Mohon tunggu...
Amanda Putri Erwina
Amanda Putri Erwina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Indonesia

Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Konflik Israel-Palestina Melalui Lensa Orientalisme: Konflik Post 7 Oktober dan Sejarah Nakba 1948

4 April 2024   02:59 Diperbarui: 4 April 2024   03:02 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik antara Israel dan Palestina telah menjadi sorotan internasional selama beberapa dekade terakhir. Sebagai salah satu konflik terpanjang dan paling kompleks di dunia, konflik ini tidak hanya mencakup permasalahan politik dan teritorial, tetapi juga memiliki akar yang kuat dalam sejarah, budaya, dan identitas. Konflik Israel-Palestina berakar pada tahun 1948, ketika negara Israel secara resmi dideklarasikan (Wibowo, 2014). 

Setelah berakhirnya Mandat Britania atas Palestina, PBB mengusulkan pembagian wilayah menjadi dua negara, satu bagi orang-orang Yahudi dan satu bagi orang-orang Arab Palestina. Namun, rencana ini ditolak oleh orang-orang Palestina, yang merasa bahwa itu akan mengorbankan hak-hak mereka atas tanah mereka sendiri. Sementara itu, komunitas Yahudi menerima rencana tersebut dan pada 14 Mei 1948, David Ben-Gurion mengumumkan berdirinya negara Israel (BBC, 2023).

Deklarasi kemerdekaan Israel ini memicu Perang Arab-Israel yang pertama (1948-1949). Negara-negara Arab sekitarnya, termasuk Mesir, Yordania, Suriah, dan Irak, menyerbu wilayah Israel dengan tujuan untuk mencegah terbentuknya negara Yahudi tersebut. Namun, Israel berhasil mempertahankan diri dan bahkan memperluas wilayahnya selama perang tersebut. Perang ini juga menyebabkan ratusan ribu orang Palestina mengungsi atau diusir dari rumah mereka, yang merupakan awal dari masalah yang masih berlanjut hingga saat ini (Wibowo, 2014). 

Pada tahap awal ini, Orientalisme memainkan peran penting dalam membentuk pandangan Barat tentang konflik tersebut. Representasi stereotip tentang orang-orang Palestina sebagai "lainnya" yang inferior atau bahkan dianggap teroris telah memengaruhi persepsi Barat terhadap konflik ini dan memengaruhi sikap politik dan dukungan terhadap pihak yang bersengketa (Sari et al., 2023).

Konsep Orientalisme Edward Said dalam Konflik Israel-Palestina

Konsep Orientalisme yang dikemukakan oleh Edward Said membawa pemahaman tentang bagaimana pandangan Barat terhadap Timur Tengah, termasuk orang-orang Palestina, telah terbentuk oleh stereotip, dominasi politik, dan kebijakan imperialisme. Orientalisme, sebagaimana didefinisikan oleh Said, adalah cara pandang Barat yang konstruktif terhadap Timur, di mana Barat memposisikan dirinya sebagai pusat pemikiran, pengetahuan, dan kekuasaan, sementara Timur dianggap sebagai "lain" yang inferior, dan terpisah (Said, 2003).

Orientalisme juga tercermin dalam dominasi politik dan kebijakan imperialisme Barat di Timur Tengah. Selama bertahun-tahun, kebijakan luar negeri Barat telah mendukung Israel dan membenarkan tindakan-tindakan agresifnya terhadap Palestina. Kebijakan ini sering didasarkan pada pandangan Orientalis tentang superioritas Barat dan inferioritas Timur. Dampak Orientalisme dalam konflik Israel-Palestina tidak dapat diremehkan. 

Pandangan stereotip dan dominasi politik Barat telah memperkuat ketidaksetaraan kuasa antara Israel dan Palestina, membenarkan tindakan-tindakan represif Israel dan mempersempit ruang politik bagi upaya perdamaian dan rekonsiliasi. Orientalisme juga telah memengaruhi persepsi dan sikap masyarakat internasional terhadap konflik, menyulitkan tercapainya solusi yang adil dan berkelanjutan (Said, 1981).

Pengaruh Stereotip dalam Persepsi Masyarakat Internasional terhadap Konflik

Konflik Israel-Palestina, dengan segala kompleksitasnya, tidak hanya menciptakan perpecahan di antara kedua belah pihak yang terlibat, tetapi juga memengaruhi persepsi dan pendapat masyarakat internasional. Stereotip yang muncul dari konsep Orientalisme oleh Edward Said memiliki dampak yang signifikan dalam membentuk pandangan masyarakat internasional terhadap konflik ini. 

Stereotip Orientalis ini mempengaruhi budaya populer dan opini publik di banyak negara. Film, musik, dan literatur seringkali memperkuat stereotip tentang Israel dan Palestina, yang kemudian membentuk opini publik tentang konflik tersebut (Said, 1981).

Media internasional seringkali menggunakan framing yang terpengaruh oleh stereotip Orientalis dalam melaporkan konflik Israel-Palestina. Berita seringkali disajikan dengan cara yang memihak atau menciptakan narasi yang memperkuat stereotip yang sudah ada, menciptakan ketidakseimbangan dalam informasi yang disampaikan kepada masyarakat internasional dan menyulitkan mereka untuk mendapatkan gambaran yang lengkap dan akurat tentang konflik. 

Orientalisme dalam pemberitaan media internasional tentang konflik Palestina-Israel juga tercermin dalam cara konflik tersebut direpresentasikan sebagai konflik "etnis" atau "agama", tanpa mengakui akar politik dan historisnya. Ini mengaburkan konteks sejarah konflik dan menggambarkan konflik sebagai pertikaian antara "Muslim dan Yahudi", tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lainnya seperti politik dan ekonomi (Heni & Chandra, 2022).

Selain itu, orientalisme juga tercermin dalam narasi tentang "pertahanan" Israel terhadap "ancaman" dari Palestina atau kelompok-kelompok di wilayah tersebut. Framing ini menciptakan kesan bahwa tindakan Israel, termasuk pembatasan terhadap gerakan dan ekonomi Palestina, adalah tindakan yang wajar dalam upaya untuk melindungi diri dari ancaman yang "primitif" atau "fanatik" dari Palestina. 

Dengan demikian, framing orientalisme dalam pemberitaan media internasional tentang konflik Palestina-Israel menciptakan ketidakseimbangan dalam cara kedua belah pihak dipresentasikan, dengan menguntungkan Israel atau kepentingan Barat. Hal ini memberi legitimasi pada tindakan Israel dan seringkali mengaburkan konteks sejarah dan politik dari konflik tersebut (Heni & Chandra, 2022). 

Post 7 Oktober dan Sejarah Nakba 1948

Nakba, yang secara harfiah berarti "bencana" dalam bahasa Arab, merujuk pada peristiwa pada tahun 1948 ketika negara Israel secara resmi dideklarasikan. Peristiwa Nakba merupakan peristiwa yang menyebabkan perubahan pada rakyat Palestina dengan ditandai perang Arab-Israel 1948. 

Dalam peristiwa tersebut, pasukan Zionis melakukan pembersihan etnik terhadap penduduk Palestina dengan menghancurkan ratusan desa Palestina, membunuh dan membantai, serta mengusir penduduknya. Akibatnya, sebagian besar penduduk Palestina kehilangan tempat tinggal mereka dan mengungsi ke negara-negara Arab lainnya. Mereka hidup dalam penindasan dan kehancuran negara mereka sendiri (Amelia, 2012).

Dalam peristiwa Nakba 1948, pasukan Zionis menggunakan kekuasaan dan kelembagaan politik untuk mengendalikan dan mengontrol kehidupan warga negara di wilayah Palestina. Hal ini merupakan contoh dari penggunaan kekuasaan politik untuk mengendalikan dan mengontrol warga negara di wilayah tersebut, yang mengacu pada perspektif orientalisme Edward Said. 

Sejak Nakba, orang-orang Palestina telah berjuang untuk mempertahankan identitas, martabat, dan hak-hak mereka di tanah air mereka sendiri. Mereka mengalami pengasingan, diskriminasi, dan penindasan yang berkelanjutan, sementara terus memperjuangkan kemerdekaan dan hak-hak mereka (Pappe, 2006).

Konflik pada 7 Oktober 2023 di Gaza Strip dan Israel adalah bagian dari konflik berkelanjutan antara Israel dan Palestina yang belum selesai. Militer Israel menyatakan bahwa militan Palestina menembakkan roket dari Jalur Gaza ke Israel, sementara Angkatan Udara Israel merespon dengan serangan udara terhadap target-target di Jalur Gaza. Eskalasi ini terjadi setelah beberapa minggu ketegangan di wilayah tersebut, dengan kedua belah pihak saling menuduh melakukan provokasi (Bontea, 2023). 

Dari perspektif orientalisme Edward Said, konflik ini merupakan contoh dari penggunaan kekuasaan dan kelembagaan politik untuk mengendalikan dan mengontrol kehidupan warga negara di wilayah tersebut (Said, 2003).

Belum ada upaya perdamaian besar-besaran dalam konflik Israel-Palestina yang berhasil mencapai kesepakatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan tradisi diplomasi yang kuat di tingkat internasional, telah aktif dalam upaya untuk mendukung perdamaian di Timur Tengah, termasuk dalam konteks konflik Israel-Palestina. 

Meskipun tidak secara langsung terlibat dalam perundingan resmi antara Israel dan Palestina, Indonesia telah menyatakan dukungannya terhadap solusi dua negara yang berdasarkan batas pra-1967 dan mendukung kemerdekaan bagi Palestina (Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 2022). Dengan demikian, upaya ini pun harus terus didorong dan diperkuat oleh komitmen yang kuat dari seluruh pihak terlibat, termasuk masyarakat internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun