Mohon tunggu...
Konstantinus Aman
Konstantinus Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hujan, antara Berkah atau Kutukan?

28 Januari 2020   08:43 Diperbarui: 28 Januari 2020   08:51 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari-hari ini semua warga Indonesia sedang direpotkan oleh guyuran hujan yang tak menentu. Dari Sabang sampai Merauke telah mengalami curah hujan dengan intensitas yang berbeda-beda.  

Sebagai negara tropis, Indonesia hanya memiliki dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau. Berlangsungnya musim kemarau bersamaan dengan bertiupnya angin musim timur yang terjadi antara bulan Maret dan September. Namun, musim kemarau di Indonesia kebanyakan berlangsung antara bulan April sampai bulan September. 

Sedangkan musim hujan terjadi karena bertiupnya angin musim barat yang terjadi antara bulan September dan Maret. Dan hujan pun akan berlangsung antara bulan oktober sampai bulan Februari. (https:ilmugeografi.com/ilmu-bumi/iklim/pembagian-musim-di-indonesia).

Sekalipun pembagiannya demikian, namun akhir-akhir ini faktanya justru terbalik. Terkadang kemarau penjang terjadi di sepanjang tahun atau yang disebut dengan el nino. Semua daerah mengalami kekeringan yang menyebabkan terjadinya krisis dan bencana bagi lingkungan dan kehidupan (manusia). 

Seperti: krisis air minum, lahan pertanian kering menyebabkan bencana kelaparan, berhektar-hektar hutan hangus terbakar menimbulkan kabut asap melanda di mana-mana dan wabah penyakit kronis saluran pernapasan pada manusia, pemanasan global yang semakin kompleks dan lain sebagainya.

Sebaliknya, hujan mengguyuri seluruh wilayah Indonesia dalam tempo waktu yang tak menentu (el nina). Hujan melanda pada bulan-bulan yang seharusnya kemarau. Akibatnya krisis dan bencana lingkungan hidup terjadi dimana-mana dan mengancam semua kehidupan khususnya manusia. 

Sungai-sungai besar meluap menyebabkan banjir berketinggian atap rumah melanda kota-kota besar seperti semua kota di kepulauan Jawa terutama Jakarta. Semua lahan pertanian terendam banjir dan gagal panen, dan lain sebagainya.

Si malakama hujan 

Hujan merupakan sebuah peristiwa alam. Ia ada dalam dirinya dan berproses menurut hukum alam sendiri. Ketika kehidupan di atas bumi ini semakin berkembang pesat, hujan mempunyai andilnya tersendiri. Dalam hal ini antara hujan dan kehidupan memiliki hubungan mutalisme yang permanen dan absolut.

Satu sisi, hujan telah menyumbangkan pengaruh yang begitu besar bagi kehidupan. Dengan hujan semua tumbuhan tumbuh segar dan menghasilkan buah. Hujan juga menyumbangkan kehidupan bagi semua jenis fauna. Ekosistem di sungai tetap terjaga dan permukaan air laut pun selalu stabil. Semua biota di darat dan di laut selalu terjaga dengan baik.

Manusia untuk mempertahankan hidupnya juga bergantung pada hujan. Para petani bisa memulai menanam bila hujan mengguyur. Semua padi di sawah menjadi subur, segar dan menghasilkan beras yang baik untuk dikonsumsi semua orang. 

Begitu juga untuk komoditas lainnya juga bisa tumbuh dan berbuah bila adanya 'campur tangan' hujan di dalamnya. Rumput-rumput tumbuh segar menguntungkan para gembala ternak. Hutan terjaga, mata air selalu lancar dan manusia pun bisa mempertahankan hidup. Semuanya adalah berkah dari hujan.   

Berkat hujan juga manusia mampu menciptakan teknologi seperti pembangkit listrik tenaga air. Dalam hal ini guyuran air hujan memenuhi semua kali dan selanjutnya dimanfaatkan oleh manusia untuk menghasilkan energi listrik. Dengan adanya listrik, semua pekerjaan menjadi ringan untuk diselesaikan. Dan masih banyak dampak positif lainnya dari hujan yang dikembangkan oleh manusia untuk menunjang semua kebutuhan hidup.

Sebaliknya di lain sisi, hujan justru dilihat sebagai sebuah bencana. Hujan yang deras terutama dalam tempo yang tak menentu menyebabkan bencana besar bagi kehidupan. 

Pertama, terhadap lingkungan hidup. Tanah menjadi longsor menyebabkan infrasutruktur dan rumah hunian manusia berantakan, semua sungai besar di kota seperti di Jakarta meluap dan banjir melanda seluruh kota. Akibatnya, keseimbangan ekosistem di darat dan di air terancam. Wabah penyakit muncul dan menyerang manusia seperti kudis, kurap, diare dan lain sebagainya.

Kedua, dalam bidang ekonomi, semua aktivitas produktif warga menjadi terhambat. Kantor-kantor ditutup. Penghasilan para pengusaha tersendat. Semua proyek molor. Petani tidak bisa menanam dengan baik. 

PNS menjadi diam di tempat dan para politisi mendengkur di rumah empuk karena hujan deras yang terus mengguyur. Hujan deras yang menyebabkan banjir menghanyutkan semua rumah milik warga dengan semua barang berharga lainnya. Semua kerugian terhitung dalam milyaran bahkan triliunan Rupiah.

Ketiga, dalam bidang politik, hujan deras yang mendatangkan banjir di kota-kota seperti di Jakarta dan sekitarnya melahirkan konflik kepentingan antara warga dan pemangku kekuasaan dalam hal ini pemerintah. 

Orasi kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah yang lalai dalam menanggulangi bencana banjir kerap kali terjadi. Kekacauan frontal antara sesama elite politik terkait cara pandang masalah banjir hingga munculnya kebijakan yang mengambang. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menjadi luntur. Dan lain sebagainya.

Paradoks lainnya, hujan dilihat sebagai sesuatu yang menguntungkan serentak merugikan. Dalam situasi dan kondisi tertentu, hujan yang terus mengguyur menguntungkan bagi segenap pihak lain dalam melangsungkan pekerjaan justru dipandang petaka bagi yang lainnya. Hujan telah menciptakan sebuah beban yang menghalangi aktivitas. Atau pada saat hujan mereka justru mendambakan kemarau.

Dalam konteks seperti ini maka terciptalah praduga irasional pada masyarakat kelas akar rumput. Fenomena pawang hujan muncul di mana-mana, yang konon bisa mengatur saat kapan hujan boleh turun ataupun tidak. Dalam hal demikian, hujan telah menciptakan semacam sebuah paradoks.

Sampai di sini, hujan bagaikan buah malakama yang menyebabkan sebuah problem eksistensial bagi kehidupan dan peradaban manusia. Satu sisi hujan dialami sebagai sebuah berkah namun pada sisi lainnya justru dialami sebagai sebuah kutukan.

Kembali ke akar   

Akar dari semua persoalan tentang hujan adalah manusia. sebagaimana adanya, hujan merupakan peristiwa alam yang telah ada sejak alam semesta terbentuk. Ketika semua ciptaan ada dan manusia semakin bertambah banyak, hujan diproyeksikan seturut kepentingan manusia. Dengan demikian, dampak yang dibawa serta oleh hujan sejatinya akibat dari buah pikiran dan karya manusia sendiri.

Sejak awal para pemikir Cina meyakini bahwa melalui perwujudan potensinya, manusia dapat menemukan harmoni dan mencapai pemenuhan dalam relasinya dengan alam. 

Pertama, ia melibatkan kesempurnaan batiniah yang tercermin dalam damai dan keharmonisan relasinya dengan alam. Kedua, ia melibatkan tingkah laku lahiriah bermutu tinggi, yaitu kemampuan untuk hidup baik secara praktis, sambil menghormati dan menghargai konteks sosial eksistensi batiniah.

Lao Tzu mengatakan bahwa jika seorang tidak mengenal dan tidak hidup menurut hukum batiniah alam semesta yang disebutnya "normal", ia akan terpuruk dalam malapetaka. Akan tetapi dengan mengikuti norma alam semesta, segala sesuatu dapat tercapai.

Dengan demikian, hujan merupakan peristiwa alam yang normal. Entah dipandang sebagai berkah atau kutukan semuanya bergantung pada kesempurnaan batiniah untuk menerima dan mengalaminya. 

Sebagaimana si bijak yang mistis, yang meletakkan dasar Taoisme di atas: tidak mengetahui hal norma berarti ada tanpa dasar. Jadi, peristiwa hujan merupakan sesuatu yang normal.

Penyakit manusia di abad 21 ini adalah kehilangan cara pandang batiniah. Tolak ukur kehidupan adalah hal-hal lahiriah semata seperti kekayaan, kehormatan dan kekuasaan. Ketika bencana datang segalanya lenyap. 

Sikap antropesentrisme yang menguat adalah awal dari kejatuhan. Alam dipandang menurut kacamata ekonomi, politik dan pembangunan. Padahal hidup yang sesungguhnya adalah harus selaras dengan alam. Semuanya akan terwujud bila cara pandang batiniah menjadi pegangan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun