Beberapa  hari belakangan ini kita telah saksikan bersama terjadi sebuah dinamika politik yang cukup bergejolak antara koalisi capres dan cawapres yang akan mengikuti pemilu 2024. Anies baswedan yang sejak awal menjadi capres yang diusung oleh koalisi 3 partai yaitu Nasdem, PKS, dan Demokrat dalam koaslisi yang dinamakan koalisi Perubahan dan Persatuan. Pada tanggal 2 september secara tiba-tiba Bersama partai Nasdem dan PKB mendeklarasikan memilih Muhaimin Iskandar sebagai bacawapres . Cak Imin yang merupakan ketua umum partai Kebangkitan Bangsa padahal diketahui bersama berada pada koalisi yang mencalonkan Prabowo Subianto  bersama Partai Gerindra, dkk.
 Dua hari sebalum deklrasi resmi ini secara mengejutkan partai Demokrat mengeluarkan perss relese tertulis oleh Sekjend Partai Demokrat  terkait keputusan sepihak yang dilakukan partai Nasdem yang disetujui Anies baswedan untuk memilih Cak Imin menjadi wakilnya pada kontestasi pilpres 2024. Padahal secara 'tak resmi' Anies baswedan telah terlebih dahulu meminang ahy untuk mendampingi dirinya pada pilpres mendatanag.
Perss relese yang dikeluarkan partai Demokrat juga diikuti rapat mendesak yang dilakukan Majelis tinggi partai  yang kemudian menghasilkan keputusan bahwa Demokrat mencabut dukungan terhadap Anies baswedan serta menyatakan diri keluar dari koalisi perubahan dan perbaikan.  Hal  ini dilatarbelakangi oleh rasa penghianatan yang dianggap dilakukan oleh partai Nasdem dan AB dalam kesepakatan di dalam koalisi. Hal ini juga dibarengi dengan beredarnya secarik surat tulisan tangan permintaan Anies terhadap AHY untuk mendampingi dalam pilpres 2024. Belum lagi Segala konsolidiasi beruntun yang telah dilakukan pihak Anies dan AHY dianggap telah dikhianti.
AHY , Demokrat dan 'Penghianatan Politik'
Anies baswedan dan Nasdem sebagai penghianat yang di gaungkan oleh partai Demokrat, cukup menarik perhatian. Secara etika  'peminangan' yang dilakukan Anies meskipun memang terlihat secara tidak resmi,  tanpa kop surat serta tanpa disertai ttd partai-partai pendukung lainya memang menunjukan surat tersebut bukanlah sebuah surat keputusan koalisi secara resmi.Â
Segala manuver , kesepakatan, pertemuan yang telah dijalin juga tidak dapat dipungkiri membuat AHY dan Demokrat merasa kecewa dan menyebutnya terjadi penghianatan. Namun disisi lain kita ketahui Bersama dalam politik tidak ada yang tidak mungkin, sering kita mendengar istilah tak ada lawan sejati, dan kawan abadi semua hanya berdasarkan kepentingan.Â
Meskipun  secara etika Tindakan ini kurang  elok dilakukan oleh seorang bakal calon pemimpin negri.  Tentu  kondisi yang diketahui masyarakat luas ini  merugikan bagi Anies, kredibilitas dan integritas serta komitmen diri yang selama ini dianggap baik pun kemudian dipertanyakan. Sampai saat ini pun belum ada penjelasan terkait Kerjasama yang diabaikan sepihak dengan partai Demokrat selain menghormati pilihan yang tidak ingin bersama lagi dalam koaslisi. Adapun penjelasan dipilihnya Cak Imin secara singkat diceritakan Anies secara 'mendadak' pada sambutanya di hari deklarsi, disertai dengan menyebut Cak Imin sebagai 'the second victim' setelah dirinya.
 Manuvver yang dilakukan partai Nasdem dan Surya Paloh dalam menentukan keputusan bakal calon wapres untuk mendampi Anies secara 'sepihak' tidak hanya dinyatakan oleh partai Demokrat, partai dalam koalisi ini PKS dalam siaran persnya tanggal 2 september melalui juru bicara juga mengatakan keputusan tersebut mereka  ketahui seseuai dengan apa yang dikatakan  partai Demokrat dan memahami ketidak nyamana/kekecewaan partai Demokrat. Tentu kondisi ini menunjukan kurang atau bahkan tidak berdayanya Anies sebagai capres dalam menentukan pilihan dan hampir tidak ada perbedaan nya dengan istilah calon petugas partai yang popular dimasa ini. Anies yang dianggap memiliki intelektual cukup tinggi ternayat tetap 'tak berdaya' dalam menentukan bakal wakil presiden yang akan mendampi dia jika melihat keseriusan yang ditunjukan Anies dalam berkonsolidasi dengan AHY dan Demokrat.
Dinamika politik yang terjadi meskipun terkesan mengejutkan bagi masyarakat kebanyakan,  sebenarnya bukanlah barang aneh dalam perpolitikan. Negosiasi, Tarik ulur, pertimbangan yang dilakukan tiap kelompok maupun individu dalam menentukan sebuah keputusan tentu dipengaruhi banyak factor. Politik juga merupakan sebuah seni berbagai kemungkin yang tentunya bersifat sangat dinamis . Meskipun seharusnya  sebagai calon-calon pemimpin bangsa dapat memberikan pendidikan dan tontonan politik yang beretika kepada masyarakat.Ketika sekelompok elite pada 'langkah awal' yang mendukung pencalonan tokoh menunjukan 'pengkhianatan' dan minimnya etika dalam menjalankan Tindakan politiknya tentu bukanlah pendidikan politik yang baik bagi masyarakat .
Partai Demokrat tentu perlu melihat pelajaran berharga dalam kejadian ini. Sikap partai yang keluar dari koalisi memang cukup menunjukan bahwa Demokrat memiliki sikap tegas dan tidak mau 'dipermainkan'. Namun di sisi lain posisi Demokrat saat ini cukup mengkhawatirkan , meskipun dianggap masih bisa bergabung dengan koalisi lain untuk mendukung calon selain Anies, namun di sisa waktu yang tersisa  membuat Demokrat memiliki 'kebutuhan mendesak' yang diketahui kelompok lain untuk berkoalisi. Tentu hal ini  bisa  membuat posisi tawar Demokrat menurun dan terdesak atau dapat diisstilahkan 'mau join atau sendiri' . Selain itu , istilah 'baper, kurang dewasa, dan hanya demi kepentingan partai dsbnya siap-siap disematkan pada partai Demokrat oleh sebagaian masyarakat awam akan keputusanya tersebut. Â
Anies-Muhaimin  Masih Relevankah dengan 'Perubahan'?
Jargon perubahan selama ini ditawarkan dan jadi 'jualan'  utama dalam koalisi pendukunga Anies baswedan cukup patut dipertanyakan. Definisi perubahan dalam KKBI yang merupakana keadaan yang berubah tentu dalam konteks ini jargon perubahan yang digadang-gadang  memberikan harapan kepada masyarakat Indonesia akan adanya perubahan dan pembaharuan kondisi sosial politik , ekonomi dan sebagainya jika adanya peralihan kekuasaan.
Bukan menjadi rahasia lagi  bahwa sejak pemilu 2019 terjadi polarisasi besar-besaran di masyarakat dari kedua pendukung kubu capres yang saat itu hanya terdiri dari dua pasang calon. Polarisasi ini bahkan berlanjut sampai telah usainya pemilihan presiden. Namun Ketika kemenangan diperoleh oleh Jokowi, dan Prabowo-Sandi justru ikut bergabung kedalam pemerintahan serta mendapat jabatan menteri  justru menimbulkan kekcewaan di masyarakat dari kelompok pendukung mereka sendiri.
'Kekosongan' sosok yang dianggap konsisten diluar pemerintahan tentu membuat Anies muncul menjadi salah satu tokoh yang dianggap  layak menjadi calon presiden di 2024, dan menjadi sosok alternatif diluar koalisi pemerintahan saat ini. Partai pendukung dalam koalisi Anies pun pada awalnya terdiri dari  PKS dan Demokrat yang konsisten beroposisi dan tidak turut dalam koalisi pemenang pilpres. Tentu jargon yang digadang-gadang dengan perubahan dianggap menjadi harapan baru di pemilu 2024.
Dipilihnya Cak Imin yang merupakan ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa cukup membuat banyak orang terkejut. Selain diketahui  Cak Imin dan PKB merupakan pendukung bakal calon Prabowo dalam pilpres 2024 yang belum lama ia deklrasikan , juga saat ini ada dalam koalisi pemerintahan presiden Jokowi yang berada dalam koalisi pemerintahan 'lama'. Dimana mayoritas pendukung Anies saat ini menginginkan perubahan dalam arti yang  sesunguhnya. Masih relevankan jargon perubahan yang dipakai Anies jika wakilnya, merupakan 'orang-orang lama' yang juga melakukan 'perubahan haluan' secara tiba-tiba dari capres lain? apakah jargon perubahan hanya sebatas kata yang 'dijual' untuk menarik suara-suara masyarakat yang merasa kurang puas dengan pemerintahan saat ini? semoga saja tidak...
 Amanda Fatimah Shihab S.pd,M.Sos
Alumni Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H