Mohon tunggu...
Amal Taufik
Amal Taufik Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pecinta masakan kambing garis keras.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ju'ond: Voices di Tengah Bising

8 Januari 2016   22:18 Diperbarui: 8 Januari 2016   22:18 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Dadi uwong ki sing biso rumongso, ojo rumongso biso”, begitu kata pepatah Jawa. Pepatah ini mengajarkan pada kita supaya jadi orang itu yang tahu diri, jangan sok-sokan. Kalau tidak menguasai suatu bidang, jangan ikut campur dalam bidang tersebut. Nanti bisa jadi kacau.

Untuk kali ini, saya harus mengabaikan pepatah itu. Apalagi setelah menerima mini album dari Ju’ond. Menahan diri untuk tidak menuliskan review karya Ju’ond rasanya mengganjal. Tapi di sisi lain, menuliskan review pun saya takut salah. Sebab saya bukan pengamat ataupun kritikus musik. Membuat dikotomi musik bagus dan tidak bagus saja saya tidak bisa. Pengaruh mental gengsi masih lekat menempel di kepala saya untuk masalah musik. Masih membedakan musik dari “siapa”, bukan “apa”, “luar negeri” atau “dalam negeri”.

Kalau disuruh objektif, saya selalu menilai lagu dari liriknya. Dalam hal ini, mungkin saya agak sedikit ngerti. Setidaknya saya bisa menilai, lagu-lagu pop arus utama yang sering masuk televisi—terutama lagu yang lahir di era kedua rezim SBY—liriknya nyaris tak pernah bisa saya nikmati. Hampir semuanya memakai lirik yang picisan, cerita yang mudah ditebak, dan miskin diksi. Meskipun ada juga beberapa band pop arus utama yang menurut saya masih konsisten menulis lirik yang bagus, diantaranya: Letto, Peterpan (Noah), dan—kalau boleh disebut pop arus utama—Padi.

Ketika kita memandang pop arus utama saat ini, kita lebih senang melongok ke masa lalu. Di mana Sheila On 7 masih berjaya, Dewa 19 masih rajin merilis lagu klasik, Padi masih sering malang melintang di layar kaca. Nostalgia ini biasanya datang seiring dengan kejenuhan, bahkan kekecewaan, dengan khazanah musik pop arus utama Indonesia saat ini. Akhirnya, kita akan berpaling dan mencari alternatif-alternatif baru. Salah satunya: band indie.

Ju’ond, salah satu diantaranya.

Band indie dari Kota Pasuruan ini di malam tahun baru kemarin baru saja meluncurkan debut mini album pertamanya. Sebuah capaian yang hebat saya kira untuk band indie di Kota Pasuruan. Ada beberapa sebab mengapa saya katakan demikian.

Pertama, launching album ini terjadi di kota yang masyarakatnya rela jihad fi sabilillah demi mendapatkan amplop berisi 20 ribu dari Haji Saikhon. Maka jelas, nominal adalah sesuatu yang cukup krusial.

Saya ragu ketika mendapat kabar bahwa Ju’ond akan launching album. Sebab, sudah pasti mereka akan menjual album kepada publik. Asumsi saya saat itu: apa iya orang Pasuruan akan lebih memilih beli album Ju’ond daripada mendatangi warung internet dengan sewa 5 ribu per jam lalu mencari unduhan lagu-lagu Ju’ond?

Asumsi saya itu akhirnya dipatahkan ketika saya mendapat kabar dari Aris, salah seorang gitaris Ju’ond, bahwa launching album Ju’ond sukses. Album Ju’ond ludes diborong. Bahkan saya sendiri sempat tidak kebagian sebelum akhirnya saya merampok jatah orang lain.

Kedua, Ju’ond mempertanggungjawabkan albumnya melalui konser.

Jika dulu rekaman susahnya minta ampun, sekarang rekaman bahkan bisa dilakukan di kamar tidur. Sound yang ambyar bisa dipoles sana-sini. Paling-paling bingungnya nanti pas konser. Bagaimana cara mengakali bebunyian aneh, rumit, dan suara yang bagus di rekamannya. Satu contoh: Vierra. Kita tak perlu persetujuan dari siapapun bahwa suara Widi ketika rekaman dibandingkan saat konser ibarat knalpot dan saxophone. Beda jauh.

Ju’ond tidak. Menurut pengakuan Aris, Ju’ond masih “gila konser”. Mencari panggung sana-sini untuk show up. Barangkali juga untuk menapaki khittah mereka sebagai musisi. Sebagaimana yang saya sebutkan di atas: dimana teknologi rekaman semakin dipermudah, cara terbaik menilai musisi tiada lain adalah lewat konser. Saya memang lebih suka lihat video band ketika konser live daripada menonton video klipnya.

Album Ju’ond

Lebih dari itu semua, saya menikmati lagu-lagu Ju’ond di album ini. Mengusung tema semangat berkobar, Ju’ond jauh dari menye-menye seperti band pop arus utama.

Ada tiga lagu yang saya sukai di mini album ini. Pertama, “Voices”. Lagu kedua pada album ini konon menggambarkan relasi antar teman terbatas ruang dan waktu. Maksud saya, antara alam barzah dengan alam dunia. Ada keintiman yang tak bisa dipisahkan oleh lekangnya sang sahabat dari alam dunia. Itulah “Voices”.

Saya pernah tahu ada beberapa lagu yang juga mengangkat cerita seperti ini. Salah satunya: Bondan feat Fade 2 Black dalam lagunya yang berjudul R.I.P. Hanya saja R.I.P sekedar mendeskripsikan kegelisahan dan elegi seseorang yang kehilangan sahabatnya. Di sisi lain, R.I.P juga mengikhlaskan kepergian sahabatnya. Sedangkan “Voices” tidak. Ia lebih “gagal move on” daripada R.I.P.

Kedua, “Senja dan Bising”. Lagu ini barangkali kritik terselubung atas modernisasi. Momen senja, dengan langit kemerahan, yang biasanya tidak hanya bening namun juga hening seharusnya indah untuk dinikmati. Banyak sastrawan menemukan momen puitik pada senja. Chairil Anwar, melalui senja ia menciptakan puisi “Senja di Pelabuhan Kecil”. Seno Gumira Ajidarma, melalui senja pula ia menciptakan cerpen sepanjang masa berjudul “Sepotong Senja Untuk Pacarku”.

Kini senja adalah bising. Meski senja tetap menjadi waktu yang dinanti-nanti, namun bedanya: senja dahulu adalah sebuah momen puitik. Sekarang, senja dalam masyarakat modern adalah waktu dimana menunggu bel kantor berbunyi dan saling bergegas untuk lepas dari kepenatan pekerjaan. Ju’ond seolah melakukan protes dalam liriknya, “tak ada lelah meski senja menjelang//waktu pun tak akan terasa//habiskan semua nafas di sini”. Kemudian mereka mengajak orang-orang menikmati senja pada “sia-sia jika kau diam//dengarkanlah ada kami di sini”.

Ketiga, “Moment”. Lagu terakhir di album ini adalah satu-satunya yang tidak pakai aransemen njelimet. Dan mendengarkan lagu ini, rasanya Ju’ond sedang menyampaikan sebuah kabar pada saya. Sebuah kabar tentang pengalaman lain, yang mungkin tidak bisa saya lihat tapi saya bisa rasakan.

Terakhir, jika AS Laksana dalam sebuah wawancara perihal sastra menyatakan “Semua orang pasti suka cerita. Karena berbagi cerita berbeda dengan berbagi teori dan ideologi”. Maka Aris Ju’ond juga sah-sah saja jika menyatakan, “Semua orang pasti suka musik”. Benar, musik akan selalu menemukan celah untuk tiba di telinga pendengar, dengan cara apapun dan berlaku bagi siapapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun