Mohon tunggu...
Amanda S
Amanda S Mohon Tunggu... Konsultan - A full time worker. A part-time student and dreamer. A singing and dancing enthusiast. A cat and book lover:) follow me on twitter @amandaind .

A full time worker. A part-time student and dreamer. A singing and dancing enthusiast. A cat and book lover:) follow me on twitter @amandaind .

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengurangi Bias Konfirmasi Tidak Sulit, Hanya Perlu Berlatih

9 Januari 2018   14:10 Diperbarui: 9 Januari 2018   19:29 2729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam ilmu psikologi atau cognitive science, bias konfirmasi (confirmation bias atau confirmatory bias) bisa diartikan sebagai kecenderungan untuk mencari atau menginterpretasikan suatu informasi dengan suatu cara yang pada akhirnya akan mengkonfirmasikan dugaan atau asumsi seseorang, yang berujung pada suatu kesalahan.

Bias konfirmasi ini pada umumnya timbul ketika seseorang sudah memiliki suatu pandangan atau opini, maka selanjutnya orang tersebut akan mencari informasi yang bersifat membenarkan atau mengkonfirmasikan opininya dan menolak atau mengabaikan informasi lain yang tidak sesuai dengan opininya serta kemudian berhenti mengumpulkan informasi lanjutan jika merasa informasi yang telah dia peroleh sudah bisa mengkonfirmasikan bahwa opini atau dugaannya adalah benar.

Dewasa ini, bias konfirmasi ini bisa semakin diperburuk dengan timbulnya fenomena "echo chamber" yang disebabkan oleh penetrasi media sosial yang semakin meluas di kalangan masyarakat. "Echo chamber" adalah istilah yang banyak digunakan untuk menggambarkan suatu situasi dimana suatu atau beberapa dugaan atau opini diperkuat melalui pengulangan dalam suatu sistem tertutup, yang tidak memungkinkan pergerakan dugaan atau opini alternatif yang berlawanan dari dugaan atau opini yang sudah ada. 

Dalam suatu echo chamber, ada implikasi bahwa suatu opini bisa dianggap benar karena adanya ketidakadilan dalam pengumpulan informasi. Mengapa fenomena echo chamber berkaitan erat dengan media sosial? algoritma sumber berita yang ada di lini masa para pengguna media sosial pada umumnya terkait dengan minat mereka yang sudah ada sebelumnya, yang akibatnya akan mempersempit ragam sumber berita dan membuat mereka hanya terekspos pada informasi yang hanya membenarkan perspektif mereka, dan dengan demikian menciptakan "echo chamber". 

Riset yang baru-baru ini dilakukan oleh PNAS (Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America) berkaitan dengan fenomena ini menemukan bahwa pengguna media sosial memiliki fokus yang kuat hanya kepada jenis-jenis berita yang menarik minat mereka. 

Pengguna media sosial ini cenderung untuk membentuk komunitas yang solid, yang berkaitan dengan sumber berita yang mereka dukung dan juga berhubungan dengan orang-orang lain yang sependapat dengan mereka, tanpa melihat jarak geografi diantara mereka. Sebagai contoh, salah satu contoh media sosial yang populer, yaitu Facebook, memiliki pengguna yang pada umumnya hanya mengakses sedikit sumber berita di laman Facebook. Perilaku ini menyebabkan berita yang diperoleh oleh pengguna Facebook didominasi oleh paparan informasi yang terbatas dan cenderung bersifat memperkuat opini mereka yang sudah terbentuk.    

Perbedaan pendapat di kalangan masyarakat adalah sesuatu yang wajar dan tidak bisa dihindari, akan tetapi pembenaran terhadap suatu opini yang berdasarkan pada suatu fakta yang tidak benar, terkadang bisa menjadi sesuatu yang berbahaya bagi kesejahteraan masyarakat bersama. Contoh yang paling jelas pada kasus bias konfirmasi yang berdampak kurang baik adalah timbulnya opini antivaksin di Indonesia. 

Bisa kita bayangkan apa yang terjadi jika semakin banyak masyarakat yang mendukung gerakan antivaksin tersebut, hanya karena mereka merasa apa yang mereka yakini sudah benar ataupun hanya karena artis idola mereka juga mendukung hal tersebut, walaupun fakta-fakta yang ada nyatanya berbicara lain.   

Lalu bagaimana cara kita untuk mengurangi terbentuknya bias konfirmasi di tengah maraknya penggunaan media sosial, di tengah simpang siurnya berita hoaxmaupun berita media massa yang terkadang cenderung subjektif, yang beredar baik di dunia maya maupun beredar di grup WhatsApp? Ada beberapa poin berikut yang menurut penulis bisa mengurangi kemungkinan terbentuknya bias konfirmasi. Tidak mustahil dilakukan dan juga tidak sulit, hanya mungkin perlu berlatih lebih sering.

foto: www.pexels.com
foto: www.pexels.com
Berlatih berpikir mandiri dalam menentukan informed opinion.

