Pendidikan adalah proses interaksi antara tenaga pendidik atau guru, serta siswa yang saling mempengaruhi. Dalam proses tersebut, siswa berusaha untuk mengembangkan potensi dan wawasan melalui pendidikan. Sedangkan guru akan bertanggung jawab untuk membimbing siswa guna menjadi manusia intelek. Dengan ini, guru dan pendidikan adalah hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya sama-sama berperan dalam membentuk masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Dalam menghadapi dunia yang terus berubah, permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia justru terus bertambah. Sejak pandemi Covid-19 lalu, adopsi teknologi dalam pembelajaran semakin cepat terdigitalisasi. Dengan ini, guru dituntut siap untuk menghadapi berbagai tantangan zaman. Kompetensi guru harus ditingkatkan guna merancang pengalaman belajar yang berketerampilan kritis, kreatif, serta analitis untuk mengoptimalkan efektivitas pembelajaran.
Pernyataan tersebut didukung oleh salah satu guru mata pelajaran Geografi kelas X, Sekolah Menengah Atas (SMA) Islam Rejis Bekasi, Audina Azzahra Putri atau kerap disapa Audi. Menurutnya, berbicara mengenai kompetensi guru di Indonesia mesti dijadikan pembahasan serius. Sebab, urgensinya cukup tinggi mengingat guru adalah aset berharga untuk membimbing generasi penerus bangsa. Terlebih, kompetensi guru di Indonesia juga masih tergolong kurang memadai karena beberapa faktor.
Dari perspektif seorang guru, Audi mengungkapkan bahwa kondisi kompetensi guru di Indonesia cukup memprihatinkan. Masih banyak tenaga pendidik yang tidak mengambil studi guru tetapi terjun mengajar. Padahal, untuk menjadi seorang guru dibutuhkan bekal pendidikan formal yang bergelar sarjana pendidikan. Hal ini penting agar para guru yang terjun telah menguasai berbagai metode pembelajaran dalam menyampaikan materi. Di samping itu, guru juga perlu melalui program sertifikasi dari lembaga pendidikan terkait untuk menguji standar kompetensinya.
"Ada guru yang berlatar belakang sarjana Ilmu Komunikasi, tetapi mengajar Bahasa Inggris, bahkan Bahasa Sunda. Ada guru yang mengambil jurusan Geografi, tetapi mengajar Sejarah Kebudayaan Islam. Ini yang menjadi salah satu faktor mengapa kompetensi guru di Indonesia tidak optimal," ujar Audi saat diwawancarai di depan ruang kelas SMA Islam Rejis Bekasi, pada Selasa (2/1/2024).
Selain itu, faktor yang mendukung bahwa kompetensi guru di Indonesia perlu ditingkatkan adalah keterampilan teknologi, khususnya digitalisasi. Saat ini masih banyak guru yang belum menguasai penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi atau TIK dalam pembelajaran. Biasanya, kasus ini terjadi pada guru yang sudah renta atau berumur. Audi mendapatkan beberapa guru berumur yang ada di sekitarnya enggan untuk maju sesuai dengan zamannya.
"Sekarang sudah ada teknologi Artificial Intelligence atau AI. Guru yang minim kemauan untuk mempelajari aspek-aspek teknologi baru akan sulit. Banyak siswa-siswa masa kini yang menggunakan AI untuk mengerjakan tugas. Guru yang kurang paham ciri khas jawaban AI akan sulit untuk membedakan, mana yang hasil pemikiran siswa, serta mana yang hasil jawaban AI," terangnya.
Sebaliknya, salah satu siswa kelas X, Imad Aqel menyanggah pendapat tersebut. Menurutnya, guru berumur yang belum terlalu familiar dengan teknologi digital memiliki konsep mengajar yang lebih tertata. Guru berumur juga biasanya lebih objektif dalam memberikan tugas dan menilai hasilnya. Sebab, biasanya guru senior lebih berambisi untuk mengajarkan muridnya melalui metode yang menurutnya sukses, serta telah diterapkan selama bertahun-tahun.
Namun, Imad mengafirmasi bahwa masih banyak guru yang belum berkompeten dalam mengajar. Menurut Imad, perlu diadakannya pelatihan atau pendidikan oleh pemerintah terkait untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di Indonesia. Pelatihan didalamnya meliputi penggunaan teknologi, metode pembelajaran, hingga strategi mengajar yang inovatif.
"Pelatihan yang diberikan untuk meningkatkan kompetensi guru juga akan berdampak pada sisi profesionalitasnya. Kualitas kompetensi yang dimiliki guru juga akan meningkatkan kualitas ilmu yang diserap saat proses belajar dan mengajar. Salah satu hal yang mesti dimiliki seorang guru adalah kemampuan mengelola kelas dengan baik, sebab tidak semua guru mampu menciptakan suasana belajar yang interaktif," ucapnya saat diwawancarai di depan ruang kelas, pada Selasa (2/1/2024).
Imad menambahkan, faktor lain yang mungkin memicu turunnya kompetensi guru adalah kurikulum yang terus berubah. Mungkin kurikulum terbaru sekarang banyak berdampak positif bagi siswa tetapi tidak bagi guru. Sebab, guru mesti menyesuaikan diri dan merencanakan pembelajaran yang relevan. Hal tersebut cenderung menjadi tugas yang sulit, terlebih jika perubahan terjadi tanpa persiapan yang memadai. Faktor ini dapat menunjang turunnya kualitas pengajaran yang tidak terprediksi.
Masalah pendidikan di Indonesia tidak berhenti sampai sisi kompetensi gurunya saja. Di tahun 2024 sekarang, Indonesia diisukan akan kekurangan 1,3 juta guru karena pensiun. Hal tersebut perlu ditinjau lebih dalam. Sebab, profesi guru sendiri kurang digemari oleh generasi muda saat ini. Terlebih, pemerataan pendidikan di Indonesia belum tercapai secara menyeluruh. Salah satunya karena ketidaksetaraan sumber daya layaknya guru berkualitas untuk terjun ke pelosok. Hal ini dibenarkan oleh seorang aktivis sosial sekaligus guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Embun Pagi Islamic Kindergarten, Aghnesia Hafaz Kiasatina atau kerap disapa Nesia.
"Semakin kesini dapat terlihat bahwa minat terhadap jurusan pendidkan cenderung rendah. Banyak dari mereka pula yang lulus sebagai sarjana pendidikan tetapi enggan menjadi guru. Rata-rata dari mereka menyayangkan kesejahteraan guru yang tidak merata. Padahal, profesi guru merupakan peran yang besar bagi kecerdasan bangsa," tutur Nesia saat diwawancarai di ruang kelas PAUD Embun Pagi Islamic Kindergarten, Jalan Raya Kalimalang, Selasa (2/1/2024).
Dirinya menambahkan, terkait sumber daya guru yang berpotensi kekurangan untuk menerapkan pemerataan pendidikan, hal tersebut dapat terjadi karena rendahnya gaji. Di kota besar, gaji guru termasuk ke dalam salah satu pekerjaan dengan upah terendah. Lebih miris lagi, mereka yang bekerja sebagai guru di wilayah pelosok ada yang menerima upah tiga bulan sekali dengan nominal yang sangat kecil.
"Upah bagi guru yang bekerja di wilayah pelosok terkadang tidak manusiawi. Ada yang menerima hanya Rp50.000,00 per bulannya. Mungkin selain itu yang membuat mereka malas menjadi guru juga karena sistem kenaikan tingkatnya ya. Karena untuk menaikkan tingkat guru biasanya banyak rangkaiannya dan sulit sekali prosesnya," jelasnya.
Nesia berharap, untuk mengimplementasikan pemerataan pendidikan di Indonesia dapat dimulai dari subjek pendidikannya, yaitu guru. Guru-guru di Indonesia mesti lebih disejahterakan, tidak hanya memberikan beban tuntutan yang tiada habisnya. Terlebih, guru yang mengajar di pelosok juga mesti diapresiasi lebih. Sebab, mereka senantiasa tulus mengabdi untuk mencerdaskan anak bangsa.
"Selain gurunya, semoga pemerintah dapat memastikan bahwa fasilitas pendidikan tersedia secara merata hingga wilayah pelosok. Di pelosok juga banyak sekolah yang mulai rapuh. Jadi, bagusin sekolahnya. Intinya, pemerintah mesti peka terhadap seluruh perbaikan infrastruktur dan distribusi peralatan pendidikan yang memadai bagi wilayah pelosok," pungkasnya.
Penulis: Amalia Vilistin, Mahasiswi semester tiga Program Studi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H