
Konstantinus Aman
Konstantinus Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Realitas "Tungku Cu" dalam Perjodohan Manggarai

18 Februari 2020   22:46 Diperbarui: 20 Februari 2020   05:25 3109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi sepasang kekasih. (sumber: pexel)

Keluarga merupakan sebuah institusi di mana sekelompok manusia dipersatukan oleh ikatan perkawinan, hubungan darah atau adopsi, membentuk suatu rumah tangga atau tinggal di bawah satu atap.

Berhubungan satu sama lain seturut peranan mereka sebagai suami dan istri, bapa dan mama, putra dan putri serta saudara dan saudari  dan menciptakan, mempertahankan dan menghayati kebudayaan yang sama. Lalu kemudian dikelompokan ke dalam dua jenis berdasarkan keanggotaannya yakni, keluarga inti dan kelurga luas. 

Keduanya memiliki ciri khas tersendiri yakni terkait dengan ruang lingkup dan jalinannya. Kemudian untuk membentuk sebuah institusi keluarga yang ideal tentu harus melalui berbagai tahap. Salah satu tahap yang sangat penting itu adalah tahap perkawinan. 

Dalam tahap ini ada beberapa langkah yang seharusnya ditempuh oleh individu-individu yang hendak membangun kehidupan berkeluarga itu antara lain: perkenalan, berpacaran, pertunangan hingga akhirnya perkawinan. Tahap-tahap ini harus dilalui secara baik demi terjadinya sebuah perkawinan yang benar-benar matang.

Aspek penting dalam sebuah proses perkawinan adalah tentang pemilihan jodoh. Sebagaimana dalam anggapan klasik bahwa jodoh itu sebenarnya ada di tangan Tuhan dan Tuhan yang mengatur. 

Gambar: Congkasae.com
Gambar: Congkasae.com
Ungkapan ini sejatinya merupakan sebuah protes dari muda-mudi yang memiliki otoritas penuh dalam pemilihan jodoh dan bukan ditentukan oleh pihak-pihak tertentu dalam kebudayaan tertentu. Misalnya dalam kebudayaan Manggarai dahulu mungkin juga hingga sekarang sangat terkenal dengan istilah "tungku cu".

Saya sendiri belum tahu secara pasti arti dan makna yang sesungguhnya dari tungku cu dalam perjodohan muda-mudi Manggarai sejak nenek moyang dahulu.

Namun, sepintas dalam benak dan juga pergulatan saya bahwa istilah ini kerap dipakai dalam hal perjodohan yang ditentukan oleh pihak tertentu. Umumnya dilakukan oleh orang tua dari masing-masing pasangan berdasarkan hubungan kekeluargaan.

Tujuan utama dari perjodohan tungku cu adalah agar tetap terjalinya tali kekeluargaan dan persaudaraan masing-masing keluarga dari setiap pasangan.

Misalnya putri dari om dan tanta dijodohkan oleh orang tua mereka dengan putera dari paman dan bibi dalam lingkaran keluarga besar mereka. Perjodohan yang demikian tentunya memiliki banyak keuntungan diantaranya yakni: 

1) Tali kekeluargaan dari masing-masing pihak tetap terjalin kuat dan tidak terputuskan;
2) Memudahkan putra dan putri mereka dalam mencari dan mendapatkan jodoh. 

Dalam hal ini, baik laki-laki maupun perempuan tidak mengalami kesulitan untuk menemukan jodoh mereka.  Orang tua dan juga keluarga merekalah yang dapat mengatur semuanya.

Mereka memiliki hak penuh dalam mengikat tali perjodohan putra dan putri mereka sendiri. Faktor-faktor inilah yang senantiasa membuat kebudayaan Manggarai sangat kental dengan kekeluargaannya.

Namun seiring berjalannya waktu dan berkembangnya wawasan pengetahuan khususnya studi-studi khusus dalam ilmu terapan yang membahas secara spesifik mengenai keluarga bahwa, perjodohan yang demikian sejatinya tidak diperkenankan lagi untuk dilaksanakan karena tidak sesuai dengan langkah-langkah yang ditempuh dalam perkawinan.