Informed opinion disini maksudnya adalah opini yang terbentuk dari berbagai informasi yang diterima. Bagaimana cara berpikir yang mandiri dalam membentuk suatu opini? Caranya adalah kita harus bisa membedakan fakta dengan opini. Kemudian carilah informasi untuk menilai kebenaran fakta tersebut dari beragam sumber yang terpercaya dan bersifat netral. Setelah itu, barulah kita dapat menentukan opini kita sendiri atas hal tersebut.

Nah, apakah lantas kita harus selalu mempunyai opini terhadap fakta yang ada? Jawabannya adalah tidak. Kita jangan takut untuk tidak mempunyai opini terhadap sesuatu hal, jika informasi yang kita miliki masih belum lengkap. Kemudian, tidak semua hal dalam hidup ini juga dapat dikategorikan dalam kelompok hitam atau putih. Banyak hal yang masih dikategorikan abu-abu, sehingga kita juga diperbolehkan bersikap netral dalam menyikapi sesuatu.

Masih bingung? Mari kita gunakan contoh. Misalnya ada dua kalimat berikut ini: Didi mencuri uang milik tetangga dan Didi orang baik. Mencuri uang itu fakta karena Didi memang melakukan itu. Tapi kalimat " Didi orang baik" itu adalah opini. Pembentukan opini harus berdasarkan pada fakta-fakta yang ada.

Misalnya, apa alasan Didi mencuri? Apakah Didi memiliki keluarga yang kelaparan dan sangat butuh makan? Apakah uang yang dicuri dipakai untuk kesenangan pribadi Didi atau untuk memberi makan keluarganya? Dan lain-lain. Dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, setiap orang baru dapat menentukan opini berdasarkan pemikiran dan rasionalitas masing-masing. 

Sebagian orang mungkin tetap berpikir bahwa Didi orang jahat karena telah mencuri hak orang lain, tapi jika Didi mencuri untuk memberi makan keluarganya yang belum makan selama tiga hari, sebagian orang mungkin akan menganggap Didi orang baik. Perbedaan opini ini bukan sesuatu yang buruk selama opini tersebut dibentuk berdasarkan fakta-fakta yang terjamin kebenarannya (bukan hoax).

Berlatih untuk membuka pikiran. Belajar untuk memikirkan beberapa opini alternatif yang berlawanan dengan opini kita dan mencari bukti atau informasi lain yang bisa mendukung opini-opini alternatif tersebut.

Dalam metode penelitian dalam statistika, biasanya digunakan tingkat signifikansi sebesar 5% atau 10%, yang dapat diartikan juga sebagai tingkat kesalahan atau tingkat kekeliruan yang ditolerir oleh peneliti, yang diakibatkan oleh kemungkinan adanya kesalahan dalam pengambilan sampel.

Kesalahan pengambilan sampel ini bisa dianalogikan seperti kesalahan dalam menggunakan fakta yang digunakan untuk membentuk opini. Jadi jika kita memiliki suatu opini, janganlah berpikir bahwa opini kita adalah 100% benar dan opini orang lain yang berlawanan dari opini kita adalah 100% salah.

Berlatih mengenal orang-orang dari berbagai latar belakang.

Menurut psikolog, bias konfirmasi juga bisa timbul karena manusia cenderung bersifat lebih homogen, sehingga kita cenderung untuk berinteraksi lebih banyak dengan orang lain yang juga sependapat dengan kita.

Berkumpul dengan orang lain yang sepaham dengan kita memang lebih menyenangkan, tetapi terkadang cobalah untuk keluar dari zona nyaman tersebut dan berinteraksi lebih banyak dengan orang-orang dengan berbagai latar belakang. Misalnya saat kita melakukan traveling ataupun dalam membentuk lingkaran pertemanan di kuliah, tempat kerja dan lain-lain. Perbedaan latar belakang itu bisa menimbulkan beragam opini yang berbeda dengan opini kita, sehingga pikiran kita dapat lebih terbuka untuk menerima kemungkinan bahwa opini kita belum tentu seratus persen benar.

Berlatih mengakui kesalahan.

Jangan malu untuk mengakui kesalahan kita. Jangan merasa 'diserang' secara pribadi lalu menjadi defensif. Pahami bahwa selalu ada kemungkinan kita yang salah dalam membentuk opini. Melakukan kesalahan itu adalah sesuatu yang manusiawi. Perlu diingat juga bahwa dunia ini dinamis, bisa saja hal-hal yang dulu kita yakini benar sekarang sudah berubah kenyataannya. Segala kejutan bisa terjadi. Jika memang hal yang kita anggap sebagai fakta yang benar dan mempengaruhi kita dalam membentuk opini ternyata salah, jangan takut untuk mengubah opini kita.

sumber:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun