Mohon tunggu...
Amalia Zulfia Latifah
Amalia Zulfia Latifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN SATU TULUNGAGUNG

Mahasiswa semester 4 jurusan Psikologi Islam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumah Baru Ayah

21 Juni 2022   20:43 Diperbarui: 21 Juni 2022   20:53 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Enam bulan berlalu sejak ayah menghembuskan napas untuk terakhir kalinya, saya masih tidak bisa melupakan kebodohan yang tidak bisa diperbaiki lagi. Tidak peduli berapa banyak kali saya menyesalinya, tidak perduli berapa banyak air mata yang saya keluarkan ketika tengah malam, tetap saja tidak bisa mengembalikan sesuatu yang telah usai. 

Sore hari itu, hari pertama saya tinggal di asrama yang jauh dari rumah. Saya tidak pernah mengira bahwa sore itu adalah kesempatan terakhir saya untuk melihat ayah. Tetapi bodohnya, ketika perjalanan menuju asrama dengan kondisi ayah yang sebelumnya mengeluh sesak napas, perdebatan kecil sempat terjadi antara saya dan ayah.

Kami memang memiliki hubungan yang tidak begitu dekat. Ayah adalah sosok yang kaku kepada anak-anaknya, bahkan hanya sekedar untuk berbincang santai di sore hari saja tidak perlu banyak dihitung berapa kalinya. Cara penyampaian kasih sayang ayah memang tidak pernah terucap lewat kata, berbanding balik dengan ibu. Seharusnya saya menyadari dan menerima perbedaan itu, tetapi tidak.

Mengabaikan kondisi ayah yang mengeluh sakit, saya bersikeras mempertahankan ego ketika perdebatan kecil itu. Hal lebih bodoh yang saya lakukan adalah ketika tiba di asrama, yang saya pedulikan hanya saya bisa cepat-cepat bertemu dengan teman-teman. Ketika itu cuaca sedang hujan rintik-rintik, dengan terburu-buru saya langsung masuk menuju asrama untuk melakukan administrasi.

Sembari menunggu proses administrasi, ibu menyusul dan dengan segera saya menyuruh ibu untuk langsung pulang. Saya berpamitan pada ibu, berpelukan dengan ibu yang menasihati saya untuk menjaga diri. Saya tidak merasa ada yang janggal sejauh itu, tanpa menyadari bahwa saya melewatkan berpamitan dengan ayah dan itu adalah kesempatan terakhir yang saya sia-siakan.

Malam harinya saya baru menyadari hal tersebut, dengan segera saya mengirim pesan kepada kakak saya untuk menyampaikan kepada ayah permintaan maaf saya karena tidak berpamitan. Percakapan berikutnya diisi dengan menanyakan kondisi terbaru ayah yang sebelumnya mengeluh sakit. Kakak mengatakan bahwa ayah baik-baik saja, saya bernapas lega karena tidak ada hal buruk yang terjadi mengingat satu tahun terakhir kondisi ayah sering menurun. 

Bahkan di esok harinya ketika saya melakukan panggilan suara dengan ibu, beliau mengatakan bahwa ayah baik-baik saja. Ibu juga sempat menyinggung tentang ayah yang memberikan maaf kepada saya karena tidak berpamitan ketika itu. Semuanya terasa baik, tidak ada perasaan mengganjal sedikitpun.

Tetapi hal buruk terjadi ketika saya membuka handphone yang sempat saya matikan. Terdapat beberapa panggilan tidak terjawab dari kakak dan budhe saya. Ketika saya menelpon kakak dan bertanya apa yang terjadi, hal pertama yang saya dengar hanya suara isak tangis. Saya tak ingin menduga-duga apa yang akan kakak saya katakan, saya hanya menunggu kakak saya menjawab pertanyaan, tanpa sadar bahwa saya ikut menangis.

Rasanya belum siap jika apa yang akan saya dengar adalah sesuatu yang sangat menyakitkan, tentu saja, tidak ada orang yang siap untuk kehilangan. Tetapi daripada membuang waktu dengan hanya menangis, dengan segera saya menyiapkan barang yang akan saya bawa untuk pulang sembari menunggu jemputan.   

Selama perjalanan pulang yang terasa sangat lama itu, saya menenangkan diri sendiri dan berpikir bahwa selalu ada kemungkinan kecil bahwa ayah masih dapat bernapas lagi. Saya bahkan melarang teman saya untuk menyebarkan berita meninggalnya ayah karena masih memegang kemungkinan tersebut.

Saya tak pernah berbincang santai dengan ayah, tapi hari itu saya meracau dalam hati untuk ayah agar tidak meninggalkan saya secepat ini, berharap Tuhan dapat mendengar dan mengabulkannya. 

Beberapa menit sebelum tiba di rumah, saya meyakinkan diri bahwa jika kemungkinan kecil yang saya pegang selama perjalanan itu tidak terjadi, saya berharap bahwa saya tidak meraung menangis ketika melihat jasad ayah. Tetapi tentu saja itu sulit dilakukan.

Melihat jasad ayah yang sudah berada di keranda dengan kain hijau yang sudah terbungkus rapi, tangisan saya pecah. Seketika saya mengingat kebodohan saya yang melupakan berpamitan kepada ayah, seketika saya mengingat banyak kesalahan yang telah saya lakukan kepada ayah.

Rontaan kecil saya keluarkan agar saya dapat membuka kain yang terbungkus menutupi ayah, tetapi beberapa orang memeluk saya agar berhenti melakukan itu. Mereka mengatakan saya harus ikhlas, mereka mengatakan bahwa ayah kesakitan jika tidak segera diantar ke rumah barunya. Saya tak ingin menyakiti ayah lebih lama lagi, maka malam itu di pemakaman, saya merelakannya untuk "pulang" tanpa bisa melihat wajah ayah untuk yang terakhir kali. Rasanya seperti tiba-tiba ayah menghilang dan saya tidak dapat menemukannya lagi.

Setelah tiba dari pemakaman saya menceritakan pada saudara saya tentang mimpi yang saya alami malam hari sebelum ayah meninggal. Di mimpi itu saya melihat ayah menggunakan baju putih, datang menemui saya di asrama dan memeluk saya sambil mengatakan agar saya menjaga diri. Ketika itu saya langsung terbangun, tetapi saya tidak mengindahkan mimpi tersebut karena saya pikir itu adalah bunga tidur yang tidak memiliki arti.

Mereka mengatakan berarti ayah datang untuk berpamitan dengan saya. Tetapi tetap saja, mimpi tersebut tidak membantu untuk mengurangi rasa bersalah saya kepada ayah. Terkadang saya menangis di tengah malam karena merindukan ayah. Walaupun terakhir saya merasakan pelukan ayah adalah empat tahun yang lalu (lagi-lagi karena hubungan yang tak terlalu hangat) saya mencoba mengingat hangatnya pelukan ayah di hari itu.

Tetapi satu hal positif yang bisa saya ambil dibalik kebodohan yang saya lakukan adalah dengan penyesalan yang terus menerus menghantui saya, setiap perasaan merasa bersalah itu muncul maka saya akan segera berdo'a untuk ayah.

Saya berpikir bahwa daripada saya terus menerus hanya menyalahkan diri sendiri, akan terasa lebih baik jika saya mengurangi perasaan bersalah tersebut dengan berdo'a, karena tidak ada sesuatu yang bisa saya lakukan kecuali berdo'a.

Hal yang saya yakini bahwa sesuatu yang paling ayah butuhkan adalah do'a dari anaknya. Manusia memang tidak bisa mengubah masa lalu dan penyesalan selalu ada di belakang, tetapi itu bukanlah akhir yang tidak bisa diperbaiki. Akan selalu ada banyak cara dan kesempatan untuk manusia memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun