Mohon tunggu...
Amal Taufik
Amal Taufik Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pecinta masakan kambing garis keras.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Selamatkan Maling!

6 Juli 2014   19:00 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:15 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pada pagi itu masih tidur, karena baru bisa terlelap setelah subuh. Saya di kagetkan oleh teriakan-teriakan gaduh tetangga saya. Sepertinya ada maling, langsung saja saya buru-buru bangun, dan baru saja keluar dari pagar rumah, saya melihat seorang remaja sekitar umur 16 tahun lari kayak kidang,di belakangnya di ikuti satpam perumahan dan beberapa warga termasuk ayah saya. Ada yang membawa pentungan, ada yang bawa tang, ada pula warga yang tidak berpartisipasi dalam pengejaran cuma teriak “Hajar saja, bunuh saja”. Tapi pagi itu sepertinya bukan rejeki bagi satpam dan warga, si maling lolos berlari membelah sawah.

Entah ini maling darimana, anak siapa, pangkat malingnya apa, kok ya bisa-bisanya dia ‘dines’ pagi hari. Tapi namanya maling itu kan mencari kesempatan dalam keteledoran? Memang kesempatan itu tak mengenal waktu, kapan saja dia bisa datang.

Daerah tempat saya tinggal memang seringkali di gemparkan oleh kemalingan. Setahu saya sudah ada 2 rumah yang di odol-odol maling. Saya pribadi, 1 tahun kepungkur, ayam dan menthok saya juga di gondol sama mereka. Sepertinya daerah tempat tinggal saya ini menjadi ladang emas bagi sindikat maling kelas teri. Entah karena orang-orang disini sering teledor, atau orang-orang disini semakin kaya semakin pelit, atau orang-orang disini menjunjung tinggi simbol kekayaan. Karena kaya saja kan percuma, harus di simbolkan, supaya orang sekitar tahu.

Ada spanduk di jalan raya bertuliskan “kemiskinan dan kebodohan dekat dengan kriminalitas”. Jika di perdalam makna tulisan ini “hey ayo jangan miskin, hey ayo jangan bodoh! Supaya kalian tidak jadi seorang kriminil”. Tapi kadang kita tak pernah menyadari, tak pernah mengunjungi diri kita sendiri, kita tak pernah mempertanyakan kenapa mereka miskin? Atau bertanya pada diri sendiri “pernahkah kita membantu mereka?”. Kita sibuk memikirkan jenjang karir, kita sibuk menumpuk harta, kita sibuk mengkalkulasi biaya naik haji, yang sudah haji naik haji lagi, biar terlihat keren. Saat ada kesenjangan, dan si lapar mulai gelap mata, kita timpuk habis-habisan. Kita protes warung buka ketika bulan puasa dengan alasan “hargai yang puasa dong!”, tapi kita 11 bulan tak pernah menghargai orang yang terpaksa puasa, orang yang lapar, orang yang tinggal di tepi sungai yang darurat. Kita duduk santai makan steak di rumah makan, sementara di depan kita seorang perempuan tua yang terpaksa puasa sedang menggendong putrinya yang juga belum di jejali sesuap nasi. Kita bisa membeli kulkas seharga 30 juta, tapi kesejahteraan para karyawan usaha kita yang lapar, cepat kita lalaikan.

Ya mbok biarkan orang itu buka warung pas bulan puasa. Orang kalau ndak puasa itu kan berarti sudah tidak sungkan sama Tuhan. Sama Tuhan aja sudah tidak sungkan, kenapa harus sungkan sama manusia? Dalam bab puasa, Tuhan di Al-Quran juga selalu berucap “hai orang-orang yang beriman”, sudah jelas to? Yang di ajak Tuhan itu cuma orang-orang yang beriman. Kalau tidak beriman ya tidak usah puasa ndak apa-apa. Mau makan, mau buka warung ya silahkan. Kok ya aneh sekali, orang cari duit dari buka warung malah di suruh tutup. Padahal cari duitnya bukan dengan maling.

Maling selalu menjadi momok mengerikan bagi masyarakat, apalagi di bulan puasa seperti ini. Padahal ya, kalau suatu hari saya bisa menangkap maling yang biasa ‘dinas’ di lingkungan saya. Dia ingin saya nasehati begini:

“Ling, kamu itu sudah berapa lama jadi maling? Sekarang zaman sudah maju, kamu jangan jadi maling konvensional lah, naik pager, bobol pintu, bobol jendela. Resikomu besar, kalau ketangkap bisa-bisa mati mengenaskan kamu ling. Cobalah masuk di pemerintahan, disana sudah profesional lho ling, kamu sudah gak butuh nyongkel jendela, manjat pager, bawa jimat kebal, sudah tak butuh itu semua. Bahkan kalaupun tertangkap kamu masih di perlakukan secara beradab, ramah-tamah, santun, pokoknya enak lah”

Sudah bukan rahasia umum, maling sapi itu lebih sulit daripada maling uang 100 juta. Lha bagaimana? Orang kalau mau maling sapi harus nunggu malam, mengendap pelan-pelan, membuka kandang sapi—yang itupun biasanya menimbulkan suara—perlahan-lahan, belum lagi sapinya yang terlalu polos dan tidak sadar jika ia akan di bawa pergi, sehingga kadang tidak mau nurut lalu berontak mengeluarkan suara sampai membangunkan pemilik dan tetangga. Kalau untuk mengatur cek atau kuitansi kan mudah sekali, tak butuh mengendap, tak perlu menunggu malam, juga tak perlu takut si uang bersuara, karena uang itu kan santun, pendiam dan nurut sama manusia.

Resiko yang di timbulkan juga sangat berbeda. Resiko maling sapi jauh lebih berat daripada maling uang 100 juta. Sapi itu sudah jelas mantan makhluk hutan rimba yang di rekrut oleh manusia, sehingga nilai-nilai rimba masih melekat pada seekor sapi. Apabila maling sapi tertangkap, maka harus di perlakukan secara hukum rimba pula. Beda dengan uang, uang itu bukan makhluk rimba. Uang adalah makhluk ciptaan manusia di dalam peradaban tinggi, di ciptakan oleh manusia yang priagung. Maka dari itu, koruptor uang itu harus di perlakukan secara beradab, ramah, santun, wangi, rapi, dan sistemik. Bahkan kadang bisa sampai di maafkan. Amat sangat mencerminkan sikap manusia beradab, yaitu suka memaafkan. Hey ini negara hukum bung!

Kemiskinan dekat dengan maling. Berarti kemiskinan di negeri ini sudah bukan kemiskinan harfiah atau definisi kemiskinan secara dhohir. Jika premisnya orang maling adalah orang miskin, maka semewah apapun rumahnya, setinggi apapun jabatannya, selangit apapun gajinya, dan meskipun mobilnya 10, istrinya 3, tapi masih suka korupsi, maka dia masih miskin. Begitukah?

Maling memang bukan salah manusianya, tapi salah setannya dan sifat malingnya. Dalam kasus maling sapi, para pengadilnya tak pernah mempertimbangkan sifat setan, pengaruh iblis, dan hal teosofi lainnya. Sedangkan dalam kasus korupsi, kadang pengadilnya mengkambinghitamkan setan, iblis, hal-hal spiritual, bukan material. Kalau maling sapi yang salah manusianya, kalau maling korupsi uang, yang salah pengaruh setannya. Begitukah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun