Sistem politik Australia telah berkembang selama lebih dari satu abad, membentuk salah satu demokrasi paling stabil di dunia. Dengan partai politik yang mapan, konstitusi yang kuat, serta parlemen yang berfungsi dengan baik, Australia menawarkan banyak pembelajaran berharga, terutama bagi negara-negara yang masih mengkonsolidasikan demokrasinya, seperti Indonesia. Memahami bagaimana partai politik, konstitusi, dan parlemen bekerja di Australia dapat memberikan wawasan tentang bagaimana sistem politik yang stabil dapat mendukung pembangunan ekonomi, sosial, dan politik yang berkelanjutan. Artikel ini akan mengeksplorasi ketiga aspek utama tersebut dan menggali bagaimana pelajaran dari Australia dapat diaplikasikan di Indonesia.
Di Australia, partai politik memainkan peran sentral dalam sistem pemerintahan. Dua partai utama, Partai Buruh (Labor Party) dan Koalisi (yang terdiri dari Partai Liberal dan Partai Nasional), telah mendominasi kancah politik selama beberapa dekade. Andrew Leigh, anggota parlemen dari Partai Buruh, menekankan pentingnya nilai-nilai seperti kolaborasi, keterbukaan, dan etika dalam politik. Dalam sepuluh prinsip yang diungkapkan Leigh, salah satunya menekankan bahwa "bagaimana kita mempraktikkan politik sama pentingnya dengan kebijakan yang kita kejar". Hal ini menunjukkan bahwa integritas, transparansi, dan kolaborasi antarpartai sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik (Leigh, 2024).
Partai politik di Australia juga dikenal memiliki struktur yang kokoh dan ideologi yang jelas. Partai Buruh, misalnya, memiliki fokus yang konsisten pada kebijakan pro-buruh dan kesejahteraan sosial. Sementara itu, Partai Liberal cenderung mendukung kebijakan pasar bebas dan minimalisasi peran pemerintah dalam ekonomi. Kejelasan ideologi ini membantu membangun kepercayaan antara partai dan pemilih, yang pada gilirannya memperkuat legitimasi demokrasi (Hughes, 1977).
Sebagai perbandingan, di Indonesia, partai politik seringkali dikritik karena lemahnya ideologi yang jelas dan konsistensi dalam kebijakan. Banyak partai di Indonesia terlihat pragmatis, dengan ideologi yang bisa berubah-ubah tergantung pada kepentingan politik jangka pendek. Di sinilah pelajaran dari Australia bisa diambil. Partai politik di Indonesia perlu lebih mengedepankan transparansi dan komitmen terhadap prinsip-prinsip dasar yang jelas, sehingga dapat membangun kepercayaan yang lebih kuat dengan pemilih. Seperti yang disebutkan oleh Andrew Leigh, politik yang dipraktikkan dengan etika dan kolaborasi dapat menjadi kunci keberhasilan dalam memenangkan kepercayaan publik (Leigh, 2024).
Konstitusi Australia, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1901, adalah dokumen yang menetapkan kerangka hukum dan politik negara tersebut. Sebagai negara dengan sistem federal, konstitusi Australia mengatur distribusi kekuasaan antara pemerintah pusat dan negara bagian. Sistem federal ini memungkinkan setiap negara bagian di Australia memiliki otonomi tertentu, khususnya dalam hal pendidikan, kesehatan, dan pengelolaan sumber daya alam. Namun, pada saat yang sama, konstitusi juga memberikan kekuasaan yang cukup bagi pemerintah pusat untuk memastikan bahwa isu-isu nasional seperti perdagangan, pertahanan, dan kebijakan luar negeri dikelola secara terpusat (Hughes, 1977).
Sistem federalisme Australia telah terbukti menjadi salah satu faktor penting yang mendukung stabilitas politik negara tersebut. Desentralisasi kekuasaan memberikan fleksibilitas bagi negara bagian untuk mengatur urusan internalnya sendiri, sementara pemerintah pusat tetap memegang kendali atas kebijakan-kebijakan strategis yang bersifat nasional. Ini berbeda dengan Indonesia, di mana otonomi daerah yang diberikan setelah reformasi pada 1998 sering kali menimbulkan ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah. Tantangan seperti tumpang tindih kewenangan dan kurangnya koordinasi antara pusat dan daerah masih sering muncul di Indonesia.
Dari perspektif pembelajaran, Indonesia bisa mengambil inspirasi dari sistem federal Australia dalam hal bagaimana mengatur desentralisasi dengan lebih baik. Meskipun Indonesia tidak menganut sistem federal, prinsip-prinsip desentralisasi yang diterapkan di Australia dapat diadaptasi untuk meningkatkan otonomi daerah di Indonesia, sekaligus menjaga stabilitas dan kohesi nasional. Indonesia perlu memperjelas batasan-batasan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah untuk menghindari konflik kewenangan, seperti yang diatur dengan jelas dalam konstitusi Australia.
Parlemen Australia merupakan salah satu lembaga politik yang paling dihormati di negara tersebut. Parlemen Australia terdiri dari dua kamar: House of Representatives dan Senate. House of Representatives berfungsi sebagai perwakilan rakyat berdasarkan jumlah populasi, sementara Senate mewakili negara bagian dengan alokasi kursi yang sama untuk setiap negara bagian, tanpa memandang jumlah populasi. Sistem bikameral ini memberikan keseimbangan antara kepentingan rakyat dan kepentingan negara bagian, sehingga setiap kebijakan yang dihasilkan tidak hanya mencerminkan keinginan mayoritas, tetapi juga memperhitungkan kepentingan wilayah (McAllister & Biddle, 2024).
Sebagai perbandingan, Indonesia juga memiliki sistem bikameral, dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Namun, dalam praktiknya, peran DPD relatif terbatas dibandingkan dengan Senate di Australia. DPD tidak memiliki wewenang legislasi yang kuat, dan hanya berfungsi sebagai penasihat dalam beberapa isu tertentu. Di sini, Indonesia bisa belajar dari Australia tentang bagaimana memperkuat peran DPD sebagai representasi daerah yang lebih berpengaruh dalam proses legislasi. Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap daerah di Indonesia, terutama daerah-daerah yang kurang berkembang, mendapatkan perhatian yang setara dalam pengambilan kebijakan nasional.
Selain itu, fungsi kontrol dan pengawasan di parlemen Australia juga berjalan dengan baik, di mana Senate berperan sebagai badan yang menyeimbangkan kekuasaan eksekutif. Senate sering kali digunakan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah dan memberikan pengawasan yang lebih mendalam terhadap tindakan eksekutif (McAllister & Biddle, 2024). Dalam konteks Indonesia, fungsi pengawasan DPR masih bisa ditingkatkan, terutama dalam hal transparansi dan akuntabilitas kebijakan pemerintah.
Pelajaran yang dapat diambil dari sistem politik Australia sangat relevan bagi Indonesia, terutama dalam memperkuat institusi-institusi politik dan meningkatkan transparansi serta partisipasi politik. Salah satu kunci sukses Australia adalah komitmen terhadap etika dalam politik, seperti yang ditegaskan oleh Andrew Leigh. Di Indonesia, di mana politik terkadang didominasi oleh kepentingan jangka pendek dan pragmatisme, pendekatan etis dan kolaboratif seperti yang diterapkan di Australia dapat memperkuat sistem politik dan meningkatkan kepercayaan publik.