Jika dulu rekaman susahnya minta ampun, sekarang rekaman bahkan bisa dilakukan di kamar tidur. Sound yang ambyar bisa dipoles sana-sini. Paling-paling bingungnya nanti pas konser. Bagaimana cara mengakali bebunyian aneh, rumit, dan suara yang bagus di rekamannya. Satu contoh: Vierra. Kita tak perlu persetujuan dari siapapun bahwa suara Widi ketika rekaman dibandingkan saat konser ibarat knalpot dan saxophone. Beda jauh.
Ju’ond tidak. Menurut pengakuan Aris, Ju’ond masih “gila konser”. Mencari panggung sana-sini untuk show up. Barangkali juga untuk menapaki khittah mereka sebagai musisi. Sebagaimana yang saya sebutkan di atas: dimana teknologi rekaman semakin dipermudah, cara terbaik menilai musisi tiada lain adalah lewat konser. Saya memang lebih suka lihat video band ketika konser live daripada menonton video klipnya.
Album Ju’ond
Lebih dari itu semua, saya menikmati lagu-lagu Ju’ond di album ini. Mengusung tema semangat berkobar, Ju’ond jauh dari menye-menye seperti band pop arus utama.
Ada tiga lagu yang saya sukai di mini album ini. Pertama, “Voices”. Lagu kedua pada album ini konon menggambarkan relasi antar teman terbatas ruang dan waktu. Maksud saya, antara alam barzah dengan alam dunia. Ada keintiman yang tak bisa dipisahkan oleh lekangnya sang sahabat dari alam dunia. Itulah “Voices”.
Saya pernah tahu ada beberapa lagu yang juga mengangkat cerita seperti ini. Salah satunya: Bondan feat Fade 2 Black dalam lagunya yang berjudul R.I.P. Hanya saja R.I.P sekedar mendeskripsikan kegelisahan dan elegi seseorang yang kehilangan sahabatnya. Di sisi lain, R.I.P juga mengikhlaskan kepergian sahabatnya. Sedangkan “Voices” tidak. Ia lebih “gagal move on” daripada R.I.P.
Kedua, “Senja dan Bising”. Lagu ini barangkali kritik terselubung atas modernisasi. Momen senja, dengan langit kemerahan, yang biasanya tidak hanya bening namun juga hening seharusnya indah untuk dinikmati. Banyak sastrawan menemukan momen puitik pada senja. Chairil Anwar, melalui senja ia menciptakan puisi “Senja di Pelabuhan Kecil”. Seno Gumira Ajidarma, melalui senja pula ia menciptakan cerpen sepanjang masa berjudul “Sepotong Senja Untuk Pacarku”.
Kini senja adalah bising. Meski senja tetap menjadi waktu yang dinanti-nanti, namun bedanya: senja dahulu adalah sebuah momen puitik. Sekarang, senja dalam masyarakat modern adalah waktu dimana menunggu bel kantor berbunyi dan saling bergegas untuk lepas dari kepenatan pekerjaan. Ju’ond seolah melakukan protes dalam liriknya, “tak ada lelah meski senja menjelang//waktu pun tak akan terasa//habiskan semua nafas di sini”. Kemudian mereka mengajak orang-orang menikmati senja pada “sia-sia jika kau diam//dengarkanlah ada kami di sini”.
Ketiga, “Moment”. Lagu terakhir di album ini adalah satu-satunya yang tidak pakai aransemen njelimet. Dan mendengarkan lagu ini, rasanya Ju’ond sedang menyampaikan sebuah kabar pada saya. Sebuah kabar tentang pengalaman lain, yang mungkin tidak bisa saya lihat tapi saya bisa rasakan.
Terakhir, jika AS Laksana dalam sebuah wawancara perihal sastra menyatakan “Semua orang pasti suka cerita. Karena berbagi cerita berbeda dengan berbagi teori dan ideologi”. Maka Aris Ju’ond juga sah-sah saja jika menyatakan, “Semua orang pasti suka musik”. Benar, musik akan selalu menemukan celah untuk tiba di telinga pendengar, dengan cara apapun dan berlaku bagi siapapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H