Mohon tunggu...
Amanda Syafira Iskandar
Amanda Syafira Iskandar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 23107030129

love things related to art and books.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

"I Want to Die But I Want to Eat Tteokpokki": Mencari Harapan dalam Makanan Favorit

21 Juni 2024   17:21 Diperbarui: 21 Juni 2024   20:44 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis Korea Selatan Baek Sehee menulis buku "I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki", yang menjadi perbincangan hangat karena memberikan perspektif pribadi penulis tentang masalah kesehatan mental, terutama depresi dan kecemasan. Buku ini menawarkan perspektif yang jujur dan terbuka tentang perjuangan hidup dengan gangguan mental serta bagaimana makanan---dalam hal ini tteokpokki---dapat menjadi simbol keinginan untuk tetap hidup dan mencari kenyamanan di tengah kesulitan.

Latar Belakang Buku dan Penulis
Penulis dan editor Baek Sehee bekerja di sektor penerbitan Korea Selatan. Baek menulis dalam bukunya tentang bagaimana dia menjalani terapi untuk mengatasi depresi dan kecemasan. Judul buku yang unik menggambarkan konflik batin yang dialaminya: di satu sisi, ia merasa ingin menyerah pada hidup, tetapi di sisi lain, ia menemukan kebahagiaan kecil dalam makan tteokpokki, makanan favoritnya.

Di Korea Selatan, tteokpokki adalah makanan jalanan yang populer yang terdiri dari kue beras yang dimasak dengan saus pedas dan manis. Makanan ini sering mengingatkan pada masa kecil dan kenyamanan, menjadi simbol yang tepat untuk keinginan hidup yang masih ada di tengah depresi.

Isi Buku dan Pendekatan Terapi
Percakapan antara Baek Sehee dan terapisnya adalah cara buku ini disusun. Pembaca diberi kesempatan untuk menyelidiki pikiran dan perasaan penulis selama sesi terapi ini, mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang sumber gangguan mental yang dialaminya, dan menemukan cara untuk mengatasi masalah tersebut. Percakapan tersebut dilakukan secara langsung, tidak menyembunyikan kesulitan dan keputusasaan yang dialami Baek.

Pendekatan yang digunakan dalam terapi ini mencakup Cognitive Behavioral Therapy (CBT), yang berfokus pada mengubah pola pikir negatif yang menyebabkan depresi dan kecemasan. Selama sesi tersebut, Baek dan terapisnya membahas berbagai topik, termasuk kecemasan sosial, perasaan tidak berharga, dan ketakutan akan masa depan. Pembaca akan memperoleh pemahaman tentang bagaimana CBT dapat membantu seseorang mengenali dan mengubah pikiran negatif yang berdampak pada kesehatan mental mereka melalui dialog ini.

Refleksi dan Interaksi dengan Pembaca
Salah satu kekuatan buku ini adalah kemampuannya untuk memberi pembaca perasaan bahwa mereka tidak sendirian dalam perjuangan mereka melawan gangguan mental. Baek Sehee tidak berusaha memberikan solusi cepat atau menyederhanakan masalah yang sulit, tetapi ia menunjukkan bahwa pemulihan adalah proses yang panjang dan sulit. 

Melalui pengalamannya, ia memberikan harapan bahwa dengan bantuan profesional dan dukungan dari orang-orang terdekat, adalah mungkin untuk menemukan cara untuk bertahan hidup dan bahkan menemukan kebahagiaan di tengah kesulitan.

Karena kejujuran Baek dalam menggambarkan perasaan dan pengalamannya, banyak pembaca merasa terhubung dengan kisahnya. Selain itu, dengan menunjukkan bahwa kecemasan dan depresi adalah masalah yang dapat dialami oleh siapa saja, terlepas dari latar belakang atau status sosial mereka, buku ini membantu mengurangi stigma seputar kesehatan mental.

Pentingnya Makanan sebagai Simbol
Sebagai simbol dalam judul buku, Teepokki memainkan peran penting dalam menyampaikan pesan bahwa hal-hal kecil dalam hidup dapat membawa kebahagiaan meskipun seseorang mungkin merasa putus asa. Dalam kasus ini, makanan berfungsi sebagai pengingat bahwa ada hal-hal yang masih bisa dinikmati dan dihargai meskipun keadaan semakin gelap.

Ini menunjukkan bahwa, dalam proses penyembuhan, sekecil apapun, menemukan hal-hal yang membuat Anda senang dan senang adalah penting. Baek menunjukkan bahwa mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan dasar dapat menjadi langkah pertama yang penting dalam pengobatan dan pengobatan gangguan mental.

"I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki" adalah buku yang berani dan penting untuk perdebatan tentang kesehatan mental. Melalui kisah pribadinya, Baek Sehee membuka mata pembaca untuk melihat dan memahami lebih dalam kecemasan dan depresi. Buku ini tidak hanya memberikan pengetahuan tentang metode penyembuhan dan terapi, tetapi juga memberikan harapan dan semangat bagi mereka yang menghadapi gangguan mental.

Dengan sentuhan kuliner yang unik, buku ini menunjukkan bahwa dalam hal-hal sederhana, ada harapan di balik keputusasaan. Ini adalah pengingat bahwa bahkan dalam sepiring tteokpokki, ada kebahagiaan yang bisa ditemukan dalam perjalanan hidup yang penuh tantangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun