Mohon tunggu...
Amalia Zahara
Amalia Zahara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Konsumerisme dalam K-pop: Dari Album hingga Photocard

12 Januari 2023   20:37 Diperbarui: 12 Januari 2023   22:08 1390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Merch Grup A.C.E

Budaya menjadi sesuatu hal yang tidak bisa dipisahkan oleh masyarakat, dengan perkembangan zaman dan globalisasi yang semakin meluas menyebabkan budaya sering mengalami perubahan secara dinamis. 

Budaya populer saat ini hangat diperbincangkan oleh masyarakat, budaya ini merupakan produk dari masyarakat yang semakin dikenal karena adanya pengaruh dari media massa. Salah satu budaya populer yang ramai di Indonesia adalah budaya Korean Pop atau sering disingkat sebagai K-Pop.

 Pada awal tahun 2011-an Indonesia mulai mengenal apa itu K-pop pada generasi kedua dengan ramainya girlgroup atau boygroup seperti Wondergirl dengan lagunya Nobody, hingga hadirnya Super Junior, Bigbang, SHINee, dan SNSD. Hingga tahun 2021, dilansir dari laporan Twitter Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah penggemar dan paling banyak membicarakan K-Pop di Twitter pada tingkat pertama yang diikuti oleh Jepang, Filipina, dan negara – negara lain.

Saat ini K-pop sudah berada pada generasi keempat, yang setiap generasinya dihitung pada selang waktu tujuh tahun sekali. Sebelumnya, K-pop hadir di Indonesia pada generasi kedua yakni kurun waktu 2003 – 2011, sekarang pada generasi keempat dimulai dari tahun 2018 hingga nanti 2024. 

Generasi keempat ini dapat dikatakan sebagai masa kejayaan tertinggi para penggemar K-pop karena meningkatnya jumlah boygroup maupun girlgroup seperti Treasure, Enhypen, NMIXX, dan lain sebagainya, namun fans dari grup grup tersebut pun dari kalangan umur yang beragam. 

Menurut Jenkins, fans atau penggemar merupakan sekelompok orang yang menyukai seseorang bahkan terkesan obsesi dan posesif terhadap idolanya sendiri. Penggemar juga menjadi audiens paling aktif di dunia hiburan terutama dalam bidang ekonomi hiburan, saat ini penggemar seakan menjadi prioritas tertinggi karena kemampuannya untuk menjadi “pekerja tanpa bayar” atau sering disebut sebagai “free labour”.

K-pop seakan tidak dapat dipisahkan dengan merchandise atau barang-barang yang identik dengan sesuatu hal dengan tujuan sebagai branding maupun alat promosi. Bentuk dari merchandise ini seperti album dan lightstick, di dalam album pun tidak hanya CD lagu terdapat banyak isinya seperti photocard, photobook, poster, dan yang lainnya tergantung grup yang mengeluarkan. Harga dari album sendiri beragam dari kisaran Rp 300.000-an hingga Rp1.000.000-an pun ada dengan isi yang pastinya berbeda.

Selain itu, ada beberapa yang menerapkan apabila membeli album lebih dari 50 buah untuk bisa mengikuti acara yang disebut sebagai fansign/fanmeet yakni kesempatan untuk fans dapat bertemu langsung dengan artisnya tersebut, namun pemilihan akan tetap berdasarkan pemilihan random panitia penyelenggara yang dimana berarti walaupun seseorang membeli sebanyak mungkin belum tentu akan mendapatkan kesempatan mengikuti fanmeeting. Banyak dari mereka yang pada akhirnya menjualkan kembali album yang mereka beli tersebut untuk orang lain.

Selain album, salah satu merch kecil namun sangat menjadi perbincangan para penggemar K-pop yaitu photocard. Photocard adalah foto berukuran kecil seukuran KTP yang didapatkan dari pembelian album dan fotonya acak setiap anggota dari grupnya, dimana pada setiap album akan ada satu hingga tiga photocard yang berbeda maupun sama dengan pose foto yang beragam juga. Untuk bisa mengoleksi photocard, para penggemar rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. 

Pembelian yang berlebihan merupakan perilaku penggemar yang konsumtif. Beberapa dari mereka memberikan makna jika dalam pembelian photocard itu merupakan pemenuhan kebutuhan yang harus dipenuhi. Hal itu menyebabkan munculnya keinginan membeli photocard secara tiba- tiba tanpa berpikir ke depannya atau yang sering disebut dengan impulsive buying. 

Impulsive buying sering digambarkan sebagai bentuk pembelian yang tidak direncanakan, tidak rasional, dan didorong oleh faktor emosional yang kuat. Motivasi dari mengoleksi Photocard beragam tetapi didasari dengan rasa senang atau hobi namun menjadi obsesi yang tidak sehat sehingga membentuk pola perilaku konsumtif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun