Seorang ibu bertanya padaku tentang berapa usiaku. Setelah mengetahuinya lanjut ia bertanya lagi tentang kapankah aku akan menikah ? Jawabanku tidak tau.Â
Seakan tidak puas dengan jawabanku ia dengan semangat menyarankanku untuk segera menikah karena menurutnya aku sudah cukup umur.
Ia tidak berhenti bercerita tentang perawan tua di desanya. Yang katanya dulu ia terlalu pemilih, banyak laki-laki mapan yang datang ke rumahnya namun selalu saja berakhir dengan penolakan, alasannya ingin bekerja.Â
Sekarang ia berumur 40 dan ia belum juga menikah, jelas ibu itu. Aku tetap mendengarkan, Ia lalu menjelaskan kepadaku, semacam metafora atau majas, kiasan atau sejenisnya.Â
Ia mengibaratkan perempuan sebagai bunga, katanya perempuan yang berumur 20 an bagai bunga yang sedang mekar mekarnya, yang sedang wangi wanginya, waktu yang paling indah ibaratnya.Â
Lanjutnya, bahwa setelah masa indahnya itu, lewat dari duapuluhan paling lambat 24 umur perempuan, bunga akan segera layu dan bunga baru akan menggantikannya.Â
Aku mengiyakan, setuju sekali sambil mengangguk dan tetap mendengarkan. Tidak berhenti dengan bunga, ia lalu mengibaratkan perempuan dengan barang dagangan.
"Kalau barang yang kamu jual harganya 50, lalu ada yang datang padamu menawarkan harga lebih murah misal 30, saran saya kasih saja. Itung-itung sebagai penglaris".
Aku mengernyit dahi. Seakan mengerti, Ia kemudian menjelaskan lebih rinci,Â
"Misal ada laki-laki yang datang dan menyukaimu, namun ia jauh dari kriteria kamu, terima saja. Karena misal kamu tidak jadi sama laki-laki itu, laki-laki lain akan cepat datang ingin menggantikannya karena dipikiran mereka laki-laki yang datang sebelumnya yang biasa biasa saja kamu terima, jadi dia juga memiliki keyakinan untuk bisa mendapatkanmu juga".
Ooh... aku mengangguk, mengerti.Â
"Nahh kamu juga udah pantes nikah," dengan sumringah karena pikirnya sudah mampu meyakinkan.Â
"Hehe belum mau bu"
Raut mukanya kembali berbeda, masih karena ketidakpuasan akan jawabanku. Namun sudah habis kata-kata, jadi ia tidak lanjut bercerita.Â
Kenapa harus diibaratkan dengan bunga? Yang jelas-jelas ia berhenti setelah berbunga, ia segera layu. Sempit sekali. Seorang perempuan yang merdeka hanya hidup untuk melayani laki-laki dengan keindahan, kemolekan, yang jelas jelas tidak kekal.Â
Apakah dengan mendapatkan laki-laki dari mengagungkan kemolekan itu akan tetap baik-baik saja setelah menyadari bahwa kemolekanmu tidak selamanya?Â
Lalu mengibaratkan perempuan sebagai barang dagangan. Yang katanya tidak boleh menjadi pemilih dan menentukan harga. Kami tidak hanya sedang memilih seorang laki-laki untuk diri kami sendiri, namun juga sedang memilih seorang bapak untuk anak-anak kami.Â
Aku yang mengetahui apa-apa yang menjadi kekuranganku, yang menjadi kebutuhanku, yang menjadi keinginanku. Bolehlah aku tidak menerima pendapat seseorang yang sama sekali tidak mengenalku.Â
Pun, aku juga tidak hanya sedang mempersiapkan diri untuk menjadi seorang istri, namun lebih dari itu, menjadi seorang ibu. Yang sejak awal terciptanya kami, membangun peradaban.Â
Fitrah kami bukan hanya melahirkan dan membesarkan anak-anak kami, namun menjaganya, mendidiknya, merawatnya, lahir dan bathin, memastikan merekan baik-baik saja daripada awal hingga akhir hidupnya.
Aku ingin menjadi pohon, biarkan bungaku layu, akan aku gantikan ia dengan buah yang ranum. biarkan buahku jatuh, akan aku sebarkan benih yang baik, biar benih itu sampai ke pekarangan rumahmu, biar ia menjadi pohon layaknya aku, biar anak-anakmu mencicipi betapa lezat buah yang manis itu.
Biarkan aku menjadi barang dagangan, sebagai obat untuk para pesakitan. Biarkan mereka membayar mahal, karena si pesakitan itulah yang ingin kesembuhan.
TGR, 14 agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H