Seperti yang paling pertama itu tahap perkenalan di mana pemuda dan pemudi saling berinteraksi satu sama lain hingga mereka sendiri dapat menemukan banyak kecocokan baik dari segi sifat, tampang juga perilaku dari masing-masing pemuda dan pemudi.

Setelah saling menemukan sifat atau karakter yang dianggap cocok maka selanjutnya mereka boleh saling mengungkapkan perasaan hati untuk menjalin hubungan yang lebih dalam lagi yang dikenal dengan istilah berpacaran.

Tentu selama masa pacaran ini berlangsung, pemuda dan pemudi saling mengenal secara pribadi, memperkenalkan latar belakang kehidupan mereka dan sebagainya.

Gambar: Quote Amor
Gambar: Quote Amor
Apabila semuanya berjalan positif serta saling bersesuaian satu sama lain, maka langkah selanjutnya itu adalah pertunangan. Pada saat inilah pasangan bersangkutan memutuskan untuk mengikat diri dalam perkawinan. Lalu setelah pertunangan berlangsung langkah terakhirnya itu adalah perkawinan.

Inilah langkah-langkah penting ketika pasangan muda-mudi mencari dan menemukan jodoh mereka sendiri tanpa dipaksakan oleh kehendak orang lain sebagaimana yang diterapkan dalam kebudayaan Manggarai tersebut yakni tungku cu.

Tak jarang dalam realitas khususnya dalam kehidupan berkelurga di Manggarai sebagai hasil dari perjodohan tungku cu tersebut kerap terjadi situasi yang sangat tidak berkenaan dengan apa yang diharapkan. Kehidupan rumah tangga mereka sering diwarnai dengan percekcokan akibat adanya ketidakcocokan antara suami dan istri dalam hal tertentu. 

Bahkan hampir setiap hari mereka selalu ribut dan saling mengoceh adu mulut akibat hal-hal yang tidak bersesuaian dari keduanya hingga akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah atau bercerai.

Memang dalam realitas lainnya bahwa ada juga pasangan kelurga tertentu yang kehidupan berkeluarganya sangat tentram dan damai. Bahkan kerap mereka menjadi model bagi keluarga-keluarga lainnya sebagai keluarga yang harmoni, karena dalam diri mereka banyak menemukan kecocokan.

Namun keluarga yang demikian tidak banyak ditemukan khususnya yang berada di desa-desa atau di pedalaman. Dengan demikian bagaimanapun juga, saya sendiri sejatinya kurang menyetujui dengan sistem perjodohan Manggarai yakni tungku cu dengan berbagai pertimbangan. 

Pertama, sistem tungku cu sifatnya memaksa para pemuda dan pemudi untuk dijodohkan yang mana sebetulnya tidak sesuai dengan keinginan dan kemauan hati mereka masing-masing melainkan hanya demi tetap terbangunnya tali kekeluargaan yang erat. 

Hal ini bukan tidak mungkin dapat menyebabkan kehidupan keluarga yang tidak harmoni dan dampaknya sangat besar bagi perkembangan diri mereka akibat perjodohan yang dilakukan bukan karena atas dasar cinta melainkan karena paksaan.

Kedua, pemilihan jodoh melalui budaya tungku cu juga mempengaruhi ketergantungan dari pasangan dengan orang tua mereka. 

Dalam hal ini mereka tidak mampu untuk membangun keluarga secara mandiri atau berdikari, tetapi selalu saja bergantung pada orang tua mereka masing-masing. Bahkan orang tua pun turut mencampuri urusan rumah tangga mereka sendiri.

Oleh karena itu, dari segi sosiologisnya bahwa pemilihan jodoh itu sejatinya merupakan hak dari para pemuda dan pemudi untuk secara bebas mencari dan menemukan jodoh mereka sendiri.

Artinya di sini para muda-mudi yang hendak kawin memiliki ruang yang bebas dalam menemukan jodoh mereka yang sesuai dengan kehendak dan kemauan mereka sendiri. 

Selain mereka mampu untuk belajar mandiri juga mereka benar-benar matang baik secara material maupun spiritual untuk membangun kehidupan keluarga yang harmoni.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun