Mohon tunggu...
Amanda Trianita
Amanda Trianita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Agama Islam

Saya merupakan pribadi yang menyukai isu-isu sosial dan pendidikan. Beberapa ide-ide yang saya miliki kerapkali saya tuangkan dalam bentuk tulisan, karena menulis merupakan hobi saya sejak kecil.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Duck Syndrome, Terlihat Sukses tapi Sebenarnya Stres

31 Januari 2024   14:49 Diperbarui: 31 Januari 2024   16:39 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tampak tenang, namun nyatanya tidak. 

Kondisi itulah yang cocok menggambarkan seseorang yang mengalami duck syndrome atau sindrom bebek. Sindrom bebek ini pertama kali ditemukan pada mahasiswa Stanford University, Amerika Serikat yang seringkali melakukan persaingan ketat dalam menjalankan studinya.

Istilah duck syndrome dianalogikan dengan seekor bebek yang berenang. Dari permukaan air, bebek terlihat tenang dan santai. Namun pada faktanya, bebek tersebut sedang mencoba mengayuh kedua kakinya dengan sangat keras untuk menjaga keseimbangan tubuhnya agar tidak tenggelam.

Sama halnya dengan orang-orang yang kerapkali kita temui di lingkungan sekitar. Ada beberapa individu yang terlihat begitu sangat tenang dan bahagia, seolah tidak memiliki masalah sedikitpun dalam hidupnya.

Namun, siapa sangka, di balik penampilan yang sempurna itu, mereka sebenarnya sedang berjuang keras untuk tetap bertahan menjalni hidupnya.

Dalam pengertian lain, duck syndrome adalah sebuah fenomena di mana seseorang terlihat baik-baik saja dari luar, tetapi sebenarnya ia menyimpan dan menyembunyikan perasaan tertekan dan masalah yang sedang dialami.

Kondisi ini bisa dialami oleh siapa saja, tetapi lebih sering terjadi pada orang-orang yang memiliki ambisi tinggi atau tuntutan hidup yang besar.

Kenapa bisa terjadi?

Seseorang yang mengalami duck syndrome biasanya tidak mau menunjukkan kesulitan atau kelemahan yang mereka miliki kepada orang lain. hal ini dilakukan agar mereka tidak dianggap lemah dan gagal oleh banyak orang, fenomena duck syndrome ini sebetulnya dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya:

Ekspektasi yang tidak realistis untuk memiliki banyak hal dalam satu waktu

Sebagai seorang manusia, seringkali individu dihadapkan pada berbagai tuntutan dan ekspektasi banyak orang. Adanya kecenderungan untuk memiliki semua hal dalam satu waktu dpat menjadi faktor timbulnya fenomena duck syndrome pada diri mereka. Hal ini dikarenakan seseorang merasa harus memenuhi standar atau tuntutan tinggi yang timbul dari dirinya ataupun orang lain.

Komparasi pencapaian

Komparasi pencapaian adalah suatu kondisi Dimana seseorang melakukan perbandingan antara apa yang telah ia capai denga napa yang telah dicapai oleh orang lain. kondisi ini dapat menjadi salah satu faktor timbulnya duck syndrome karena dapat menimbulkan perasaan tidak puas, iri, minder, hingga merasa tidak berguna.

Hal ini dapat menurunkan self-esteem atau harga diri seseorang dan mmebuatnya merasa harus berusaha lebih keras untuk mencapai standar atau ekspektasi yang tinggi. Sehingga tak jarang kita temui individu yang mengejar standar kesuksessan orang lain.

Pengaruh media sosial

Media sosial seringkali menjadi platform yang digunakan oleh banyak orang untuk memamerkan keberhasilan dan pencapaian mereka. Hal ini tentunya secara tidak langsung dapat menimbulkan tekanan bagi mereka untuk terus tampil “sempurna” dalam pandangan followers.

Tak hanya itu, beberapa orang juga seringkali membandingkan diri mereka dengan kehidupan orang lain di media sosial sehingga menimbulkan perasaan “tidak cukup” dengan apa yang telah ia miliki dan meningkatkan pressure berlebih bagi diri mereka.

Apa dampak dari duck syndrome?

Duck syndrome sendiri bukanlah diagnosis yang diakui secara resmi dalam bidang kesehatan mental. Namun, gejala yang berkaitan dengan duck syndrome seperti, stres, tegang, dan kesulitan dalam mengekspresikan perasaan dapat mengarah pada tanda-tanda kecemasan dan depresi yang perlu ditangani oleh professional kesehatan mental.

Orang yang mengalami fenomena duck syndrome seringkali membandingkan dirinya dengan orang lain dan merasa bahwa hidup mereka tidak seberuntung orang-orang. Perasaan-peraasan tersebut yang kemudian dapat berdampak negative dan mengganggu kesehatan mental indvidu.

Tak jarang bahwa individu yang mengalami duck syndrome merasakan ketidaknyamanan emosional dalam menjalani hari-harinya. Hal ini bisa menyebabkan mereka merasa kesepian, tertekan, cemas hingga depresi.

Selain itu, duck syndrome juga dapat menimbulkan perasaan tidak puas, kurang percaya diri, dan mudah iri dengan orang lain sehingga menyebabkan mereka kehilangan identitas diri dan cenderung melakukan hal-hal produktif untuk dapat membangun penilaian baik dari orang lain.

Bagaimana solusinya?

Duck syndrome dapat berdampak negatif bagi kesehatan mental dan fisik yang mengalaminya. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi duck syndrome, diantaranya:

  • Me time atau relaksasi untuk mengurangi stres.
  • Belajar mencintai diri sendiri dan tidak membandingkan diri dengan orang lain.
  • Mengurangi tekanan dan meningkatkan produktivitas untuk tujuan hidup diri sendiri.
  • Mencari teman cerita yang dapat memberikan dukungan emosional dan memperkuat kesehatan mental.

Persaingan hidup pada umumnya dialami oleh setiap orang yang hidup di dunia ini. Tetapi, hal tersebut tidak boleh dijadikan sebuah alasan untuk kamu membenci diri kamu sendiri!

Pada akhirnya, kalau semua orang di dunia ini membandingkan diri dengan orang lain, “semua orang akan merasa tertinggal”. Karena akan selalu ada “langit di atas langit”. 

Written by: Amanda Trianita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun