Mohon tunggu...
Amanda Zahra
Amanda Zahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Biology Student at Univesity of Indonesia

Selamat membaca!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Malacosteus niger atau Ikan Naga Hitam: Ikan Laut Dalam yang Mampu Memendarkan Cahaya dari Mangsa yang Dimakannya

29 Desember 2021   23:54 Diperbarui: 30 Desember 2021   00:02 1509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Nature Picture Library 2016: 1)

         Laut merupakan salah satu ekosistem yang dihuni oleh berbagai organisme dengan kemampuan untuk beradaptasi terhadap beberapa faktor abiotik (kadar garam, arus, suhu, tekanan, dan sebagainya). Ekosistem ini memiliki stratifikasi yang cukup kompleks, yaitu secara vertikal (ada tidaknya cahaya) maupun horizontal (terkait tinggi rendahnya kedalaman). Salah satu bagian dari ekosistem ini yaitu bagian laut dalam, yang pada hakikatnya tidak ada cahaya (afotik) dan kedalaman tinggi (abisal-hadal). Meskipun tidak ada cahaya dan banyak tekanan dari berbagai faktor abiotik, nyatanya terdapat banyak organisme yang mampu hidup pada ekosistem laut dalam tersebut. Salah satu organisme laut dalam yang akan dibahas kali ini yaitu ikan naga hitam atau dengan nama latin Malacosteus niger. 

Malacosteus niger

               Spesies ini merupakan salah satu spesies yang hidup di ekosistem laut dalam dan merupakan top predator atau predator puncak. Spesies yang berasal dari famili Stomiidae ini memiliki rahang yang panjang dengan ukuran yang lebih besar 20% dari ikan laut dalam pada umumnya. Berdasarkan kedalamannya, spesies seringkali ditemukan pada kedalaman >600 m dan spesies mengonsumsi sebagian besar kopepoda (zooplankton). Malacosteus niger tidak mampu bermigrasi secara vertikal, sehingga ia hanya mampu bertahan pada kedalaman tertentu dengan kondisi lingkungan yang cocok dengannya.

Karakteristik morfologi

Berdasarkan morfologinya, M. niger memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:

  • Rahang panjang dengan celah bukaan mulut yang lebar yang mampu terbuka hingga 120° serta lebar mandibula yang sangat tipis (<1mm). Rahang yang panjang dan longgar (loose jaw) digunakan spesies untuk dapat menangkap mangsa yang sulit ditangkap atau bahkan yang berukuran lebih besar dari ukuran tubuhnya. Rahang yang longgar mengurangi hambatan pada rahangnya sehingga rahang dapat tertutup dengan cepat.
  • Gigi besar dan bertaring
  • Tidak adanya membran ethmoid atau tidak ada dasar rongga mulut (floor oral cavity), melainkan digantikan oleh adanya otot protactor hyoideus
  • Tidak ada insang
  • Adanya organ tambahan  yaitu fotofor yang mampu memendarkan cahaya (bioluminesensi) untuk komunikasi dan deteksi mangsa
  • Adanya symphyseal membrane yang juga memungkinkan rahang menutup dengan cepat saat melakukan pemangsaan (performa rahang cepat)

 Tampak bawah rahang; membran symphyseal (sm) dan otot protactor hyoideus (ph) (Sumber: Kenaley 2012: 226)
 Tampak bawah rahang; membran symphyseal (sm) dan otot protactor hyoideus (ph) (Sumber: Kenaley 2012: 226)

Mekanisme dan pola makan

Skema mekanisme dan posisi saat M. niger memangsa             (Sumber: Kenaley 2012: 225)
Skema mekanisme dan posisi saat M. niger memangsa             (Sumber: Kenaley 2012: 225)

               Spesies dengan rahang yang longgar ini seringkali memakan mangsa dengan ukuran yang besar dan bahkan tak jarang bahwa mangsa lebih besar dari ukuran tubuhnya. Pemangsaan terhadap spesies berukuran besar mencerminkan ciri famili Stomiidae. Akan tetapi, terdapat sedikit perbedaan pada Malacosteus niger yaitu bahwa spesies ini sering memakan kopepoda besar pula.

                Mekanisme makan terhadap mangsa tersebut dibantu dengan beberapa bagian tubuh spesies yang memiliki fungsi tertentu (otot dan membran pada mulutnya, serta fotofor). Mekanisme makan diawali dengan melakukan deteksi terhadap mangsa (target) terlebih dahulu, yang dibantu oleh fotofor. Pendaran cahaya (bioluminesensi) yang dipancarkan oleh spesies akan menunjukkan keberadaan mangsa, maka dengan segera spesies akan bergerak menuju spesies target dan mulai membuka mulutnya pada jarak tertentu. Rahang yang longgar dari M. niger tersebut akan terbuka lebar dan mangsa tanpa disadari telah masuk ke dalam mulut spesies karena tidak adanya dasar mulut sehingga hal ini seperti jebakan bagi mangsa. Kemudian dengan bantuan otot protactor hyoideus dan membran symphyseal (karena tidak adanya dasar mulut), rahang akan menutup secara cepat agar mangsa tidak dapat keluar dari mulutnya.

               Berdasarkan pola makannya, spesies ini memiliki siklus diurnal yang memungkinkannya untuk mengosongkan saluran pencernaan secara rutin. Siklus diurnal tersebut ditunjukkan yaitu bahwa pada malam hari sistem pencernaannya terisi penuh (setelah memangsa) dan pada sore di keesokan harinya sistem pencernaan kembali kosong sehingga harus mencari mangsa lagi. Pada saat fase remaja (juvenile), spesies akan cenderung lebih banyak memakan krustasea kecil (microcrustacea) dan setelah dewasa nantinya ia akan berganti pola makan yaitu menambahkan ikan-ikan besar pula sebagai sumber utama makanannya (piscivory).

Sumber makanan atau mangsanya 

               Spesies pada famili Stomiidae umumnya lebih sering memangsa organisme berukuran besar dan menjadikannya sebagai sumber makanannya. Sedikit berbeda dari spesies pada familinya, spesies M. niger ternyata tidak hanya memakan mangsa berukuran besar namun juga seringkali memangsa sebagian besar kopepoda (zooplankton). Pada suatu penelitian yang telah dilakukan terhadap perilaku makan spesies ini dikatakan bahwa sebesar 9-47% biomassa spesies berasal dari pemangsaan terhadap kopepoda tersebut. Kopepoda yang dimakan oleh spesies M. niger ini merupakan kopepoda yang mampu bermigrasi secara vertikal sehingga mampu mencapai kedalaman tinggi dimana spesies M. niger berada, baik kopepoda dewasa maupun hampir dewasa (near-adult). Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi disini yaitu bahwa kopepoda bukan merupakan sumber makanan utama bagi spesies, melainkan mangsa yang berukuran lebih besar yang menjadi sumber makanannya.

             Meskipun begitu, kopepoda sebagai sumber makanannya ini juga memiliki peran yang sangat penting. Peran penting tersebut yaitu sebagai sumber makanan sekunder bagi spesies untuk menjaga kalori tubuhnya sehingga mampu bertahan pada kedalaman tertentu sebelum akhirnya ia memangsa organisme yang lebih besar. Selain itu juga peran lainnya yaitu untuk kebutuhan fotosensitizer yang dimiliki spesies yang mana hal ini untuk ketajaman penglihatannya. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa kopepoda ini seperti camilan untuknya sebelum akhirnya ia memakan mangsa yang lebih besar.

Kopepoda (Paraeuchaeta norvegica) sebagai sumber makanan sekunder (Sumber: Sutton 2005: 2071)                 
Kopepoda (Paraeuchaeta norvegica) sebagai sumber makanan sekunder (Sumber: Sutton 2005: 2071)                 

Penglihatan dan bioluminesensi

             Berdasarkan penglihatannya, spesies memiliki mata dengan absorbansi puncak pada gelombang 425 – 460 nm. Tidak hanya mampu melihat cahaya dengan gelombang panjang, namun hal tersebut juga memungkinkan penglihatannya tajam dan kontras. Spesies juga mampu melakukan penglihatan secara binokuler sehingga memungkinkannya untuk melihat objek secara 3 dimensi. Selain itu, tidak hanya untuk meningkatkan sensitivitas terhadap gelombang panjang, tapetum (membran pada mata)  spesies M. niger ini yang berbasis astaxanthin juga mampu mencegah efek berbahaya (sitotoksisitas) yang terlibat pada fotosensitisasi pigmen penglihatan.

            Sementara itu, dekat mata spesies terdapat organ tambahan yang disebut sebagai fotofor yang mampu menghasilkan gelombang panjang sehingga pendaran cahaya (bioluminesensi) akan terlihat. Fotofor tersebut terdiri atas fotosensitizer retina yang berasal dari bakterioklorofil. Fotosensitizer tersebut merupakan molekul yang memungkinkan dihasilkannya pendaran cahaya dan membantu sensitivitas penglihatan spesies terhadap gelombang panjang.  Bioluminesensi berwarna merah dengan panjang gelombang >700nm dihasilkan oleh spesies yaitu untuk deteksi mangsa dan komunikasi intraspesifik (antara individu yang sama). Kombinasi sistem bioluminesensi dan penglihatan gelombang panjang menjadi karakter unik dari spesies ini. Sensitivitas penglihatan spesies M. niger ini didukung dengan mengonsumsi kopepoda tersebut.

Pendaran cahaya merah (bioluminesensi) M. niger serta proses berpendarnya cahaya tersebut (Sumber: Herring & Cope 2005: 385)                   
Pendaran cahaya merah (bioluminesensi) M. niger serta proses berpendarnya cahaya tersebut (Sumber: Herring & Cope 2005: 385)                   
Fotosensitizer retina (pigmen fotofor)

            Spesies laut dalam umumnya memiliki pigmen penglihatan tertentu terhadap gelombang panjang, namun tidak untuk M. niger. Spesies ini tidak memiliki pigmen penglihatan pada spesies laut dalam pada umumnya, melainkan digantikan oleh fotosensitizer yang menyerupai bakterioklorofil. Pigmen tersebut merupakan produk modifikasi dari klorofil yang didapatkan dari makanan spesies. Hal tersebut yaitu tepatnya didapatkan dari kopepoda yang dikonsumsi oleh spesies, dimana kopepoda terlebih dahulu telah memakan fitoplankton sebelum akhirnya dimangsa oleh M. niger. Maka dari itu, kopepoda adalah vektor yang menyediakan fotosensitizer yang tidak dapat disintesis oleh M. niger sehingga bioluminesensi dapat dihasilkan.

            Hingga saat ini tidak ada bukti bahwa bioluminesensi yang dihasilkan tersebut karena adanya gen tertentu yang terlibat dalam sintesis bakterioklorofi khusus untuk retina spesies, dan tidak ada bukti pula bahwa ada bakteri endosimbiotik pada mata spesies yang mungkin menyediakan bakterioklorofil tersebut. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa bioluminesensi dihasilkan murni karena sumber makanan spesies tersebut.

           Oleh karena itu, kondisi rahang yang longgar (loose jaw) merupakan bentuk adaptasi morfologi spesies. Hal tersebut karena rahang yang sangat panjang dan bertenaga lemah mampu untuk tertutup dengan mudah dan cepat, hal ini terkait dengan pengurangan hambatan pada rahangnya. Tanpa rahang bawah yang panjang maka perilaku makan tidak akan efektif.  Tanpa adanya penglihatan yang tajam, bantuan otot dan membran pada mulutnya, juga fotofor dan bioluminesensi maka aktivitas memangsa akan terhambat dan sulit dilakukannya.

Referensi:

Douglas, R. H., M. J. Genner, A. G. Hudson, J.C. Partridge, & H-J. Wagner. 2016. Localisation and origin of the bacteriochlorophyll-derived photosensitizer in the retina of the deep-sea dragon fish Malacosteus niger. Scientific Reports 6 (1): 1 – 12.

Herring, P. J, & C. Cope. 2005. Red bioluminescence in fishes: on the suborbital photophores of Malacosteus, Pachystomias and Aristostomias. Marine Biology 148 (2005): 383 – 394.

Kenaley, C. P. 2012. Exploring feeding behaviour in deep-sea dragonfishes (Teleostei: Stomiidae): jaw biomechanics and functional significance of a loosejaw. Biological Journal of the Linnean Society 106 (2012): 224 –240.

Nature Picture Library. 2016. Black dragonfish (Malacosteus niger) deep sea species with a light organ beneath its eye. Atlantic Ocean off Cape Verde. Captive. 1 hlm. https://www.naturepl.com/stock-photo-black-dragonfish-malacosteus-niger-deep-sea-species-with-a-light-nature-image01543210.html#: 29 Desember 2021. pk. 10.17.

Sutton, T. T.  2005. Trophic ecology of the deep-sea fish Malacosteus niger (Pisces:Stomiidae):An enigmatic feeding ecology to facilitate a unique visual system?. Deep-Sea Research I 52 (2005): 2065 – 2076.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun