Pernikahan merupakan suatu ikatan suci antara pria dan wanita sebagai suami istri berdasarkan hukum negara, agama atau adat istiadat mereka yang berlaku untuk menghindari adanya maksiat antara seorang pasangan yang tidak sah secara hukum, menambah keturunan, dan utamanya yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia. Sedangkan menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia, sejahtera dan, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Rancangan tujuan pernikahan tersebut menandakan bahwa kedua individu yang melakukan pernikahan itu harus memiliki tujuan yang sama. Jika terdapat tujuan yang berbeda, maka perlu segera mencari solusinya karena sumber konflik dalam keluarga berawal dari tujuan yang tidak sama antara suami dan istri.
Namun dalam kehidupan realita tidak mudah untuk mencapai tujuan tersebut, karena tidak sedikit pasangan suami istri yang kandas dalam usaha membina keluarga bahagia dan berakhir dengan perceraian. Banyak sekali faktor yang dapat menyebabkan gagalnya tujuan suami istri dalam mewujudkan kehidupan pernikahan yang bahagia dan berakhir dengan perceraian, salah satu faktor tersebut karena hadirnya nusyuz dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Pengertian Nusyuz
Dalam fiqh nusyuz diartikan sebagai perilaku durhaka, baik dari pihak suami maupun istri. Secara etimologi, berasal dari bahasa Arab, nasyaza yang berarti bagian bumi yang tinggi. Sedangkan secara terminologi, menurut Fuqaha Hanafiyah mengartikannya dengan ketidaksenangan yang terjadi antara suami istri. Ulama Malikiyah juga berpendapat bahwa nusyuz adalah saling menganiaya antara suami istri. Sedangkan menurut ulama Syafi'iyah, nusyuz adalah perselisihan yang terjadi di antara hubungan suami istri.
Dari pendapat para ulama tersebut dapat diambil kesimpulan nusyuz adalah perbuatan atau kondisi konflik dalam kehidupan rumah tangga dengan adanya pertentangan atau pembangkangan antara suami dengan istri yang timbul karena adanya kebencian baik dari pihak istri maupun suami. Sedangkan perbedaanya antara nusyuz suami dan nusyuz istri adalah pada penilaian terhadap suatu perbuatan itu sudah atau belum termasuk nusyuz.
Macam Nusyuz
Berdasarkan al-Qur’an, perbuatan nusyuz dibagi menjadi dua macam, yaitu nusyuz yang dilakukan istri dan nusyuz yang dilakukan suami.
1. Nusyuz istriÂ
Nusyuz istri yaitu perilaku atau perbuatan durhaka yang dilakukan oleh seorang istri terhadap suami. Dalam hukum islam ketentuan hukuman bagi seorang istri yang melakukan nusyuz sudah diatur. Ciri-ciri perilaku istri yang termasuk ke dalam perbuatan nusyuz, yaitu:
- Seorang istri yang apabila keluar dari rumah suami tanpa ada izin dari suaminya dan tanpa adanya muhrim yang mendampinginya.
- Seorang istri yang tidak mau melayani suaminya tanpa alasan yang jelas dan benar.
- Seorang istri yang tidak taat kepada suaminya dan ia menolak untuk digauli dan mengabaikan kewajibannya terhadap Allah SWT, seperti tidak mandi janabah dan tidak melaksanakan puasa di bulan Ramadhan.
- Seorang istri dapat dikatakan nusyuz apabila istri melakukan tindakan yang tidak memberikan hak-hak suami yang wajib diterimanya karena pernikahan dan serta tidak menunaikan kewajiban agama lainnya.
- Seorang istri yang menolak tinggal di rumah suaminya yang layak baginya, tanpa udzur (alasan) syara’.
- Seorang istri yang murtad.
2. Nusyuz Suami
Nusyuz suami adalah perilaku atau perbuatan durhaka yang dilakukan seorang suami terhadap istri. Perilaku atau sikap suami yang dapat dipandang sebagai nusyuz menurut mazhab Hanafi yaitu apabila suami membenci dan menyakiti seorang istri. Menurut Ulama Maliki yaitu jika suami memperlakukan istri melampaui batas yang dapat membahayakan seperti memukul, mencela, dan melaknatnya. Begitu juga menurut pendapat mazhab Syafi'i tentang nusyuz yaitu seorang suami apabila menyakiti istri seperti memukul atau perlakuan kasar dan mencela kekurangannya. Ulama Hanbali juga berpendapat tidak jauh beda, nusyuz suami terhadap istri yaitu jika suami melakukan tindakan yang membahayakan mental dan merampas hak- hak istri. Selain itu, ciri-ciri perilaku suami yang termasuk ke dalam perbuatan nusyuz, yaitu:
- Sikapnya menampakkkan tanda-tanda ketidakpedulian, seperti meninggalkan istri dari tempat kecuali sekedar melakukan sesuatu yang wajib, atau kebencian terhadap isterinya terlihat nyata dari sikapnya.
- Suami meninggalkan kewajiban, seperti tidak memberikan nafkah.
- Keangkuhan, kesewenang-wenangan, dan kesombongan seorang suami terhadap istri.
- Mempunyai perilaku yang kasar dan melakukan tindakan yang membahayakan istri.
- Suami bersikap tidak adil kepada para istrinya (bagi suami yang melakukan poligami).
- Tidak memberikan mahar sesuai dengan permintaan istri.
- Menuduh istri berzina tanpa bukti yang nyata.
Penyelesaian Suami terhadap Istri yang Nusyuz
Penyelesaian yang dapat dilakukan suami terhadap istri yang nusyuz dalam hukum Islam dibagi ke dalam beberapa tahap, yaitu:
1. Menasihati istri
Langkah pertama yang ditawarkan dalam al-Qur’an adalah dengan memberikan nasihat secara bijaksana kepada istri yang nusyuz.
2. Pisah ranjang
Jika masih tetap tidak mau berubah dengan cara dinasihati maka boleh dijauhi (hijr). Batas waktu hijr dengan perbuatan yang berupa sikap menjauhi (tidak berbicara dengan istri) dan tidak melakukan hubungan intim dapat dilakukan suami tanpa batas, selama yang diinginkanya, selagi hal itu dapat menyadarkan kesalahan perilaku istri dan tidak lebih dari empat bulan berturut-turut.
3. Memukul
Jika tidak mau berubah juga dengan cara dinasihati dan dijauhi maka boleh dipukul. Namun terdapat syarat-syarat dalam memukul istri, yaitu:
- Suami memukul istri dengan pukulan yang tidak keras, yaitu pukulan yang tidak sampai mematahkan tulang dan tidak melukai daging.
- Hendaklah ia memiliki dugaan kuat bahwa pukulannya itu akan memberikan manfaat dan menghentikannya dari pembangkangan, karena pukulan adalah sarana untuk perbaikan, jika ia tidak memiliki dugaan demikian, jangan memukulnya.
- Janganlah suami memukul istrinya, lantaran ia menuntut haknya seperti nafkah dan pakaian, karena hal itu bukan termasuk nusyuz dan ia berhak menuntutnya.
Bagian anggota tubuh yang harus dihindari dalam tahap pemukulan adalah:
- Bagian muka, hal ini karena muka merupakan bagian tubuh yang dihormati.
- Bagian perut dan bagian lain yang dapat menyebabkan kematian, karena pemukulan ini bukan bermaksud untuk melukai apalagi membunuh istri yang nusyuz, melainkan untuk mengubah sifatnya.
- Memukul hanya pada satu tempat, karena akan menambah rasa sakit dan akan memperbesar timbulnya bahaya.
- Melakukan tahkim dengan mengutus dua orang hakam
- Apabila ketiga cara tersebut telah ditempuh, namun tidak berhasil dan pada akhirnya konflik semakin menguat, bahkan kedua pasangan suami istri saling menuduh telah berbuat zhalim (nusyuz), maka permasalahan ini hendaknya dibawa kepada hakam untuk mendamaikan atau memisahkan keduanya.
Penyelesaian Istri terhadap Suami yang Nusyuz
Penyelesaian yang dapat dilakukan istri terhadap suami yang nusyuz dalam hukum Islam, yaitu:
1. Menasihati
Istri berhak menasihati suami agar kembali bertanggung jawab kepada keluarga dan mengingatkan mereka tentang azab yang bakal diterima bagi suami yang mengabaikan dalam melaksanakan tanggung jawab terhadap isteri dan keluarganya.
2. Ash-Shulh (Perdamaian)
Perdamaian yang dimaksud yaitu istri yang mengurangi hak-haknya yang perlu ditunaikan oleh suami seperti mengurangi kadar mahar yang tertangguh, nafkah atau hak-hak persamaan (bagi suami yang berpoligami).
3. Apabila suaminya tetap nusyuz sekalipun kesemua langkah yang telah disebutkan diatas telah digunakan. Istri dapat langsung mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan agama.
Referensi
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.
Djailani, Abdul Qadir. Keluarga Sakinah. Surabaya: Bina Ilmu, 1995.
Hawari, Dadang. Marriage Counseling. Konsultasi Perkawinan. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006.
Khallaf, Abdul Wahab. Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fiqh, (tarj.) Noer Iskandar Al-Barasani dan Toelchah Mansoer. Jakarta: Rajawali Pers, 2002.
Nasution Khoiruddin. Islam Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I). Yogyakarta: Academia, 2004.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H