Setiap pagi saat hendak memulai pekerjaan saya di sebuah coffeeshop, saya selalu ditemani dengan seorang ibu yang setiap pagi pula ia selalu membersihkan serta memungut sampah disekitaran area coffeeshop dimana tempat saya bekerja.
Sapaan serta senyumnya tidak pernah hilang disetiap pagi. Walau tampilannya lusuh dan kotor, saya selalu melihat keceriaan di wajah dan gelagat beliau.
Kita sebut saja beliau "Mamih". Orang-orang di tempat kerjaku bahkan tukang parkir, penjaga toko sebrang, warung kaki lima, dan seluruh pedagang kantin memanggilnya dengan sebutan Mamih. Mungkin, karena ia paling tua diantara semuanya. Kelihatannya tidak berkeluarga, tidak pernah nampak bersama pasangan maupun keluarganya. Hal itu pula yang terkadang menyakitkan untuk dipikirkan.
Memang pekerjaan mamih itu terkesan kotor dan menjijikan, bahkan kotoran kucing pun beliau yang membersihkan. Namun percayalah, sehari saja beliau tidak datang, sampah di area coffeshop serta tumpukan trashbag menumpuk dan dikerumuni lalat. Kami saja para pemuda tidak sanggup membersihkannya karena tidak tahu mau dibuang kemana, namun beliau melakukannya sendirian.
Setiap pagi sebelum pukul 06.00 Pagi, Mamih selalu sudah siap untuk pekerjaannya, terkadang owner kami memberikannya uang makan, makan siang, kami pun tidak jarang memberinya minuman minuman yang kadar gulanya rendah. Maklum, kami takut beliau punya diabet.
Beliau selalu berjalan kaki. Tidak kelihatan membawa alat transportasi apapun. Nampaknya, rumahnya memang dekat dengan coffeeshop tempat saya bekerja. Rumahnya sederhana, tepat dijalan kecil dibelakang stadion dekat warung kaki lima. Lumayan gelap, seperti suasana yang sangat sepi.
Saya tidak pernah lihat kemana perginya anggota keluarga beliau, tapi sedikit sungkan untuk menanyakannya secara langsung walaupun saya sudah dekat dengan beliau. Tapi semesta memang baik kepada saya, beliau bilang kangen bapak, nampaknya suami beliau telah meninggal 2 tahun lalu.
"Ibu kadang lupa, kalau ke makam bapak, angkotnya jurusan apa" ucapnya. Ingin sekali saya mengantarnya kesana, tidak terlalu jauh. Namun, saya hanya bisa bertemu dengan beliau di pagi hari saja, itupun harus sambil bekerja.
Makan sederhana, kadang kalau dibelikan makanan mewah, ia senang. Pernah sekali dia membawa nasi kotak, kami kira itu sampah, karena ia simpan di atas meja kosong. Kami belum membuangnya, ia terengah engah mencari kemana pergi nya plastik hitam berisi nasi kotak yang ia bawa. Sakit sekali rasanya melihat kejadian itu, akhirnya kami ajak ia makan bersama sembari bertukar cerita.
Hidupnya sepi, mungkin anak anaknya sudah merantau atau tinggal entah kemana, ia benar benar sendirian di dunia sebesar ini. Saya sedikit merasa lega karena beliau memiliki rutinitas, jadi tidak terlalu merasa kesepian. Pagi nya ia membereskan coffeshop dimana saya bekerja, siang menuju sorenya rupanya ia membantu stand stand dikantin belakang stadion, malamnya ia bisa beristirahat sembari membersihkan area lapang tenis.