Mohon tunggu...
Amanda Putri Erwina
Amanda Putri Erwina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Indonesia

Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Konflik Israel-Palestina Melalui Lensa Orientalisme: Konflik Post 7 Oktober dan Sejarah Nakba 1948

4 April 2024   02:59 Diperbarui: 4 April 2024   03:02 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Media internasional seringkali menggunakan framing yang terpengaruh oleh stereotip Orientalis dalam melaporkan konflik Israel-Palestina. Berita seringkali disajikan dengan cara yang memihak atau menciptakan narasi yang memperkuat stereotip yang sudah ada, menciptakan ketidakseimbangan dalam informasi yang disampaikan kepada masyarakat internasional dan menyulitkan mereka untuk mendapatkan gambaran yang lengkap dan akurat tentang konflik. 

Orientalisme dalam pemberitaan media internasional tentang konflik Palestina-Israel juga tercermin dalam cara konflik tersebut direpresentasikan sebagai konflik "etnis" atau "agama", tanpa mengakui akar politik dan historisnya. Ini mengaburkan konteks sejarah konflik dan menggambarkan konflik sebagai pertikaian antara "Muslim dan Yahudi", tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lainnya seperti politik dan ekonomi (Heni & Chandra, 2022).

Selain itu, orientalisme juga tercermin dalam narasi tentang "pertahanan" Israel terhadap "ancaman" dari Palestina atau kelompok-kelompok di wilayah tersebut. Framing ini menciptakan kesan bahwa tindakan Israel, termasuk pembatasan terhadap gerakan dan ekonomi Palestina, adalah tindakan yang wajar dalam upaya untuk melindungi diri dari ancaman yang "primitif" atau "fanatik" dari Palestina. 

Dengan demikian, framing orientalisme dalam pemberitaan media internasional tentang konflik Palestina-Israel menciptakan ketidakseimbangan dalam cara kedua belah pihak dipresentasikan, dengan menguntungkan Israel atau kepentingan Barat. Hal ini memberi legitimasi pada tindakan Israel dan seringkali mengaburkan konteks sejarah dan politik dari konflik tersebut (Heni & Chandra, 2022). 

Post 7 Oktober dan Sejarah Nakba 1948

Nakba, yang secara harfiah berarti "bencana" dalam bahasa Arab, merujuk pada peristiwa pada tahun 1948 ketika negara Israel secara resmi dideklarasikan. Peristiwa Nakba merupakan peristiwa yang menyebabkan perubahan pada rakyat Palestina dengan ditandai perang Arab-Israel 1948. 

Dalam peristiwa tersebut, pasukan Zionis melakukan pembersihan etnik terhadap penduduk Palestina dengan menghancurkan ratusan desa Palestina, membunuh dan membantai, serta mengusir penduduknya. Akibatnya, sebagian besar penduduk Palestina kehilangan tempat tinggal mereka dan mengungsi ke negara-negara Arab lainnya. Mereka hidup dalam penindasan dan kehancuran negara mereka sendiri (Amelia, 2012).

Dalam peristiwa Nakba 1948, pasukan Zionis menggunakan kekuasaan dan kelembagaan politik untuk mengendalikan dan mengontrol kehidupan warga negara di wilayah Palestina. Hal ini merupakan contoh dari penggunaan kekuasaan politik untuk mengendalikan dan mengontrol warga negara di wilayah tersebut, yang mengacu pada perspektif orientalisme Edward Said. 

Sejak Nakba, orang-orang Palestina telah berjuang untuk mempertahankan identitas, martabat, dan hak-hak mereka di tanah air mereka sendiri. Mereka mengalami pengasingan, diskriminasi, dan penindasan yang berkelanjutan, sementara terus memperjuangkan kemerdekaan dan hak-hak mereka (Pappe, 2006).

Konflik pada 7 Oktober 2023 di Gaza Strip dan Israel adalah bagian dari konflik berkelanjutan antara Israel dan Palestina yang belum selesai. Militer Israel menyatakan bahwa militan Palestina menembakkan roket dari Jalur Gaza ke Israel, sementara Angkatan Udara Israel merespon dengan serangan udara terhadap target-target di Jalur Gaza. Eskalasi ini terjadi setelah beberapa minggu ketegangan di wilayah tersebut, dengan kedua belah pihak saling menuduh melakukan provokasi (Bontea, 2023). 

Dari perspektif orientalisme Edward Said, konflik ini merupakan contoh dari penggunaan kekuasaan dan kelembagaan politik untuk mengendalikan dan mengontrol kehidupan warga negara di wilayah tersebut (Said, 2003).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun